Enam Demonstran Myanmar Tewas, AS Janji Pulihkan Demokrasi
Sabtu, 13 Maret 2021 - 18:01 WIB
YANGON - Enam pengunjuk rasa dibunuh pasukan keamanan di Myanmar pada Sabtu (13/3). Unjuk rasa kali ini menandai peringatan kematian seorang mahasiswa pada 1988 yang memicu pemberontakan melawan junta militer.
“Tiga orang tewas dan beberapa orang lainnya cedera ketika polisi melepaskan tembakan pada aksi duduk di Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar,” papar seorang saksi mata mengatakan kepada Reuters.
“Satu orang lagi tewas di pusat kota Pyay dan dua orang lainnya tewas akibat tembakan polisi di ibukota komersial Yangon semalam,” ungkap laporan media lokal.
Kematian itu terjadi ketika para pemimpin Amerika Serikat (AS), India, Australia dan Jepang bersumpah bekerja sama memulihkan demokrasi di Myanmar.
Lihat infografis: Para Pakar Ketir-ketir, AS Bikin Rudal Nuklir Baru Rp1.440 Triliun
“Lebih dari 70 orang telah tewas di Myanmar dalam protes yang meluas terhadap kudeta 1 Februari oleh militer,” papar kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Lihat infografis: Inggris Batal Beli 90 Jet Tempur Siluman F-35 Lighning II
Protes Sabtu (13/3) meletus setelah poster-poster menyebar di media sosial yang mendesak orang-orang memperingati kematian Phone Maw, yang ditembak dan dibunuh pasukan keamanan pada 1988 di tempat yang kemudian dikenal sebagai kampus Institut Teknologi Rangoon.
Penembakannya dan penembakan terhadap mahasiswa lain yang meninggal beberapa pekan kemudian memicu protes luas terhadap junta militer yang dikenal sebagai kampanye 8-8-88, karena mencapai puncaknya pada Agustus tahun itu.
Diperkirakan 3.000 orang terbunuh ketika tentara menghancurkan pemberontakan, pada saat itu tantangan terbesar bagi pemerintahan militer sejak tahun 1962.
Aung San Suu Kyi muncul sebagai ikon demokrasi selama gerakan itu dan ditahan di rumah selama hampir dua dekade.
Dia dibebaskan pada 2008 ketika militer memulai reformasi demokrasi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) miliknya memenangkan pemilu pada 2015 dan sekali lagi pada November tahun lalu.
Pada 1 Februari tahun ini, para jenderal menggulingkan pemerintahannya dan menahan Suu Kyi serta banyak rekan kabinetnya, mengklaim terjadi penipuan dalam pemilu November.
Kudeta di Myanmar, di mana militer memiliki hubungan dekat dengan China, adalah ujian awal utama bagi Presiden baru AS Joe Biden.
Pemerintahannya menggelar pertemuan virtual dengan para pemimpin India, Jepang dan Australia pada Jumat (12/3) sebagai pertemuan puncak resmi pertama dari kelompok yang dikenal sebagai Quad, bagian dorongan untuk menunjukkan komitmen AS yang diperbarui terhadap keamanan regional.
"Sebagai pendukung lama Myanmar dan rakyatnya, kami menekankan kebutuhan mendesak memulihkan demokrasi dan prioritas penguatan ketahanan demokrasi," ungkap keempat pemimpin negara itu dalam pernyataan yang dirilis Gedung Putih.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon dari Reuters untuk meminta komentar.
Penyelidik hak asasi manusia PBB Thomas Andrews pada Jumat menolak komentar "tidak masuk akal" oleh pejabat senior Myanmar bahwa pihak berwenang melakukan "pengekangan sepenuhnya".
Berbicara di depan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, dia menyerukan pendekatan terpadu untuk "menghapus rasa kekebalan junta".
Inggris memperingatkan warganya di Myanmar untuk keluar dari negara itu pada Jumat (12/3), dengan mengatakan, "Ketegangan politik dan kerusuhan meluas sejak kudeta militer dan tingkat kekerasan meningkat."
Korea Selatan mengatakan akan menangguhkan pertukaran pertahanan dan mempertimbangkan kembali bantuan pembangunan ke Myanmar karena kekerasan tersebut.
Kremlin mengatakan Rusia, yang memiliki hubungan dekat dengan militer Myanmar, prihatin atas kekerasan yang meningkat dan "menganalisis" apakah akan menangguhkan kerja sama teknis-militer.
"Kami menilai situasi ini mengkhawatirkan, dan kami prihatin dengan informasi tentang meningkatnya jumlah korban sipil yang datang dari sana," ungkap Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov, dikutip kantor berita TASS.
Awal pekan ini, Dewan Keamanan PBB membatalkan pernyataan yang mengutuk aksi militer sebagai kudeta karena ditentang China, Rusia, India, dan Vietnam.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Polandia mengatakan seorang jurnalis Polandia ditangkap pekan ini di Myanmar, atau reporter asing kedua yang ditahan. Seorang jurnalis Jepang ditahan sebentar saat meliput protes.
“Polisi anti huru hara dan tentara bersenjata memasuki rumah sakit umum di Hakha, negara bagian Chin barat, memaksa semua 30 pasien untuk pergi dan mengusir staf para stafnya,” papar aktivis lokal Salai Lian.
Tentara menduduki rumah sakit dan universitas di Myanmar ketika mereka mencoba menghentikan gerakan pembangkangan sipil yang dimulai dengan pegawai pemerintah seperti dokter dan guru.
Gerakan itu kini berkembang menjadi pemogokan umum yang melumpuhkan banyak sektor ekonomi.
