Masih Terguncang, Pengungsi Etnis Armenia Kembali ke Nagorno-Karabakh
Selasa, 17 November 2020 - 04:04 WIB
STEPANAKERT - Para pengungsi Armenia yang menyelamatkan diri dari perang enam pekan antara Azerbaijan dan etnis Armenia telah mulai kembali ke rumahnya di Nagorno-Karabakh .
Mereka berupaya membangun lagi hidup yang terkoyak setelah Rusia pekan lalu menengahi perundingan damai di wilayah tersebut.
Ada dua konvoi bus yang membawa warga tiba di ibu kota daerah pegunungan Stepanakert, dari negara tetangga Armenia pada akhir pekan.
Sesuai ketentuan perjanjian, kendali atas kota utama Stepanakert, akan tetap dipegang etnis Armenia meskipun mereka dipaksa menyerahkan tanah lainnya kepada Azerbaijan yang menang perang. (Baca Juga: Pasukan Rusia Lihat Mayat-mayat Tentara Armenia Bergelimpangan di Jalan)
Pada Senin, para pengungsi berbaris di pusat Stepanakert, yang telah ditinggalkan selama beberapa pekan. Mereka antre untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan berisi bahan pokok seperti makanan kaleng dan pasta. (Lihat Infografis: Setelah Akui Biden Menang, Trump Mentweet: Saya Menang!)
Beberapa pria membagikan potongan-potongan plastik yang dapat digunakan para pengungsi yang kembali untuk memperbaiki jendela yang pecah di rumah mereka. (Lihat Video: Arab Saudi Tutup Kembali Izin Umrah untuk Jamaah Indonesia)
Beberapa mengatakan mereka kembali dengan berat hati. “Saya sudah melihat perang ketiga di sini. Pada 1992 dan 2016 saya tidak meninggalkan kota bahkan semenit pun. Tapi kali ini mengerikan,” ungkap seorang wanita paruh baya yang menolak menyebutkan namanya.
Wanita itu telah kembali ke rumahnya pada Minggu. Dia mengungsi ke kota perbatasan Armenia, Sisian setelah pertempuran pekan pertama pada awal Oktober, saat dia terpaksa bersembunyi dari serangan di tempat perlindungan.
Meski kota Stepanakert tetap berada di tangan etnis Armenia setelah kesepakatan itu, Shusha, kota terbesar kedua di Nagorno-Karabakh, sekarang dikendalikan Azerbaijan.
"Tidak ada orang Armenia di Shusha sekarang," ujar Alexander Simonyan, 35, guru senam dari Shusha.
Ketika pertempuran dimulai, dia mengirim istri dan anak-anaknya ke Armenia. Dia pun bergabung dengan pasukan pertahanan etnis Armenia di Nagorno-Karabakh.
Dia sekarang tinggal dengan seorang teman di Stepanakert dan tidak punya tempat untuk menampung keluarganya. Dia berharap pemerintah setempat menawarkan mereka semua tempat tinggal. “Ini tanah kami. Kemana lagi saya bisa pergi? Saya tidak bisa tinggal di tempat lain," tutur dia.
Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pada Senin pihaknya telah membantu 475 orang untuk kembali pada Minggu dan total 725 orang telah kembali sejak 14 November.
Setelah gencatan senjata, Andranik Sarkisyan, 27, mantan pejuang, berhasil membawa istri dan dua putranya kembali dari Armenia ke desa asal mereka di Badara, Nagorno-Karabakh.
Berita tentang gencatan senjata itu menyakitkan baginya. “Saya berada di garis depan dan mereka (komandan) hanya menelepon dan memberi tahu kami bahwa tanah telah diserahkan. Semua tentara menangis," ujar dia.
Sarkisyan bekerja sebagai penata rambut di Stepanakert sebelum perang dan pergi berperang di distrik Gadrut, yang diambil alih pasukan Azerbaijan pada awal konflik.
Banyak orang di batalionnya telah terbunuh oleh tembakan artileri dalam serangan 11 Oktober. Dia selamat karena pergi lebih awal untuk menjaga pos pemeriksaan.
“Orang-orang itu terbakar, mereka mati, kami mengumpulkan bagian tubuh mereka. Saya melihatnya setiap malam. Itu tak tertahankan, tidak mungkin,” ungkap dia.
Ingatan seperti itu membuatnya sulit untuk memikirkan syarat-syarat kesepakatan damai.
