Jurnalis Wanita Afghanistan Terancam Punah di Pemerintahan Taliban
Minggu, 19 September 2021 - 21:10 WIB
KABUL - Jurnalis wanita sedang dalam proses "menghilang" dari Kabul, setelah Taliban menguasai Afghanistan . Hal itu diutarakan Reporters Without Borders (RSF) dalam laporan yang dikeluarkan pertengahan September. Menurut RSF, sekitar 100 dari total 700 jurnalis wanita di Kabul masih bekerja di beberapa media Afghanistan.
Menurut survei yang dilakukan oleh RSF dan Pusat Perlindungan Jurnalis Wanita Afghanistan, dari 510 wanita yang pernah bekerja untuk delapan media dan kelompok pers terbesar, hanya 76 yang saat ini masih bekerja.
“Penghormatan Taliban terhadap hak fundamental perempuan, termasuk jurnalis perempuan, untuk bekerja dan menjalankan profesi mereka adalah isu utama,” kata Sekretaris Jenderal RSF, Christophe Deloire, seperti dilansir Al Arabiya.
Setelah Taliban mengambil alih kendali Afghanistan pada 15 Agustus, kelompok itu melancarkan serangan pesona untuk merehabilitasi citra mereka, yang oleh media dijuluki sebagai “Taliban 2.0”.
Taliban bersikeras, mereka telah berubah dari era 1996-2001. Mereka berjanji untuk tidak membalas dendam pada pegawai pemerintah dan tentara, untuk menghormati hak-hak wanita, dan memerintah negara dengan ”baik hati" di bawah hukum Syariah Islam.
Seorang presenter TV wanita Afghanistan bernama Shabnam Dawran berbagi kisahnya di media sosial. Ia mengisahkan bahwa Taliban menolak untuk membiarkannya bekerja.
“Ketika saya mendengar bahwa aturan sistem baru (Taliban) telah berubah. Dengan keberanian yang saya miliki, saya pergi ke kantor untuk memulai pekerjaan saya, (tetapi) sistem saat ini tidak memberi saya izin untuk memulai pekerjaan saya,” ucap wanita yang bekerja di Radio Televisi Mili.
RSF dalam laporannya mengatakan, sebagian besar jurnalis wanita telah dipaksa untuk berhenti bekerja di provinsi-provinsi di mana hampir semua media milik swasta berhenti beroperasi ketika pasukan Taliban maju.
“Eksekutif dan editor dengan outlet media milik swasta yang belum memutuskan untuk berhenti beroperasi mengkonfirmasi bahwa, di bawah tekanan, mereka telah menyarankan jurnalis perempuan mereka untuk tinggal di rumah,” tukas RSF.
Menurut survei yang dilakukan oleh RSF dan Pusat Perlindungan Jurnalis Wanita Afghanistan, dari 510 wanita yang pernah bekerja untuk delapan media dan kelompok pers terbesar, hanya 76 yang saat ini masih bekerja.
“Penghormatan Taliban terhadap hak fundamental perempuan, termasuk jurnalis perempuan, untuk bekerja dan menjalankan profesi mereka adalah isu utama,” kata Sekretaris Jenderal RSF, Christophe Deloire, seperti dilansir Al Arabiya.
Setelah Taliban mengambil alih kendali Afghanistan pada 15 Agustus, kelompok itu melancarkan serangan pesona untuk merehabilitasi citra mereka, yang oleh media dijuluki sebagai “Taliban 2.0”.
Taliban bersikeras, mereka telah berubah dari era 1996-2001. Mereka berjanji untuk tidak membalas dendam pada pegawai pemerintah dan tentara, untuk menghormati hak-hak wanita, dan memerintah negara dengan ”baik hati" di bawah hukum Syariah Islam.
Seorang presenter TV wanita Afghanistan bernama Shabnam Dawran berbagi kisahnya di media sosial. Ia mengisahkan bahwa Taliban menolak untuk membiarkannya bekerja.
“Ketika saya mendengar bahwa aturan sistem baru (Taliban) telah berubah. Dengan keberanian yang saya miliki, saya pergi ke kantor untuk memulai pekerjaan saya, (tetapi) sistem saat ini tidak memberi saya izin untuk memulai pekerjaan saya,” ucap wanita yang bekerja di Radio Televisi Mili.
RSF dalam laporannya mengatakan, sebagian besar jurnalis wanita telah dipaksa untuk berhenti bekerja di provinsi-provinsi di mana hampir semua media milik swasta berhenti beroperasi ketika pasukan Taliban maju.
“Eksekutif dan editor dengan outlet media milik swasta yang belum memutuskan untuk berhenti beroperasi mengkonfirmasi bahwa, di bawah tekanan, mereka telah menyarankan jurnalis perempuan mereka untuk tinggal di rumah,” tukas RSF.
(esn)
Lihat Juga :
tulis komentar anda