Berzina Bukan Lagi Dinyatakan Kejahatan di Taiwan
Sabtu, 30 Mei 2020 - 13:15 WIB
TAIPEI - Mahkamah Konstitusi Taiwan pada Jumat mendekriminalisasi perzinaan. Setiap hukum terhadap praktik tersebut kini dianggap melanggar perlindungan konstitusi otonomi dan kesetaraan seksual.
Putusan itu dipuji oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM). "Hukum Pidana seharusnya tidak digunakan untuk menghukum tindakan yang melukai perasaan pribadi," kata Hsu Tzong-li, kepala pengadilan konstitusi dalam pengumuman putusan tersebut.
"Hukum (tentang) perzinaan menawarkan bantuan terbatas untuk menjaga hubungan pernikahan...Kekuasaan negara yang mencampuri perkawinan orang benar-benar berdampak negatif pada pernikahan," kata Lin Hui-Huang, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman, ketika dia membacakan putusan Mahkamah Konstitusi, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (30/5/2020).
Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi, perzinaan di Taiwan dihukum hingga satu tahun penjara. Mereka yang dihukum biasanya membayar denda ketimbang menjalani hukuman di penjara, meskipun mereka masih menerima catatan kriminal.
Putusan Mahkamah Konstitusi muncul setelah langkah serupa muncul di India dan Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir untuk menggugurkan hukum untuk praktik zina. (Baca: Mahkamah Konstitusi Korsel Bakal Legalkan Zina )
Kelompok-kelompok HAM di Taiwan mengatakan dalam kasus perzinaan pihak perempuan 20 persen lebih berpotensi sebagai pihak yang dihukum daripada pihak laki-laki. Hal itu dianggap sebagai ketidakadilan gender.
Kepala kelompok HAM Garden of Hope Foundation, Wang Yueh-hao, mengatakan hukum atau undang-undang untuk praktik zina selama ini digunakan untuk menekan beberapa korban kejahatan seksual untuk menggugurkan dakwaan.
Dalam satu kasus yang sering dikutip oleh kelompok-kelompok HAM, seorang mahasiswi yang berniat menggugat profesornya atas pelecehan seksual, justru dituntut oleh istri profesor karena perzinaan, dihukum dan diperintahkan untuk memberikan kompensasi kepada keluarga profesor tersebut.
"Putusan hari Jumat adalah tonggak baru dalam perlindungan hak asasi gender," kata Taiwan Alliance to Promote Civil Partnership Rights (Aliansi Taiwan untuk Mempromosikan Hak Kemitraan Sipil) yang menganjurkan pernikahan dan kesetaraan gender.
Taiwan tahun lalu mengesahkan pernikahan sesama jenis, menyusul putusan Mahkamah Konsitusi tahun 2017 yang mendukung pernikahan semacam itu.
Putusan yang mendekrimininalisasi perzinaan tetap ada yang menentang. Pihak penentang menyebut putusuan itu tidak masuk akal dan terlalu dibesar-besarkan.
"Melindungi institusi pernikahan dan keluarga adalah kewajiban pribadi dan nasional," kata Coalition for the Happiness of our Next Generation dalam sebuah pernyataan.
Putusan itu dipuji oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM). "Hukum Pidana seharusnya tidak digunakan untuk menghukum tindakan yang melukai perasaan pribadi," kata Hsu Tzong-li, kepala pengadilan konstitusi dalam pengumuman putusan tersebut.
"Hukum (tentang) perzinaan menawarkan bantuan terbatas untuk menjaga hubungan pernikahan...Kekuasaan negara yang mencampuri perkawinan orang benar-benar berdampak negatif pada pernikahan," kata Lin Hui-Huang, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman, ketika dia membacakan putusan Mahkamah Konstitusi, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (30/5/2020).
Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi, perzinaan di Taiwan dihukum hingga satu tahun penjara. Mereka yang dihukum biasanya membayar denda ketimbang menjalani hukuman di penjara, meskipun mereka masih menerima catatan kriminal.
Putusan Mahkamah Konstitusi muncul setelah langkah serupa muncul di India dan Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir untuk menggugurkan hukum untuk praktik zina. (Baca: Mahkamah Konstitusi Korsel Bakal Legalkan Zina )
Kelompok-kelompok HAM di Taiwan mengatakan dalam kasus perzinaan pihak perempuan 20 persen lebih berpotensi sebagai pihak yang dihukum daripada pihak laki-laki. Hal itu dianggap sebagai ketidakadilan gender.
Kepala kelompok HAM Garden of Hope Foundation, Wang Yueh-hao, mengatakan hukum atau undang-undang untuk praktik zina selama ini digunakan untuk menekan beberapa korban kejahatan seksual untuk menggugurkan dakwaan.
Dalam satu kasus yang sering dikutip oleh kelompok-kelompok HAM, seorang mahasiswi yang berniat menggugat profesornya atas pelecehan seksual, justru dituntut oleh istri profesor karena perzinaan, dihukum dan diperintahkan untuk memberikan kompensasi kepada keluarga profesor tersebut.
"Putusan hari Jumat adalah tonggak baru dalam perlindungan hak asasi gender," kata Taiwan Alliance to Promote Civil Partnership Rights (Aliansi Taiwan untuk Mempromosikan Hak Kemitraan Sipil) yang menganjurkan pernikahan dan kesetaraan gender.
Taiwan tahun lalu mengesahkan pernikahan sesama jenis, menyusul putusan Mahkamah Konsitusi tahun 2017 yang mendukung pernikahan semacam itu.
Putusan yang mendekrimininalisasi perzinaan tetap ada yang menentang. Pihak penentang menyebut putusuan itu tidak masuk akal dan terlalu dibesar-besarkan.
"Melindungi institusi pernikahan dan keluarga adalah kewajiban pribadi dan nasional," kata Coalition for the Happiness of our Next Generation dalam sebuah pernyataan.
(min)
tulis komentar anda