Pantang Menyerah Mencari Kerja, Lulusan S2 Jerman Ini Ditolak 800 Kali

Jum'at, 05 Februari 2021 - 06:05 WIB
Abdul Kader Tizini. Foto/Nasdaq
BERLIN - Dampak pandemi COVID-19 yang berkepanjangan menghantam segala sektor mulai dari kesehatan, ekonomi, hingga lapangan kerja. Hal inilah yang saat ini dirasakan oleh Abdul Kader Tizini, lulusan dengan gelar master di bidang teknik mesin dari RWTH Aachen, salah satu universitas teknik ternama di Jerman .

Awalnya, Tizini mengira akan membutuhkan waktu berminggu-minggu sebelum dia mendapatkan pekerjaan impiannya. Namun kenyataan berkehandak lain. Lebih dari sebulan kemudian, virus Corona menyebar ke Jerman, menghentikan ledakan lapangan kerja selama satu dekade.

Sekarang, setelah melewati sekitar 800 lamaran pekerjaan dan 80 wawancara, pria Suriah berusia 29 tahun itu masih mencari pekerjaan.

Menjadi orang asing di negara ekonomi terbesar Eropa bukanlah sebuah posisi yang menguntungkan untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan sebelum pandemi. Posisi ini menjadi penghalang di saat sekarang hanya ada sedikit lowongan.



"Perusahaan berpikir, 'Dengan orang asing kami harus menjelaskan gagasan itu dua kali, dengan orang asli hanya sekali'," katanya seperti dikutip dari Reuters, Jumat (5/2/2021).

Pembekuan pekerjaan dan PHK di ribuan perusahaan Jerman membuat lulusan asing seperti Tizini menghadapi persaingan ketat dengan lulusan asli dan profesional yang menganggur.

Tidak seperti warga negara Jerman dan Uni Eropa, yang berhak atas tunjangan pengangguran dan bantuan virus Corona, banyak lulusan asing tidak memenuhi syarat untuk mendapatkannya.

Ratusan ribu mahasiswa internasional tertarik ke Jerman dalam dekade terakhir, didorong oleh sistem pendidikan tinggi terkemuka namun hampir gratis dan prospek kerja setelah lulus yang kuat.



Data dari Kantor Statistik Federal menunjukkan jumlah siswa internasional di Jerman meningkat sekitar 70% antara 2009 dan 2019.

Anja Robert, penasihat karir di RWTH Aachen, mengatakan siswa internasional di Jerman merasa lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan daripada penduduk asli Jerman.

Ia mengatakan permintaan untuk sesi konseling timnya dan dukungan psikologis telah meningkat sejak Maret, ketika Jerman melakukan penguncian pertama untuk memerangi pandemi.

"Di masa tidak aman seperti itu, orang cenderung ke arah keamanan, mengandalkan keterampilan bahasa, ciri budaya, dan pemahaman yang mapan," ungkapnya.

Tingkat pengangguran Jerman naik sebanyak 6,4% setelah pemerintah memberlakukan lockdown pertama, dari 5% di bulan sebelumnya. Ini mencapai 6% pada Januari tahun ini.



Dampak pandemi pada pasar kerja Jerman telah dikurangi dengan skema "Kurzarbeit" pemerintah yang memungkinkan pemberi kerja untuk memotong jam kerja selama penurunan ekonomi. Tapi itu juga membuat perekrutan pekerja menjadi lebih sulit.

"Perusahaan yang berada dalam skema tersebut dapat mempekerjakan staf dalam kasus luar biasa jika mereka memiliki alasan yang kuat," kata Ludwig Christian, juru bicara Kantor Perburuhan Federal.

Antara April 2020 dan Januari tahun ini, jumlah lowongan baru di Jerman turun 430.000, atau 26% tahun-ke-tahun, data Kantor Tenaga Kerja Jerman menunjukkan.

Tantangan lain yang dihadapi mahasiswa asing adalah jaringan profesional dan sosial yang lebih lemah. Kondisi ini diperburuk oleh pameran kerja dan acara jejaring yang dibatalkan atau dipindahkan secara online di tengah pandemi.

“Jaringan digital lebih sulit, terutama jika Anda berasal dari negara lain dan Anda tidak terbiasa dengan cara kerja jaringan di sini,” ujar Jana Koehler, seorang perekrut internasional yang berbasis di Berlin.



Dua penguncian di musim semi dan musim dingin tahun lalu juga menutup restoran dan pengecer, yang berarti ribuan lebih sedikit pekerjaan paruh waktu yang diisi mahasiswa untuk menghidupi diri mereka sendiri secara finansial.

April lalu, pemerintah Jerman memasukkan orang asing dalam program pinjaman tanpa bunga untuk pelajar. Walaupun begitu, lulusan perguruan tinggi tidak memenuhi syarat.

Akses ke bantuan pengangguran bagi lulusan asing juga bergantung masa tinggal di Jerman selama lima tahun, yang berarti banyak lulusan magister yang dirugikan.

Tizini sendiri bertahan hidup dengan transfer bulanan dari saudaranya.

Setelah menginvestasikan begitu banyak waktu dan lebih dari 10.000 euro untuk belajar di Jerman, kembali ke Suriah bukanlah sebuah pilihan.



“Tidak ada cara untuk hidup selain menunggu bantuan orang lain. Saya memberikan semua yang saya bisa, tetapi semuanya sia-sia,” ujar Tizini.
(ber)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More