Israel Desak Turki Tutup Kantor Hamas sebagai Syarat Perbaikan Hubungan
Rabu, 20 Januari 2021 - 06:06 WIB
TEL AVIV - Israel tidak berniat membangun kembali hubungan normal dengan Turki dan mengirim duta besarnya ke Ankara kecuali pemerintah Turki menutup kantor Hamas di Istanbul.
Kantor Hamas tersebut diduga dijalankan sayap militer Gerakan Perlawanan Islam Palestina (PIRM) atau Hamas.
"(Presiden Recep Tayyip) Erdogan akan dengan senang hati mengembalikan duta besar kami ke Ankara, tetapi yang kami inginkan adalah aktivitas Hamas di Turki," papar seorang pejabat Israel, dikutip Ynet.
Pada 2019, diklaim beberapa tokoh senior Hamas menggunakan Istanbul sebagai tempat berlindung yang aman.
Kemudian pada Oktober tahun lalu, Times of Israel melaporkan Hamas mendirikan kantor di kota tersebut, serta fasilitas rahasia yang diduga digunakan untuk melakukan serangan siber terhadap Israel.
Lihat infografis: Jelang Pelantikan Biden, Toko Senjata di Amerika Serikat Laris
Selama beberapa tahun terakhir, Turki telah menampilkan diri sebagai pendukung perjuangan Palestina, memutuskan hubungan dengan Israel pada 2018 ketika Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain mulai mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Lihat video: Sampah Banjir Bandang di Puncak Mulai Tiba di Pintu Air Manggarai
Pada Agustus tahun lalu, Erdogan menjamu delegasi Hamas yang dipimpin Kepala Biro Politik Ismail Haniyeh. Washington mengutuk pertemuan itu.
Turki juga telah menampilkan dirinya sebagai mediator antara faksi Palestina Hamas dan Fatah, yang memungkinkan mereka bertemu dan bernegosiasi di Istanbul September lalu. Fraksi-fraksi tersebut mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah dialog nasional.
Namun, setelah pembicaraan itu, Hamas dituduh menunda konfirmasi kesepakatan tersebut.
Pada November gerakan tersebut mengatakan bahwa proses rekonsiliasi hancur ketika Fatah dan Otoritas Palestina kembali ke kebijakan kerja sama keamanan dengan Israel.
Sejak akhir tahun lalu, muncul laporan tentang Turki dan Israel yang menjalin kembali hubungan dan mengembalikan duta besar satu sama lain ke jabatan mereka.
Meskipun mengungkapkan keinginannya untuk hubungan yang lebih baik dengan Israel itu, Erdogan menyebut perlakuan Israel terhadap Palestina "tidak dapat diterima".
Erdogan menegaskan kembali bahwa kebijakan Palestina adalah "garis merah".
Menanggapi syarat normalisasi Israel, Turki membalas dan mengatakan bahwa mereka juga memiliki syarat sendiri.
"Hubungan akan menjadi normal jika Israel menghentikan tindakan ilegalnya seperti aneksasi terhadap Palestina. Tanpa ini, hubungan akan dikesampingkan," ungkap Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu.
Kantor Hamas tersebut diduga dijalankan sayap militer Gerakan Perlawanan Islam Palestina (PIRM) atau Hamas.
"(Presiden Recep Tayyip) Erdogan akan dengan senang hati mengembalikan duta besar kami ke Ankara, tetapi yang kami inginkan adalah aktivitas Hamas di Turki," papar seorang pejabat Israel, dikutip Ynet.
Pada 2019, diklaim beberapa tokoh senior Hamas menggunakan Istanbul sebagai tempat berlindung yang aman.
Kemudian pada Oktober tahun lalu, Times of Israel melaporkan Hamas mendirikan kantor di kota tersebut, serta fasilitas rahasia yang diduga digunakan untuk melakukan serangan siber terhadap Israel.
Lihat infografis: Jelang Pelantikan Biden, Toko Senjata di Amerika Serikat Laris
Selama beberapa tahun terakhir, Turki telah menampilkan diri sebagai pendukung perjuangan Palestina, memutuskan hubungan dengan Israel pada 2018 ketika Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain mulai mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Lihat video: Sampah Banjir Bandang di Puncak Mulai Tiba di Pintu Air Manggarai
Pada Agustus tahun lalu, Erdogan menjamu delegasi Hamas yang dipimpin Kepala Biro Politik Ismail Haniyeh. Washington mengutuk pertemuan itu.
Turki juga telah menampilkan dirinya sebagai mediator antara faksi Palestina Hamas dan Fatah, yang memungkinkan mereka bertemu dan bernegosiasi di Istanbul September lalu. Fraksi-fraksi tersebut mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah dialog nasional.
Namun, setelah pembicaraan itu, Hamas dituduh menunda konfirmasi kesepakatan tersebut.
Pada November gerakan tersebut mengatakan bahwa proses rekonsiliasi hancur ketika Fatah dan Otoritas Palestina kembali ke kebijakan kerja sama keamanan dengan Israel.
Sejak akhir tahun lalu, muncul laporan tentang Turki dan Israel yang menjalin kembali hubungan dan mengembalikan duta besar satu sama lain ke jabatan mereka.
Meskipun mengungkapkan keinginannya untuk hubungan yang lebih baik dengan Israel itu, Erdogan menyebut perlakuan Israel terhadap Palestina "tidak dapat diterima".
Erdogan menegaskan kembali bahwa kebijakan Palestina adalah "garis merah".
Menanggapi syarat normalisasi Israel, Turki membalas dan mengatakan bahwa mereka juga memiliki syarat sendiri.
"Hubungan akan menjadi normal jika Israel menghentikan tindakan ilegalnya seperti aneksasi terhadap Palestina. Tanpa ini, hubungan akan dikesampingkan," ungkap Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda