Momentum AS Kokohkan Pimpin Dunia
Kamis, 05 November 2020 - 06:05 WIB
Secara regional, pemenang pemilu AS juga akan mempengaruhi keterlibatan dan bagaimana keterlibatan AS di kawasan, termasuk Asia. “Trump sudah kita lihat cukup keras dalam perang dagang dengan China dan bagaimana kebijakannya terkait Korea Utara dan Laut China Selatan. Secara garis besar kebijakannya cukup destabilizing dalam beberapa hal,” ujarnya. (Baca juga: Industri Sawit redup, Ini Sebabnya)
Dosen Universitas Bina Nusantara (Binus) itu menilai Biden sepertinya akan mengikuti pendekatan diplomasinya yang dilakukan Barack Obama. Dengan demikian, AS akan lebih kooperatif di Kawasan. Meskipun, dalam isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi bagian dari nilai demokrat akan tetap dijunjung tinggi.
Trump, menurutnya, lebih menarik diri dari berbagai perjanjian internasional. Hal tersebut mengesankan unilateralis, kurang mau bekerja sama, dan kebijakannya sering sulit ditebak. “Ini sangat berdampak pada stabilitas di level global dan kepercayaan masyarakat internasional, termasuk Indonesia,” ucapnya.
Populisme Menguat
Pilpres AS juga menyisakan pertarungan politik yang kian memprihatinkan. Ini ditandai dengan adanya bentrok fisik, persaingan klaim politik, dan fanatisme yang menguat antara pendukung Trump maupun Biden. Perilaku mereka seolah tidak lagi menghiraukan spirit “the United States”. (Baca juga: Trump Klaim Menangi Pemilu AS)
Kondisi itu semakin menunjukkan ada pergeseran fundamental karakter demokrasi AS. “Lagi-lagi, populisme politik menguat yang ditandai oleh eksploitasi politik identitas, hoaks, fake news dan hate speech di berbagai lapisan masyarakat," ujar Dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, kemarin.
Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC), mengatakan, pembelahan itu ditunjukkan oleh ketatnya persaingan electoral collage votes di fase penghitungan kemarin antara Trump dan Biden. Hingga di penghujung penghitungan, belum bisa cepat ditarik kesimpulan siapa yang unggul karena keduanya berimbang, dan kuncinya berada di kota-kota penentu laiknya Pennsylvania (20), Michigan (16), atau Georgia (16).
"Hal itu menunjukkan bahwa kontroversi, impeachment politik dan kepongahan pemimpin, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 yang kedodoran, tidak mengubah arah perilaku politik masyarakat Amerika Serikat," katanya. (Lihat videonya: Trump dan Biden Saling Klaim Menang di Pilpres 2020)
Menurutnya, kualitas demokrasi AS yang semakin kurang sehat itu berpotensi menjalar ke negara-negara berkembang yang sedang berjuang melakukan konsolidasi demokrasi di negara masing-masing. Perang opini yang didasarkan pada hate speech, fake news hingga eksploitasi politik identitas berpotensi memunculkan instabilitas politik dan keamanan yang tidak produktif bagi proses recovery ekonomi global di masa pandemi.
“Terlebih lagi, terkait dengan dinamika Islam, hal ini menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan," pungkas Umam. (Andika H Mustaqim/F.W.Bahtiar/Abdul Rochim)
Dosen Universitas Bina Nusantara (Binus) itu menilai Biden sepertinya akan mengikuti pendekatan diplomasinya yang dilakukan Barack Obama. Dengan demikian, AS akan lebih kooperatif di Kawasan. Meskipun, dalam isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi bagian dari nilai demokrat akan tetap dijunjung tinggi.
Trump, menurutnya, lebih menarik diri dari berbagai perjanjian internasional. Hal tersebut mengesankan unilateralis, kurang mau bekerja sama, dan kebijakannya sering sulit ditebak. “Ini sangat berdampak pada stabilitas di level global dan kepercayaan masyarakat internasional, termasuk Indonesia,” ucapnya.
Populisme Menguat
Pilpres AS juga menyisakan pertarungan politik yang kian memprihatinkan. Ini ditandai dengan adanya bentrok fisik, persaingan klaim politik, dan fanatisme yang menguat antara pendukung Trump maupun Biden. Perilaku mereka seolah tidak lagi menghiraukan spirit “the United States”. (Baca juga: Trump Klaim Menangi Pemilu AS)
Kondisi itu semakin menunjukkan ada pergeseran fundamental karakter demokrasi AS. “Lagi-lagi, populisme politik menguat yang ditandai oleh eksploitasi politik identitas, hoaks, fake news dan hate speech di berbagai lapisan masyarakat," ujar Dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, kemarin.
Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC), mengatakan, pembelahan itu ditunjukkan oleh ketatnya persaingan electoral collage votes di fase penghitungan kemarin antara Trump dan Biden. Hingga di penghujung penghitungan, belum bisa cepat ditarik kesimpulan siapa yang unggul karena keduanya berimbang, dan kuncinya berada di kota-kota penentu laiknya Pennsylvania (20), Michigan (16), atau Georgia (16).
"Hal itu menunjukkan bahwa kontroversi, impeachment politik dan kepongahan pemimpin, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 yang kedodoran, tidak mengubah arah perilaku politik masyarakat Amerika Serikat," katanya. (Lihat videonya: Trump dan Biden Saling Klaim Menang di Pilpres 2020)
Menurutnya, kualitas demokrasi AS yang semakin kurang sehat itu berpotensi menjalar ke negara-negara berkembang yang sedang berjuang melakukan konsolidasi demokrasi di negara masing-masing. Perang opini yang didasarkan pada hate speech, fake news hingga eksploitasi politik identitas berpotensi memunculkan instabilitas politik dan keamanan yang tidak produktif bagi proses recovery ekonomi global di masa pandemi.
“Terlebih lagi, terkait dengan dinamika Islam, hal ini menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan," pungkas Umam. (Andika H Mustaqim/F.W.Bahtiar/Abdul Rochim)
tulis komentar anda