“Ini bukan tentang tanah. Ini tentang darah yang tumpah di atasnya. Saya berharap itu adalah perang terakhir,” papar dia.
Mereka berupaya membangun lagi hidup yang terkoyak setelah Rusia pekan lalu menengahi perundingan damai di wilayah tersebut.
Ada dua konvoi bus yang membawa warga tiba di ibu kota daerah pegunungan Stepanakert, dari negara tetangga Armenia pada akhir pekan.
Sesuai ketentuan perjanjian, kendali atas kota utama Stepanakert, akan tetap dipegang etnis Armenia meskipun mereka dipaksa menyerahkan tanah lainnya kepada Azerbaijan yang menang perang. (Baca Juga: Pasukan Rusia Lihat Mayat-mayat Tentara Armenia Bergelimpangan di Jalan)
Pada Senin, para pengungsi berbaris di pusat Stepanakert, yang telah ditinggalkan selama beberapa pekan. Mereka antre untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan berisi bahan pokok seperti makanan kaleng dan pasta. (Lihat Infografis: Setelah Akui Biden Menang, Trump Mentweet: Saya Menang!)
Beberapa pria membagikan potongan-potongan plastik yang dapat digunakan para pengungsi yang kembali untuk memperbaiki jendela yang pecah di rumah mereka. (Lihat Video: Arab Saudi Tutup Kembali Izin Umrah untuk Jamaah Indonesia)
Beberapa mengatakan mereka kembali dengan berat hati. “Saya sudah melihat perang ketiga di sini. Pada 1992 dan 2016 saya tidak meninggalkan kota bahkan semenit pun. Tapi kali ini mengerikan,” ungkap seorang wanita paruh baya yang menolak menyebutkan namanya.
Wanita itu telah kembali ke rumahnya pada Minggu. Dia mengungsi ke kota perbatasan Armenia, Sisian setelah pertempuran pekan pertama pada awal Oktober, saat dia terpaksa bersembunyi dari serangan di tempat perlindungan.
Meski kota Stepanakert tetap berada di tangan etnis Armenia setelah kesepakatan itu, Shusha, kota terbesar kedua di Nagorno-Karabakh, sekarang dikendalikan Azerbaijan.
"Tidak ada orang Armenia di Shusha sekarang," ujar Alexander Simonyan, 35, guru senam dari Shusha.
Ketika pertempuran dimulai, dia mengirim istri dan anak-anaknya ke Armenia. Dia pun bergabung dengan pasukan pertahanan etnis Armenia di Nagorno-Karabakh.
Dia sekarang tinggal dengan seorang teman di Stepanakert dan tidak punya tempat untuk menampung keluarganya. Dia berharap pemerintah setempat menawarkan mereka semua tempat tinggal. “Ini tanah kami. Kemana lagi saya bisa pergi? Saya tidak bisa tinggal di tempat lain," tutur dia.
Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pada Senin pihaknya telah membantu 475 orang untuk kembali pada Minggu dan total 725 orang telah kembali sejak 14 November.
Setelah gencatan senjata, Andranik Sarkisyan, 27, mantan pejuang, berhasil membawa istri dan dua putranya kembali dari Armenia ke desa asal mereka di Badara, Nagorno-Karabakh.
Berita tentang gencatan senjata itu menyakitkan baginya. “Saya berada di garis depan dan mereka (komandan) hanya menelepon dan memberi tahu kami bahwa tanah telah diserahkan. Semua tentara menangis," ujar dia.
Sarkisyan bekerja sebagai penata rambut di Stepanakert sebelum perang dan pergi berperang di distrik Gadrut, yang diambil alih pasukan Azerbaijan pada awal konflik.
Banyak orang di batalionnya telah terbunuh oleh tembakan artileri dalam serangan 11 Oktober. Dia selamat karena pergi lebih awal untuk menjaga pos pemeriksaan.
“Orang-orang itu terbakar, mereka mati, kami mengumpulkan bagian tubuh mereka. Saya melihatnya setiap malam. Itu tak tertahankan, tidak mungkin,” ungkap dia.
Ingatan seperti itu membuatnya sulit untuk memikirkan syarat-syarat kesepakatan damai.
“Ini bukan tentang tanah. Ini tentang darah yang tumpah di atasnya. Saya berharap itu adalah perang terakhir,” papar dia.
(sya)
tulis komentar anda