MA Israel Sahkan Undang-undang Negara Yahudi yang Kontroversial
Jum'at, 09 Juli 2021 - 03:37 WIB
TEL AVIV - Mahkamah Agung Israel mensahkan undang-undang kontroversial yang mendefinisikan negara itu sebagai negara bangsa orang-orang Yahudi . Mahkahmah Agung Israel menolak klaim bahwa undang-undang itu mendiskriminasi kelompok minoritas.
Dalam putusannya, pengadilan tertinggi Israel itu mengakui kekurangan dalam apa yang disebut sebagai Hukum Negara Bangsa. Tetapi dikatakan undang-undang itu tidak meniadakan karakter demokratis Israel yang diuraikan dalam undang-undang lain.
Para pendukung undang-undang yang dibentuk pada 2018 itu mengklaim undang-undang itu hanya mengabadikan karakter Yahudi Israel yang ada. Sedangkan para kritikus mengatakan undang-undang itu semakin menurunkan status minoritas Arab Israel, yang membentuk sekitar 20% dari populasi negara itu.
Warga Arab Israel memiliki hak untuk memilih dan terwakili dengan baik dalam banyak profesi, tetapi tetap menderita diskriminasi yang meluas di berbagai bidang seperti perumahan dan pasar kerja.
Undang-undang tersebut disetujui oleh Knesset, atau parlemen Israel, pada Juli 2018. Undang-undang ini mendefinisikan Israel sebagai negara-bangsa orang-orang Yahudi dan menambahkan bahwa memenuhi hak penentuan nasib sendiri secara nasional di negara Israel adalah unik bagi orang Yahudi.
Undang-undang itu juga menurunkan bahasa Arab dari bahasa resmi negara menjadi bahasa dengan "status khusus."
Pengesahan undang-undang tersebut memicu tentangan vokal dari kelompok minoritas Arab di negara itu, khususnya di kalangan Druze Israel, yang bertugas di militer.
Sejumlah kelompok hak asasi Arab dan organisasi masyarakat sipil mengajukan banding ke pengadilan untuk membatalkan undang-undang tersebut. Panel 11 hakim, konfigurasi pengadilan terbesar, mempertimbangkan kasus ini.
Dalam keputusan berbanding 10-1, Mahkamah Agung Israel mengatakan: "hak yang sama diberikan kepada semua warga negara, termasuk kelompok minoritas,” seperti disitir dari AP, Jumat (9/7/2021).
Mereka mengatakan hak atas penentuan nasib sendiri nasional tidak menyangkal hak-hak pribadi atau budaya yang diakui. Mereka juga mengatakan undang-undang itu tidak mengurangi status bahasa Arab atau menghalangi promosi statusnya.
Satu-satunya hakim Arab di MA Israel, George Karra, adalah satu-satunya yang membangkang dan menyebut undang-undang itu diskriminatif.
Menteri Kehakiman Israel yang juga pemimpin partai nasionalis New Hope, Gideon Saar, menyambut baik keputusan tersebut.
Dia mengatakan undang-undang itu mendukung esensi dan karakter Israel sebagai negara bangsa dari orang-orang Yahudi dan tidak melanggar hak individu warga negara Israel mana pun.
Adalah, sebuah kelompok hak asasi Arab yang mencoba untuk membatalkan undang-undang tersebut, mengatakan pengadilan menegakkan undang-undang yang sepenuhnya mengecualikan mereka yang bukan milik kelompok mayoritas. Dikatakan akan terus bekerja secara internasional untuk mengekspos sifat diskriminatif dan rasis dari undang-undang ini.
Pakar hukum Yuval Shany, wakil presiden Institut Demokrasi Israel, sebuah lembaga pemikir independen, mengatakan undang-undang itu sebagian besar bersifat simbolis dan memberikan latar belakang konstitusional bagi hakim untuk mempertimbangkan ketika menimbang kasus-kasus lain.
Namun dia mengatakan putusan itu menjelaskan bahwa undang-undang lain, tentang isu-isu seperti kesetaraan dan hak-hak minoritas, juga harus diperhitungkan.
“Pada dasarnya, pengadilan, mengatakan Anda harus mengeksplorasi masalah ini berdasarkan kasus per kasus ketika undang-undang di masa depan muncul di hadapan kita,” terangnya.
Dalam putusannya, pengadilan tertinggi Israel itu mengakui kekurangan dalam apa yang disebut sebagai Hukum Negara Bangsa. Tetapi dikatakan undang-undang itu tidak meniadakan karakter demokratis Israel yang diuraikan dalam undang-undang lain.
Para pendukung undang-undang yang dibentuk pada 2018 itu mengklaim undang-undang itu hanya mengabadikan karakter Yahudi Israel yang ada. Sedangkan para kritikus mengatakan undang-undang itu semakin menurunkan status minoritas Arab Israel, yang membentuk sekitar 20% dari populasi negara itu.
Warga Arab Israel memiliki hak untuk memilih dan terwakili dengan baik dalam banyak profesi, tetapi tetap menderita diskriminasi yang meluas di berbagai bidang seperti perumahan dan pasar kerja.
Undang-undang tersebut disetujui oleh Knesset, atau parlemen Israel, pada Juli 2018. Undang-undang ini mendefinisikan Israel sebagai negara-bangsa orang-orang Yahudi dan menambahkan bahwa memenuhi hak penentuan nasib sendiri secara nasional di negara Israel adalah unik bagi orang Yahudi.
Undang-undang itu juga menurunkan bahasa Arab dari bahasa resmi negara menjadi bahasa dengan "status khusus."
Pengesahan undang-undang tersebut memicu tentangan vokal dari kelompok minoritas Arab di negara itu, khususnya di kalangan Druze Israel, yang bertugas di militer.
Sejumlah kelompok hak asasi Arab dan organisasi masyarakat sipil mengajukan banding ke pengadilan untuk membatalkan undang-undang tersebut. Panel 11 hakim, konfigurasi pengadilan terbesar, mempertimbangkan kasus ini.
Dalam keputusan berbanding 10-1, Mahkamah Agung Israel mengatakan: "hak yang sama diberikan kepada semua warga negara, termasuk kelompok minoritas,” seperti disitir dari AP, Jumat (9/7/2021).
Mereka mengatakan hak atas penentuan nasib sendiri nasional tidak menyangkal hak-hak pribadi atau budaya yang diakui. Mereka juga mengatakan undang-undang itu tidak mengurangi status bahasa Arab atau menghalangi promosi statusnya.
Satu-satunya hakim Arab di MA Israel, George Karra, adalah satu-satunya yang membangkang dan menyebut undang-undang itu diskriminatif.
Menteri Kehakiman Israel yang juga pemimpin partai nasionalis New Hope, Gideon Saar, menyambut baik keputusan tersebut.
Dia mengatakan undang-undang itu mendukung esensi dan karakter Israel sebagai negara bangsa dari orang-orang Yahudi dan tidak melanggar hak individu warga negara Israel mana pun.
Adalah, sebuah kelompok hak asasi Arab yang mencoba untuk membatalkan undang-undang tersebut, mengatakan pengadilan menegakkan undang-undang yang sepenuhnya mengecualikan mereka yang bukan milik kelompok mayoritas. Dikatakan akan terus bekerja secara internasional untuk mengekspos sifat diskriminatif dan rasis dari undang-undang ini.
Pakar hukum Yuval Shany, wakil presiden Institut Demokrasi Israel, sebuah lembaga pemikir independen, mengatakan undang-undang itu sebagian besar bersifat simbolis dan memberikan latar belakang konstitusional bagi hakim untuk mempertimbangkan ketika menimbang kasus-kasus lain.
Namun dia mengatakan putusan itu menjelaskan bahwa undang-undang lain, tentang isu-isu seperti kesetaraan dan hak-hak minoritas, juga harus diperhitungkan.
“Pada dasarnya, pengadilan, mengatakan Anda harus mengeksplorasi masalah ini berdasarkan kasus per kasus ketika undang-undang di masa depan muncul di hadapan kita,” terangnya.
(ian)
tulis komentar anda