Twitter Larang 70.000 Akun Penyebar Konten Teori Konspirasi QAnon
Rabu, 13 Januari 2021 - 06:06 WIB
NEW YORK - Twitter mengumumkan penangguhan (suspend) permanen 70.000 akun yang diduga terkait teori konspirasi sayap kanan QAnon sejak Jumat.
Penangguhan itu terjadi di tengah “perang” yang masih berlangsung melawan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pendukungnya dari Partai Republik.
Pada 2019, FBI menetapkan QAnon sebagai ancaman teror domestik karena potensinya "memicu kekerasan ekstremis."
Twitter menggambarkan, “Langkah tersebut diambil untuk melindungi percakapan di layanan kami dari upaya menghasut kekerasan, mengatur serangan, dan berbagi informasi yang sengaja menyesatkan tentang hasil pemilu." (Baca Juga: Saham Twitter Turun 7% setelah Suspend Akun Presiden Trump)
Tindakan tegas ini menyusul "peristiwa mengerikan" minggu lalu di Washington DC saat ratusan pendukung Trump menyerbu gedung US Capitol. (Lihat Infografis: Saingi Jet Siluman F-22 AS, China Modifikasi Mesin J-20)
“Banyak contoh dari satu individu yang mengoperasikan banyak akun telah terdeteksi,” ungkap pernyataan Twitter. (Lihat Video: Total Ada Empat Korban Teridentifikasi, Berikut Namanya)
Menyusul penyerbuan US Capitol pada 6 Januari, Twitter memperingatkan dalam posting blog bahwa, "Pelanggaran tambahan terhadap Peraturan Twitter berpotensi mengakibatkan tindakan ini."
Platform media sosial itu juga secara permanen menangguhkan akun Presiden AS Donald Trump, @realDonaldTrump, karena "risiko hasutan lebih lanjut untuk kekerasan." Langkah ini diikuti oleh Instagram dan Facebook.
Partai Demokrat menuduh Trump menghasut para pendukungnya menghentikan sidang Kongres untuk mengonfirmasi kemenangan pemilu Presiden terpilih Joe Biden.
Pada Senin (11/1), Menteri Luar Negeri (Menlu) Mike Pompeo mengecam langkah kontroversial oleh perusahaan teknologi AS dan platform media sosial itu.
"Penyensoran, wokeness, kebenaran politik, semuanya menunjuk ke satu arah: otoritarianisme terselubung sebagai kebenaran moral, mirip dengan apa yang kita lihat di Twitter dan Facebook serta Apple dan di banyak kampus universitas saat ini. Bukan siapa kita," ujar Pompeo pada Voice of America.
Penangguhan itu terjadi di tengah “perang” yang masih berlangsung melawan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pendukungnya dari Partai Republik.
Pada 2019, FBI menetapkan QAnon sebagai ancaman teror domestik karena potensinya "memicu kekerasan ekstremis."
Twitter menggambarkan, “Langkah tersebut diambil untuk melindungi percakapan di layanan kami dari upaya menghasut kekerasan, mengatur serangan, dan berbagi informasi yang sengaja menyesatkan tentang hasil pemilu." (Baca Juga: Saham Twitter Turun 7% setelah Suspend Akun Presiden Trump)
Tindakan tegas ini menyusul "peristiwa mengerikan" minggu lalu di Washington DC saat ratusan pendukung Trump menyerbu gedung US Capitol. (Lihat Infografis: Saingi Jet Siluman F-22 AS, China Modifikasi Mesin J-20)
“Banyak contoh dari satu individu yang mengoperasikan banyak akun telah terdeteksi,” ungkap pernyataan Twitter. (Lihat Video: Total Ada Empat Korban Teridentifikasi, Berikut Namanya)
Menyusul penyerbuan US Capitol pada 6 Januari, Twitter memperingatkan dalam posting blog bahwa, "Pelanggaran tambahan terhadap Peraturan Twitter berpotensi mengakibatkan tindakan ini."
Platform media sosial itu juga secara permanen menangguhkan akun Presiden AS Donald Trump, @realDonaldTrump, karena "risiko hasutan lebih lanjut untuk kekerasan." Langkah ini diikuti oleh Instagram dan Facebook.
Partai Demokrat menuduh Trump menghasut para pendukungnya menghentikan sidang Kongres untuk mengonfirmasi kemenangan pemilu Presiden terpilih Joe Biden.
Pada Senin (11/1), Menteri Luar Negeri (Menlu) Mike Pompeo mengecam langkah kontroversial oleh perusahaan teknologi AS dan platform media sosial itu.
"Penyensoran, wokeness, kebenaran politik, semuanya menunjuk ke satu arah: otoritarianisme terselubung sebagai kebenaran moral, mirip dengan apa yang kita lihat di Twitter dan Facebook serta Apple dan di banyak kampus universitas saat ini. Bukan siapa kita," ujar Pompeo pada Voice of America.
(sya)
tulis komentar anda