Israel Siap Dihujani 2.500 Roket Sehari Jika Perang dengan Hizbullah

Senin, 18 Oktober 2021 - 09:52 WIB
Rudal-rudal dari sistem pertahanan Iron Dome Israel menembak jatuh roket-roket kelompok perlawanan Palestina di Ashkelon pada 12 Mei 2021. Foto/REUTERS/Amir Cohen
TEL AVIV - Militer Israel menyatakan siap untuk melawan ribuan roket dari Hizbullah Lebanon jika perang pecah. Militer Zionis percaya sekitar 2.500 roket akan menghujani negara Yahudi tersebut saat konflik pecah.

Uri Gordin, yang menjabat sebagai komandan Home Front Command [Komando Depan Dalam Negeri] Angkatan Darat Israel, mengatakan pihaknya tidak ingin berperang dengan Hizbullah Lebanon tetapi siap menghadapi hujan ribuan roket dari kelompok bersenjata itu di masa depan.



Pada bulan Mei tahun ini, militer Israel berperang 11 hari melawan kelompok bersenjata Palestina di Jalur Gaza, yang menembakkan sekitar 4.400 proyektil ke arah Israel.



Milite Zionis mengatakan sistem pertahanan rudal Iron Dome, yang telah digunakan selama sekitar satu dekade, mencegat sekitar 90 persen roket yang menuju daerah berpenduduk, dan hanya di bawah 300 proyektil yang menghantam distrik berpenghuni.

Tingkat tembakan roket dalam perang 11 hari itu melampaui dari tembakan roket dalam perang Israel tahun 2006 melawan Hizbullah.

"Pada bulan Mei, kota-kota seperti Tel Aviv dan Ashdod mengalami jumlah tembakan tertinggi terhadap mereka dalam sejarah Israel," kata Gordin.

“Kami melihat kecepatan lebih dari 400 roket ditembakkan ke Israel setiap hari," ujarnya, seperti dikutip dari AFP, Senin (18/10/2021).

"Dalam kasus konflik atau perang dengan Hizbullah, kami memperkirakan lebih dari lima kali jumlah roket yang ditembakkan setiap hari dari Lebanon ke Israel," paparnya.

“Pada dasarnya kami mencari antara 1.500 dan 2.500 roket yang ditembakkan setiap hari ke arah Israel,” imbuh dia.

Dibentuk pada tahun 1992 setelah Perang Teluk pertama, Home Front Command bertanggung jawab atas pertahanan sipil, yang berarti bertanggung jawab untuk mempersiapkan negara jika terjadi ancaman, konflik, atau bencana.

Unit itu dikritik karena tanggapannya terhadap perang 2006 dengan Hizbullah, yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Lebanon, sebagian besar warga sipil, dan 160 warga Israel yang sebagian besar dari mereka adalah tentara.

"Perang itu adalah seruan untuk membangunkan Home Front Command," kata Gordin, seraya menambahkan bahwa sejak itu pihaknya telah meningkatkan unit penghubungnya, yang sekarang aktif di 250 kota Israel untuk memberikan bantuan jika terjadi serangan.

Home Front Command menggunakan proyeksi komputer untuk memprediksi lintasan roket setelah diluncurkan, dan menyarankan masyarakat, dalam jarak tertentu, untuk menuju ke tempat perlindungan bom.

"Selama konflik Gaza pada bulan Mei lalu, ini memungkinkan layanan darurat untuk mendapatkan setiap insiden dalam waktu kurang dari lima menit," kata Gordin dari ruang kendali markas besar unit di Ramla, dekat Tel Aviv.

Dia mengatakan persiapan telah dilakukan untuk setiap insiden di perbatasan dengan Lebanon.



Seorang sumber keamanan Israel mengatakan tentara Israel mengharapkan "stabilitas" di tetangga utaranya, yang terperosok dalam krisis ekonomi yang melumpuhkan dan pada hari Kamis terjadi bentrokan sektarian yang mematikan di ibu kota Beirut yang menewaskan tujuh orang, termasuk anggota Hizbullah.

"Hizbullah yang didukung Iran adalah sumber ketidakstabilan di Lebanon," kata sumber keamanan itu, yang menambahkan bahwa kelompok Hizbullah mengeksploitasi sumber daya negara Lebanon untuk kepentingan Iran.

"Iran lebih dekat untuk menciptakan bahan fisil untuk senjata nuklir daripada yang pernah mereka lakukan di masa lalu, tetapi masih membutuhkan dua tahun untuk mendapatkan bom," kata sumber itu, menggemakan kerangka waktu yang dikutip oleh pejabat Israel lainnya.

Teheran menegaskan program nuklirnya adalah untuk tujuan sipil.

“Kami sedang mempersiapkan semua opsi dan skenario, termasuk kemampuan militer,” kata sumber keamanan Israel.

Israel telah dengan gigih menentang kebangkitan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang disepakati antara Teheran dan negara-negara kekuatan dunia.

Perjanjian rusak setelah AS di bawah Presiden Donald Trump pada 2018 menarik diri dari perjanjian itu dan menerapkan kembali sanksi yang melumpuhkan Teheran.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More