Pada Jumat malam, banyak orang berkumpul untuk berjaga malam. Di Yangon, mereka menyalakan lilin berbentuk salam tiga jari, simbol gerakan perlawanan.
Para biksu berjubah kunyit berkumpul di luar pagoda di wilayah utara Sagaing.
“Tiga orang tewas dan beberapa orang lainnya cedera ketika polisi melepaskan tembakan pada aksi duduk di Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar,” papar seorang saksi mata mengatakan kepada Reuters.
“Satu orang lagi tewas di pusat kota Pyay dan dua orang lainnya tewas akibat tembakan polisi di ibukota komersial Yangon semalam,” ungkap laporan media lokal.
Baca Juga
Kematian itu terjadi ketika para pemimpin Amerika Serikat (AS), India, Australia dan Jepang bersumpah bekerja sama memulihkan demokrasi di Myanmar.
Lihat infografis: Para Pakar Ketir-ketir, AS Bikin Rudal Nuklir Baru Rp1.440 Triliun
“Lebih dari 70 orang telah tewas di Myanmar dalam protes yang meluas terhadap kudeta 1 Februari oleh militer,” papar kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Lihat infografis: Inggris Batal Beli 90 Jet Tempur Siluman F-35 Lighning II
Protes Sabtu (13/3) meletus setelah poster-poster menyebar di media sosial yang mendesak orang-orang memperingati kematian Phone Maw, yang ditembak dan dibunuh pasukan keamanan pada 1988 di tempat yang kemudian dikenal sebagai kampus Institut Teknologi Rangoon.
Penembakannya dan penembakan terhadap mahasiswa lain yang meninggal beberapa pekan kemudian memicu protes luas terhadap junta militer yang dikenal sebagai kampanye 8-8-88, karena mencapai puncaknya pada Agustus tahun itu.
Diperkirakan 3.000 orang terbunuh ketika tentara menghancurkan pemberontakan, pada saat itu tantangan terbesar bagi pemerintahan militer sejak tahun 1962.
Aung San Suu Kyi muncul sebagai ikon demokrasi selama gerakan itu dan ditahan di rumah selama hampir dua dekade.
Dia dibebaskan pada 2008 ketika militer memulai reformasi demokrasi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) miliknya memenangkan pemilu pada 2015 dan sekali lagi pada November tahun lalu.
Pada 1 Februari tahun ini, para jenderal menggulingkan pemerintahannya dan menahan Suu Kyi serta banyak rekan kabinetnya, mengklaim terjadi penipuan dalam pemilu November.
Kudeta di Myanmar, di mana militer memiliki hubungan dekat dengan China, adalah ujian awal utama bagi Presiden baru AS Joe Biden.
Pemerintahannya menggelar pertemuan virtual dengan para pemimpin India, Jepang dan Australia pada Jumat (12/3) sebagai pertemuan puncak resmi pertama dari kelompok yang dikenal sebagai Quad, bagian dorongan untuk menunjukkan komitmen AS yang diperbarui terhadap keamanan regional.
"Sebagai pendukung lama Myanmar dan rakyatnya, kami menekankan kebutuhan mendesak memulihkan demokrasi dan prioritas penguatan ketahanan demokrasi," ungkap keempat pemimpin negara itu dalam pernyataan yang dirilis Gedung Putih.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon dari Reuters untuk meminta komentar.
Penyelidik hak asasi manusia PBB Thomas Andrews pada Jumat menolak komentar "tidak masuk akal" oleh pejabat senior Myanmar bahwa pihak berwenang melakukan "pengekangan sepenuhnya".
Berbicara di depan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, dia menyerukan pendekatan terpadu untuk "menghapus rasa kekebalan junta".
Inggris memperingatkan warganya di Myanmar untuk keluar dari negara itu pada Jumat (12/3), dengan mengatakan, "Ketegangan politik dan kerusuhan meluas sejak kudeta militer dan tingkat kekerasan meningkat."
Korea Selatan mengatakan akan menangguhkan pertukaran pertahanan dan mempertimbangkan kembali bantuan pembangunan ke Myanmar karena kekerasan tersebut.
Kremlin mengatakan Rusia, yang memiliki hubungan dekat dengan militer Myanmar, prihatin atas kekerasan yang meningkat dan "menganalisis" apakah akan menangguhkan kerja sama teknis-militer.
"Kami menilai situasi ini mengkhawatirkan, dan kami prihatin dengan informasi tentang meningkatnya jumlah korban sipil yang datang dari sana," ungkap Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov, dikutip kantor berita TASS.
Awal pekan ini, Dewan Keamanan PBB membatalkan pernyataan yang mengutuk aksi militer sebagai kudeta karena ditentang China, Rusia, India, dan Vietnam.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Polandia mengatakan seorang jurnalis Polandia ditangkap pekan ini di Myanmar, atau reporter asing kedua yang ditahan. Seorang jurnalis Jepang ditahan sebentar saat meliput protes.
“Polisi anti huru hara dan tentara bersenjata memasuki rumah sakit umum di Hakha, negara bagian Chin barat, memaksa semua 30 pasien untuk pergi dan mengusir staf para stafnya,” papar aktivis lokal Salai Lian.
Tentara menduduki rumah sakit dan universitas di Myanmar ketika mereka mencoba menghentikan gerakan pembangkangan sipil yang dimulai dengan pegawai pemerintah seperti dokter dan guru.
Gerakan itu kini berkembang menjadi pemogokan umum yang melumpuhkan banyak sektor ekonomi.
Pada Jumat malam, banyak orang berkumpul untuk berjaga malam. Di Yangon, mereka menyalakan lilin berbentuk salam tiga jari, simbol gerakan perlawanan.
Para biksu berjubah kunyit berkumpul di luar pagoda di wilayah utara Sagaing.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda