Awas, Rilis Data Tak Lengkap Bisa Rusak Kepercayaan pada Vaksin Sinovac
Senin, 28 Desember 2020 - 18:07 WIB
BEIJING - Rilis sedikit demi sedikit dari data kemanjuran vaksin COVID-19 yang dikembangkan Sinovac China dapat merusak kepercayaan publik pada vaksin tersebut.
Peringatan itu diungkapkan para ahli saat beberapa negara mempersiapkan penyuntikan massal dengan vaksin itu.
Para peneliti Turki mengatakan pada Kamis bahwa Sinovac CoronaVac 91,25% efektif berdasarkan analisis sementara. Namun kemudian muncul kebingungan pada hari yang sama dari Brasil yang mengatakan kemanjuran vaksin itu antara 50% dan 90%.
Brasil juga telah menunda rilis data kemanjuran vaksin tersebut sebanyak tiga kali, karena Sinovac berupaya mengonsolidasikan data dari uji coba global yang mencakup Indonesia, Turki, dan Cile. (Baca Juga: China Adili Jurnalis Warga karena Siarkan Langsung Wabah COVID-19 dari Wuhan)
Data efektivitas diawasi ketat karena banyak negara berkembang telah menandatangani kesepakatan untuk menggunakan vaksin Sinovac yang lebih mudah disimpan dan diangkut daripada vaksin saingan yang dikembangkan Pfizer dan mitranya BioNTech dan Moderna. (Lihat Infografis: Didukung Teknologi Informasi, Ini Pekerjaan Favorit di Masa Depan)
Para pakar mengatakan bukan hal aneh jika vaksin menunjukkan tingkat kemanjuran yang berbeda di berbagai pengaturan, karena protokol uji coba, ukuran data, dan populasi dapat memengaruhi hasil, tetapi cara data CoronaVac dirilis menimbulkan kebingungan. (Lihat Video: Ratusan Rumah di Tiga Desa di Langkat Terendam Banjir)
“Anda benar-benar ingin datanya dirangkum pada presentasi pertama; inilah yang dilakukan Pfizer dan Moderna, demikian juga AstraZeneca,” papar Jerome Kim, kepala International Vaccine Institute, badan nirlaba berbasis di Seoul yang mengabdikan diri untuk penelitian vaksin.
“Dengan beberapa 'kebocoran' data dan saran tentang ini atau itu, Anda tidak melihat efek yang sama dengan Sinovac. Mungkin presentasi terakhir di bulan Januari akan lebih menarik,” ujar Kim pada Reuters.
Sinovac belum memberikan komentar.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan, “Pengembang vaksin mendorong dengan kepatuhan ketat pada prinsip-prinsip ilmiah dan persyaratan sesuai peraturan."
Empat vaksin China lainnya dari Sinopharm, CanSino Biologics dan Chinese Academy of Sciences sedang dalam uji klinis Fase 3.
Data uji coba Turki untuk CoronaVac didasarkan pada analisis terhadap 1.322 peserta yang mencakup 29 orang yang terinfeksi, dan evaluasi kemanjuran dilakukan 14 hari setelah dosis kedua diberikan.
Pihak berwenang awalnya berencana mengumumkan hasil tes ketika jumlah pasien mencapai 40, tetapi merilis evaluasi sementara karena negara tersebut berupaya memberikan otorisasi penggunaan darurat.
Menurut laporan Reuters, Indonesia, yang juga mempertimbangkan vaksinasi massal, membingungkan dunia awal bulan ini ketika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bio Farma mengatakan keampuhan vaksin itu 97%. Kemudian diklarifikasi bahwa angka pencegahan belum bisa ditentukan dan perlu menunggu data yang lengkap.
“Jika Anda tidak dapat memberikan rincian yang memadai, mungkin lebih baik Anda tidak membuat pengumuman seperti itu,” ungkap Paul Griffin, profesor di Universitas Queensland yang juga menjalankan sejumlah studi vaksin COVID-19.
Dengan data kemanjuran di Turki berdasarkan hanya 1.322 subjek dan kasus infeksi kecil, para ahli mengatakan lebih banyak data dari sejumlah besar peserta akan diperlukan untuk mendapatkan persetujuan peraturan.
“Sulit untuk menentukan seberapa baik vaksin Sinovac bekerja hanya berdasarkan 29 kasus virus corona,” papar Kim.
“Akan lebih baik jika memiliki lebih banyak sukarelawan dan lebih banyak infeksi, yang akan meningkatkan kekuatan data kemanjuran,” ungkap dia.
Itu akan membuat data dari Brasil menjadi penting setelah menyelesaikan uji coba dengan 13.000 sukarelawan. Adapun uji coba di Turki dan Indonesia masing-masing melibatkan lebih dari 7.000 dan 1.600 relawan.
Beberapa ahli memperingatkan pengawasan yang lebih cermat pada kompilasi dan analisis data untuk vaksin COVID-19 yang dikembangkan di China karena rekam jejak keamanannya yang tidak merata.
“Ini harus dianalisis dengan sangat jelas dan transparan. Dan transparansi adalah salah satu perhatian terbesar bagi China, terutama dengan vaksin mereka dan juga karena rekam jejak mereka,” papar Dicky Budiman, ahli epidemiologi di Universitas Griffith Queensland.
