Gaza Hancur-hancuran Dibom Israel, Mengapa Pemimpin Hamas Tinggal di Qatar?
Senin, 17 Mei 2021 - 09:39 WIB
GAZA - Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, sudah lama tinggal di Qatar. Bahkan, saat Jalur Gaza, Palestina , hancur-hancuran dibombardir Israel pada saat ini, dia tetap tinggal di negara kaya tersebut.
Hamas merupakan faksi di Palestina yang berkuasa atas Jalur Gaza. Selain dilanda perang, wilayah kantong Palestina tersebut juga menderita kemiskinan parah akibat blokade Zionis Israel dan Mesir selama bertahun-tahun.
Baru-baru ini, Haniyeh yang berada di Qatar berpidato bahwa Hamas tidak akan mundur dalam menghadapi pembalasan kuat militer Israel terhadap tembakan roket besar-besaran dari daerah Jalur Gaza. Bos Hamas itu bahkan memperingatkan bahwa pejuangnya masih belum menggunakan semua kekuatan yang mereka miliki.
"Perlawanan adalah jalan terpendek ke Yerusalem," katanya seperti dikutip Times of Israel, kemarin. Dia menambakan bahwa Palestina tidak akan menerima apa pun selain negara dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
"Musuh Zionis menyerang Gaza, meratakan menara dan melakukan pembantaian, berpikir bahwa ini akan membuat kelompok militan mundur," ujarnya.
"Saat serangan Israel meningkat, perlawanan akan meningkatkan [kekuatannya] ke tingkat yang lebih tinggi," imbuh dia dalam pidatonya di hadapan ratusan orang di Qatar.
Haniyeh juga mengatakan bahwa meskipun Gaza telah dikepung selama hampir 15 tahun—untuk mencegah senjata mencapai kelompok Hamas—organisasinya tidak akan mundur.
Haniyeh meninggalkan Jalur Gaza pada Desember 2019. Seorang pejabat Hamas kala itu mengatakan, sang pemimpin tersebut akan berada di luar negeri untuk waktu yang lama.
"Keputusan itu terkait dengan pengaturan internal di Hamas dan komplikasi terkait perjalanan ke dan dari Jalur Gaza," kata seorang pejabat Hamas kala itu seperti dikutip Jerusalem Post.
Para pejabat Hamas membantah bahwa Mesir telah melarang Haniyeh kembali ke Jalur Gaza dan mengatakan pemimpin Hamas itu telah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah pada tahap ini.
Seorang pejabat Hamas mengatakan Haniyeh telah memutuskan untuk menetap di Qatar pada fase ini, dan tidak diketahui apakah keluarganya akan bergabung dengannya.
Laporan tentang keputusan Haniyeh untuk tidak kembali ke Jalur Gaza diyakini terkait dengan ketidakpuasan Mesir atas kunjungannya ke Iran tahun lalu.
Haniyeh mengunjungi Iran untuk menghadiri pemakaman komandan Pasukan Quds Qasem Soleimani, yang dibunuh oleh AS di Irak pada Januari 2020.
Laporan yang belum dikonfirmasi mengatakan Mesir telah memutuskan untuk menghukum Haniyeh dengan mencegahnya kembali ke Jalur Gaza melalui perlintasan perbatasan Rafah.
Pejabat Hamas awalnya mengonfirmasi bahwa Mesir kesal dengan Haniyeh karena mengunjungi Iran. Namun, para pejabat kelompok itu kemudian mengatakan bahwa krisis antara Hamas dan Mesir telah diselesaikan.
Haniyeh yang meninggalkan Jalur Gaza pada 2 Desember 2019 pernah mengunjungi Mesir, Turki, Oman, Qatar dan Malaysia, selain ke Iran. Dia juga berencana mengunjungi Lebanon, Mauritania, Rusia dan Kuwait.
Qatar, negara menjadi tempat singgah Hamas, dikenal sebagai donatur untuk rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza.
Hamas merupakan faksi di Palestina yang berkuasa atas Jalur Gaza. Selain dilanda perang, wilayah kantong Palestina tersebut juga menderita kemiskinan parah akibat blokade Zionis Israel dan Mesir selama bertahun-tahun.
Baru-baru ini, Haniyeh yang berada di Qatar berpidato bahwa Hamas tidak akan mundur dalam menghadapi pembalasan kuat militer Israel terhadap tembakan roket besar-besaran dari daerah Jalur Gaza. Bos Hamas itu bahkan memperingatkan bahwa pejuangnya masih belum menggunakan semua kekuatan yang mereka miliki.
"Perlawanan adalah jalan terpendek ke Yerusalem," katanya seperti dikutip Times of Israel, kemarin. Dia menambakan bahwa Palestina tidak akan menerima apa pun selain negara dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
"Musuh Zionis menyerang Gaza, meratakan menara dan melakukan pembantaian, berpikir bahwa ini akan membuat kelompok militan mundur," ujarnya.
"Saat serangan Israel meningkat, perlawanan akan meningkatkan [kekuatannya] ke tingkat yang lebih tinggi," imbuh dia dalam pidatonya di hadapan ratusan orang di Qatar.
Haniyeh juga mengatakan bahwa meskipun Gaza telah dikepung selama hampir 15 tahun—untuk mencegah senjata mencapai kelompok Hamas—organisasinya tidak akan mundur.
Haniyeh meninggalkan Jalur Gaza pada Desember 2019. Seorang pejabat Hamas kala itu mengatakan, sang pemimpin tersebut akan berada di luar negeri untuk waktu yang lama.
"Keputusan itu terkait dengan pengaturan internal di Hamas dan komplikasi terkait perjalanan ke dan dari Jalur Gaza," kata seorang pejabat Hamas kala itu seperti dikutip Jerusalem Post.
Para pejabat Hamas membantah bahwa Mesir telah melarang Haniyeh kembali ke Jalur Gaza dan mengatakan pemimpin Hamas itu telah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah pada tahap ini.
Seorang pejabat Hamas mengatakan Haniyeh telah memutuskan untuk menetap di Qatar pada fase ini, dan tidak diketahui apakah keluarganya akan bergabung dengannya.
Laporan tentang keputusan Haniyeh untuk tidak kembali ke Jalur Gaza diyakini terkait dengan ketidakpuasan Mesir atas kunjungannya ke Iran tahun lalu.
Haniyeh mengunjungi Iran untuk menghadiri pemakaman komandan Pasukan Quds Qasem Soleimani, yang dibunuh oleh AS di Irak pada Januari 2020.
Laporan yang belum dikonfirmasi mengatakan Mesir telah memutuskan untuk menghukum Haniyeh dengan mencegahnya kembali ke Jalur Gaza melalui perlintasan perbatasan Rafah.
Baca Juga
Pejabat Hamas awalnya mengonfirmasi bahwa Mesir kesal dengan Haniyeh karena mengunjungi Iran. Namun, para pejabat kelompok itu kemudian mengatakan bahwa krisis antara Hamas dan Mesir telah diselesaikan.
Haniyeh yang meninggalkan Jalur Gaza pada 2 Desember 2019 pernah mengunjungi Mesir, Turki, Oman, Qatar dan Malaysia, selain ke Iran. Dia juga berencana mengunjungi Lebanon, Mauritania, Rusia dan Kuwait.
Qatar, negara menjadi tempat singgah Hamas, dikenal sebagai donatur untuk rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda