China Diduga Berupaya Alihkan Isu Pelanggaran HAM Muslim Uighur
Kamis, 17 Februari 2022 - 10:35 WIB
JAKARTA - Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), menduga China berupaya mengalihkan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terhadap muslim Uighur .Dugaanini muncul ketika Beijing menunjuk Diniheer Yilamujiang, atlet ski dari etnis minoritas tersebut sebagai pembawa obor Olimpiade Beijing.
“Ini upaya China untuk mengalihkan kita dari masalah (Uighur) sebenarnya yang ada di sana. Kami tahu ada genosida, Uighur sedang disiksa, dan Uighur adalah korban pelanggaran HAM oleh China," kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas Greenfield.
AS, Australia, Inggris, dan Kanada termasuk di antara negara yang melakukan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Beijing atas masalah HAM, khususnya soal Uighur.
Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne beberapa waktu lalu menjadikan ini sebagai prioritas atas nama kemanusiaan, di mana negaranya berkomitmen pada norma yang mendukungHAM universal, kesetaraan gender, dan supremasi hukum.
Sementara itu, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan negara-negara dunia agar tidak terpengaruh pengalihan isu pelanggaran HAM berat terhadap etnis Uighur, yang dilakukan China dengan berbagai cara, termasuk dalam agenda Olimpiade Beijing.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan harapan China menarik perhatian dunia terhadap isu dinamisnya kehidupan sosial di negara mereka, gagal total karena pelanggaran berat HAM tidak dapat dialihkan hanya dengan menampilkan atlet asal Uighur sebagai pembawa obor Olimpiade Beijing.
“Kelihatan sekali maksud terselubung China mengalihkan isu pelanggaran berat HAM di Xinjiang, dengan menunjuk atlet asal Uighur sebagai pembawa obor Olimpiade,” kata AB Solissa, Rabu, (16/2/2022).
Menurutnya, semakin banyak masyarakat dunia yang mengetahui betapa kejamnya China terhadap muslim Uighur, yang sejatinya adalah warga nagara mereka sendiri.
Beberapa foto, video dan dokumen yang memperlihatkan sadisnya perlakuan China terhadap muslim Uighur mulai dari penahanan masal, sterilisasi paksa, penyiksaan fisik, pemerkosaan, pernikahan paksa yang menjurus pada aksi genosida, sudah banyak beredar dan dimiliki beberapa negara dunia.
Seluruh dokumen kekejian China menyebabkan tidak berfungsinya mesin-mesin propaganda China yang salalu menggembar-gemborkan narasi bahwa orang Uighur menikmati kehidupan yang damai, harmonis, dan bahagia di China.
“Tidak satu pun (mesin propaganda) yang dapat berfungsi sebagai alat kampanye, untuk mem-brainwash negara-negara dunia agar melupakan kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Uighur,” tutur Solissa.
Apalagi, lanjut Solissa, sejak penahanan massal muslim Uighur pada tahun 2016, tergambar jelas Partai Komunis China (PKC) telah memulai upaya sistematis dan terkoordinasi untuk menghapus budaya Uighur dan membuat kembali minoritas muslim tersebut menjadi warga yang fleksibel dan produktif melalui “pendidikan ulang”.
Sebagai bagian dari proses ini, anak-anak telah dipisahkan dari orang tua mereka untuk ditempatkan di penitipan negara, sementara para wanita Uighur menjadi sasaran pengendalian kelahiran invasif dan pelecehan seksual, atau ditahan tahanan dan masuk dalam sistem kerja paksa.
“China juga telah melarang penggunaan bahasa Uighur dalam bahasa percakapan dan tulisan, memberlakukan pembatasan praktik keagamaan, merobohkan masjid dan situs keagamaan lainnya, menggunakan bujukan keuangan untuk mendorong perkawinan campur dengan kelompok etnis Han yang dominan, dan menganiaya kaum intelektual Uighur,” papar AB Solissa.
“Meski Olimpiade Beijing tetap diselenggarakan, kita masyarakat dunia seyogianya jangan sampai termakan setting-an China yang ingin mengalihkan isu pelanggaran berat HAM yang mereka lakukan kepada jutaan muslim Uighur,” papar AB Solissa.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
“Ini upaya China untuk mengalihkan kita dari masalah (Uighur) sebenarnya yang ada di sana. Kami tahu ada genosida, Uighur sedang disiksa, dan Uighur adalah korban pelanggaran HAM oleh China," kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas Greenfield.
AS, Australia, Inggris, dan Kanada termasuk di antara negara yang melakukan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Beijing atas masalah HAM, khususnya soal Uighur.
Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne beberapa waktu lalu menjadikan ini sebagai prioritas atas nama kemanusiaan, di mana negaranya berkomitmen pada norma yang mendukungHAM universal, kesetaraan gender, dan supremasi hukum.
Sementara itu, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan negara-negara dunia agar tidak terpengaruh pengalihan isu pelanggaran HAM berat terhadap etnis Uighur, yang dilakukan China dengan berbagai cara, termasuk dalam agenda Olimpiade Beijing.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan harapan China menarik perhatian dunia terhadap isu dinamisnya kehidupan sosial di negara mereka, gagal total karena pelanggaran berat HAM tidak dapat dialihkan hanya dengan menampilkan atlet asal Uighur sebagai pembawa obor Olimpiade Beijing.
“Kelihatan sekali maksud terselubung China mengalihkan isu pelanggaran berat HAM di Xinjiang, dengan menunjuk atlet asal Uighur sebagai pembawa obor Olimpiade,” kata AB Solissa, Rabu, (16/2/2022).
Menurutnya, semakin banyak masyarakat dunia yang mengetahui betapa kejamnya China terhadap muslim Uighur, yang sejatinya adalah warga nagara mereka sendiri.
Beberapa foto, video dan dokumen yang memperlihatkan sadisnya perlakuan China terhadap muslim Uighur mulai dari penahanan masal, sterilisasi paksa, penyiksaan fisik, pemerkosaan, pernikahan paksa yang menjurus pada aksi genosida, sudah banyak beredar dan dimiliki beberapa negara dunia.
Seluruh dokumen kekejian China menyebabkan tidak berfungsinya mesin-mesin propaganda China yang salalu menggembar-gemborkan narasi bahwa orang Uighur menikmati kehidupan yang damai, harmonis, dan bahagia di China.
“Tidak satu pun (mesin propaganda) yang dapat berfungsi sebagai alat kampanye, untuk mem-brainwash negara-negara dunia agar melupakan kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Uighur,” tutur Solissa.
Apalagi, lanjut Solissa, sejak penahanan massal muslim Uighur pada tahun 2016, tergambar jelas Partai Komunis China (PKC) telah memulai upaya sistematis dan terkoordinasi untuk menghapus budaya Uighur dan membuat kembali minoritas muslim tersebut menjadi warga yang fleksibel dan produktif melalui “pendidikan ulang”.
Sebagai bagian dari proses ini, anak-anak telah dipisahkan dari orang tua mereka untuk ditempatkan di penitipan negara, sementara para wanita Uighur menjadi sasaran pengendalian kelahiran invasif dan pelecehan seksual, atau ditahan tahanan dan masuk dalam sistem kerja paksa.
“China juga telah melarang penggunaan bahasa Uighur dalam bahasa percakapan dan tulisan, memberlakukan pembatasan praktik keagamaan, merobohkan masjid dan situs keagamaan lainnya, menggunakan bujukan keuangan untuk mendorong perkawinan campur dengan kelompok etnis Han yang dominan, dan menganiaya kaum intelektual Uighur,” papar AB Solissa.
“Meski Olimpiade Beijing tetap diselenggarakan, kita masyarakat dunia seyogianya jangan sampai termakan setting-an China yang ingin mengalihkan isu pelanggaran berat HAM yang mereka lakukan kepada jutaan muslim Uighur,” papar AB Solissa.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(min)
tulis komentar anda