Uni Eropa Terapkan Sanksi pada Militer Myanmar, Target Para Jenderal
Selasa, 23 Maret 2021 - 05:05 WIB
BRUSSELS - Uni Eropa (UE) memberlakukan sanksi terhadap 11 orang yang terkait kudeta militer bulan lalu di Myanmar .
Sanksi itu diterapkan ketika penindasan terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi oleh pasukan keamanan mencapai tingkat yang “tak tertahankan".
Sanksi tersebut menandai tanggapan blok 27 negara itu sejak penggulingan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.
Orang-orang yang menjadi sasaran sanksi termasuk Jenderal Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar.
Sebanyak 250 orang telah tewas sejauh ini dalam penumpasan protes oleh aparat keamanan. Data itu menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Lihat infografis: China Curiga Mobil Buatan Tesla Jadi Mata-mata
“Tiga orang tewas di kota kedua Myanmar, Mandalay, dalam kerusuhan baru pada Senin (22/3), termasuk seorang bocah lelaki berusia 15 tahun,” papar saksi mata dan laporan media.
Para menteri luar negeri (menlu) Uni Eropa mengadopsi larangan perjalanan dan pembekuan aset pada sejumlah jenderal itu pada pertemuan di Brussel.
Sejauh ini, UE memiliki embargo senjata terhadap Myanmar dan telah menargetkan beberapa pejabat militer senior sejak 2018.
"Kami akan mengambil sanksi terhadap 11 orang yang terlibat dalam kudeta dan penindasan para demonstran," papar Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan sebelum pertemuan bahwa, “Tindakan keras telah mencapai tingkat yang tak tertahankan, itulah sebabnya kami tidak akan dapat menghindari pemberian sanksi."
Di antara orang-orang yang menjadi sasaran adalah Min Aung Hlaing, Myint Swe, yang menjabat sebagai presiden sejak kudeta, dan staf militer dan pejabat senior lainnya.
Tindakan yang lebih kuat diperkirakan segera diterapkan setelah UE bergerak untuk membidik bisnis yang dijalankan militer.
Para diplomat UE telah mengatakan kepada Reuters bahwa sebagian dari konglomerat militer, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC), kemungkinan besar akan menjadi sasaran, melarang para investor dan bank UE untuk berbisnis dengan mereka.
Para konglomerat tersebar di seluruh perekonomian mulai dari pertambangan dan manufaktur, makanan dan minuman hingga hotel, telekomunikasi dan perbankan.
Misi pencari fakta PBB pada 2019 merekomendasikan sanksi terhadap dua perusahaan dan anak perusahaannya.
Menurut misi PBB, dua perusahaan itu memberi sumber pendapatan tambahan kepada tentara yang dapat membiayai aktivitas pelanggaran hak asasi manusia.
“Kami tidak bermaksud menghukum rakyat Myanmar tetapi mereka yang secara terang-terangan melanggar hak asasi manusia,” papar Maas.
Sanksi baru mengikuti keputusan AS bulan lalu untuk menargetkan militer dan kepentingan bisnisnya.
Inggris bulan lalu membekukan aset dan melarang perjalanan tiga jenderal terkait kudeta tersebut.
Myanmar telah terkunci dalam krisis sejak kudeta, dengan pengunjuk rasa turun ke jalan setiap hari dan kampanye pembangkangan sipil terus berlangsung.
Junta mengatakan pemilu 8 November yang dimenangkan partai Suu Kyi adalah karena kecurangan. Tuduhan itu ditolak komisi pemilu nasional.
Para pemimpin militer menjanjikan pemilu baru tetapi belum menetapkan tanggal dan telah menyatakan keadaan darurat.
Suu Kyi, pemenang Nobel perdamaian berusia 75 tahun, dan tokoh-tokoh lain di Liga Nasional untuk Demokrasi ditahan di tahanan.
Serangkaian tuduhan dilontarkan pada Suu Kyi, termasuk penyuapan. Pengacaranya mengatakan tuduhan itu dibuat-buat.
Dalam kekerasan terbaru, tiga orang tewas di Mandalay, menurut saksi mata dan portal berita Myanmar Now.
“Tun Tun Aung, 15 tahun, tewas di gubuknya ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan di daerah kota Mya Yi Nandar,” papar saudara perempuannya.