"Jadi ini adalah salah satu waktu yang sangat penting dan krusial bagi China untuk menunjukkan kepada dunia bagaimana mereka telah meningkatkan kualitas vaksin mereka. Ini adalah sesuatu yang harus mereka jelaskan kepada dunia, tentu saja melalui makalah ilmiah," ujar dia.
Peringatan itu diungkapkan para ahli saat beberapa negara mempersiapkan penyuntikan massal dengan vaksin itu.
Para peneliti Turki mengatakan pada Kamis bahwa Sinovac CoronaVac 91,25% efektif berdasarkan analisis sementara. Namun kemudian muncul kebingungan pada hari yang sama dari Brasil yang mengatakan kemanjuran vaksin itu antara 50% dan 90%.
Brasil juga telah menunda rilis data kemanjuran vaksin tersebut sebanyak tiga kali, karena Sinovac berupaya mengonsolidasikan data dari uji coba global yang mencakup Indonesia, Turki, dan Cile. (Baca Juga: China Adili Jurnalis Warga karena Siarkan Langsung Wabah COVID-19 dari Wuhan)
Data efektivitas diawasi ketat karena banyak negara berkembang telah menandatangani kesepakatan untuk menggunakan vaksin Sinovac yang lebih mudah disimpan dan diangkut daripada vaksin saingan yang dikembangkan Pfizer dan mitranya BioNTech dan Moderna. (Lihat Infografis: Didukung Teknologi Informasi, Ini Pekerjaan Favorit di Masa Depan)
Para pakar mengatakan bukan hal aneh jika vaksin menunjukkan tingkat kemanjuran yang berbeda di berbagai pengaturan, karena protokol uji coba, ukuran data, dan populasi dapat memengaruhi hasil, tetapi cara data CoronaVac dirilis menimbulkan kebingungan. (Lihat Video: Ratusan Rumah di Tiga Desa di Langkat Terendam Banjir)
“Anda benar-benar ingin datanya dirangkum pada presentasi pertama; inilah yang dilakukan Pfizer dan Moderna, demikian juga AstraZeneca,” papar Jerome Kim, kepala International Vaccine Institute, badan nirlaba berbasis di Seoul yang mengabdikan diri untuk penelitian vaksin.
“Dengan beberapa 'kebocoran' data dan saran tentang ini atau itu, Anda tidak melihat efek yang sama dengan Sinovac. Mungkin presentasi terakhir di bulan Januari akan lebih menarik,” ujar Kim pada Reuters.
Sinovac belum memberikan komentar.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan, “Pengembang vaksin mendorong dengan kepatuhan ketat pada prinsip-prinsip ilmiah dan persyaratan sesuai peraturan."
Empat vaksin China lainnya dari Sinopharm, CanSino Biologics dan Chinese Academy of Sciences sedang dalam uji klinis Fase 3.
Data uji coba Turki untuk CoronaVac didasarkan pada analisis terhadap 1.322 peserta yang mencakup 29 orang yang terinfeksi, dan evaluasi kemanjuran dilakukan 14 hari setelah dosis kedua diberikan.
Pihak berwenang awalnya berencana mengumumkan hasil tes ketika jumlah pasien mencapai 40, tetapi merilis evaluasi sementara karena negara tersebut berupaya memberikan otorisasi penggunaan darurat.
Menurut laporan Reuters, Indonesia, yang juga mempertimbangkan vaksinasi massal, membingungkan dunia awal bulan ini ketika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bio Farma mengatakan keampuhan vaksin itu 97%. Kemudian diklarifikasi bahwa angka pencegahan belum bisa ditentukan dan perlu menunggu data yang lengkap.
“Jika Anda tidak dapat memberikan rincian yang memadai, mungkin lebih baik Anda tidak membuat pengumuman seperti itu,” ungkap Paul Griffin, profesor di Universitas Queensland yang juga menjalankan sejumlah studi vaksin COVID-19.
Dengan data kemanjuran di Turki berdasarkan hanya 1.322 subjek dan kasus infeksi kecil, para ahli mengatakan lebih banyak data dari sejumlah besar peserta akan diperlukan untuk mendapatkan persetujuan peraturan.
“Sulit untuk menentukan seberapa baik vaksin Sinovac bekerja hanya berdasarkan 29 kasus virus corona,” papar Kim.
“Akan lebih baik jika memiliki lebih banyak sukarelawan dan lebih banyak infeksi, yang akan meningkatkan kekuatan data kemanjuran,” ungkap dia.
Itu akan membuat data dari Brasil menjadi penting setelah menyelesaikan uji coba dengan 13.000 sukarelawan. Adapun uji coba di Turki dan Indonesia masing-masing melibatkan lebih dari 7.000 dan 1.600 relawan.
Beberapa ahli memperingatkan pengawasan yang lebih cermat pada kompilasi dan analisis data untuk vaksin COVID-19 yang dikembangkan di China karena rekam jejak keamanannya yang tidak merata.
“Ini harus dianalisis dengan sangat jelas dan transparan. Dan transparansi adalah salah satu perhatian terbesar bagi China, terutama dengan vaksin mereka dan juga karena rekam jejak mereka,” papar Dicky Budiman, ahli epidemiologi di Universitas Griffith Queensland.
"Jadi ini adalah salah satu waktu yang sangat penting dan krusial bagi China untuk menunjukkan kepada dunia bagaimana mereka telah meningkatkan kualitas vaksin mereka. Ini adalah sesuatu yang harus mereka jelaskan kepada dunia, tentu saja melalui makalah ilmiah," ujar dia.
(sya)
tulis komentar anda