“Saudara saya duduk dekat jendela. Kami tinggal di tempat kecil. Rumah kami tidak cukup kuat menahan peluru-peluru,” tutur dia.
Sanksi itu diterapkan ketika penindasan terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi oleh pasukan keamanan mencapai tingkat yang “tak tertahankan".
Sanksi tersebut menandai tanggapan blok 27 negara itu sejak penggulingan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.
Orang-orang yang menjadi sasaran sanksi termasuk Jenderal Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar.
Sebanyak 250 orang telah tewas sejauh ini dalam penumpasan protes oleh aparat keamanan. Data itu menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Lihat infografis: China Curiga Mobil Buatan Tesla Jadi Mata-mata
“Tiga orang tewas di kota kedua Myanmar, Mandalay, dalam kerusuhan baru pada Senin (22/3), termasuk seorang bocah lelaki berusia 15 tahun,” papar saksi mata dan laporan media.
Para menteri luar negeri (menlu) Uni Eropa mengadopsi larangan perjalanan dan pembekuan aset pada sejumlah jenderal itu pada pertemuan di Brussel.
Sejauh ini, UE memiliki embargo senjata terhadap Myanmar dan telah menargetkan beberapa pejabat militer senior sejak 2018.
"Kami akan mengambil sanksi terhadap 11 orang yang terlibat dalam kudeta dan penindasan para demonstran," papar Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan sebelum pertemuan bahwa, “Tindakan keras telah mencapai tingkat yang tak tertahankan, itulah sebabnya kami tidak akan dapat menghindari pemberian sanksi."
Di antara orang-orang yang menjadi sasaran adalah Min Aung Hlaing, Myint Swe, yang menjabat sebagai presiden sejak kudeta, dan staf militer dan pejabat senior lainnya.
Tindakan yang lebih kuat diperkirakan segera diterapkan setelah UE bergerak untuk membidik bisnis yang dijalankan militer.
Para diplomat UE telah mengatakan kepada Reuters bahwa sebagian dari konglomerat militer, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC), kemungkinan besar akan menjadi sasaran, melarang para investor dan bank UE untuk berbisnis dengan mereka.
Para konglomerat tersebar di seluruh perekonomian mulai dari pertambangan dan manufaktur, makanan dan minuman hingga hotel, telekomunikasi dan perbankan.
Misi pencari fakta PBB pada 2019 merekomendasikan sanksi terhadap dua perusahaan dan anak perusahaannya.
Menurut misi PBB, dua perusahaan itu memberi sumber pendapatan tambahan kepada tentara yang dapat membiayai aktivitas pelanggaran hak asasi manusia.
“Kami tidak bermaksud menghukum rakyat Myanmar tetapi mereka yang secara terang-terangan melanggar hak asasi manusia,” papar Maas.
Sanksi baru mengikuti keputusan AS bulan lalu untuk menargetkan militer dan kepentingan bisnisnya.
Inggris bulan lalu membekukan aset dan melarang perjalanan tiga jenderal terkait kudeta tersebut.
Myanmar telah terkunci dalam krisis sejak kudeta, dengan pengunjuk rasa turun ke jalan setiap hari dan kampanye pembangkangan sipil terus berlangsung.
Junta mengatakan pemilu 8 November yang dimenangkan partai Suu Kyi adalah karena kecurangan. Tuduhan itu ditolak komisi pemilu nasional.
Para pemimpin militer menjanjikan pemilu baru tetapi belum menetapkan tanggal dan telah menyatakan keadaan darurat.
Suu Kyi, pemenang Nobel perdamaian berusia 75 tahun, dan tokoh-tokoh lain di Liga Nasional untuk Demokrasi ditahan di tahanan.
Serangkaian tuduhan dilontarkan pada Suu Kyi, termasuk penyuapan. Pengacaranya mengatakan tuduhan itu dibuat-buat.
Dalam kekerasan terbaru, tiga orang tewas di Mandalay, menurut saksi mata dan portal berita Myanmar Now.
“Tun Tun Aung, 15 tahun, tewas di gubuknya ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan di daerah kota Mya Yi Nandar,” papar saudara perempuannya.
“Saudara saya duduk dekat jendela. Kami tinggal di tempat kecil. Rumah kami tidak cukup kuat menahan peluru-peluru,” tutur dia.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda