Entengkan Wabah Tapi Kena Getah
Rabu, 07 Oktober 2020 - 06:07 WIB
WASHINGTON - Hingga kemarin, virus corona telah menjangkiti lebih dari 35 juta orang di dunia. Kendati 1 juta nyawa telah melayang dan belum mampu terkendali, nyatanya masih banyak masyarakat yang tak percaya dan kurang peduli. Sikap abai ini pun sebagian dilakukan para pemimpin negara.
Ironisnya, meski terkesan berani dengan menyepelekan bahaya besar virus ini, mereka nyatanya tak lantas selamanya bebas terjangkiti. Ini seperti yang dialami Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Jumat (2/10/2020), Trump dan istrinya terkonfirmasi positif kasus Covid-19. (Baca: Menghormati dan Memuliakan Tetangga)
Trump selama ini mengampanyekan untuk tidak takut beraktivitas di luar rumah di tengah pandemi corona yang melanda luas di AS. Bahkan dalam banyak kesempatan, Trump dengan terang-terangan enggan memakai masker. Senin (5/10/2020), Trump pun langsung melepas masker setiba di gedung Gedung Putih usai empat hari menjalani isolasi di Pusat Medis Nasional Walter Reed.
Selain Trump, sikap abai pemimpin negara juga pernah ditunjukkan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, Presiden Belarusia Alexander Lukashenko dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Sama seperti Trump, mereka juga akhirnya terpapar corona akibat sikap kekuranghati-hatiannya sendiri.
Pada lingkup luas, langkah yang dilakukan sejumlah pemimpin Negara, tokoh atau selebritas yang abai dengan virus corona sangat membahayakan. Sebab, sebagai panutan (role model) banyak tindakan mereka diikuti oleh pendukungnya. Jika penanganan korona tidak mampu ditangani dengan maksimal, maka bencana lebih luas mengancam. (Baca juga: UU Ciptaker Buat Dunia Pendidikan Makin Komersial)
Trump kemarin masih memegang pendiriannya bahwa Covid-19 tidak semematikan yang dibayangkan banyak orang. Meski jumlah korban tewas mencapai sejuta orang di seluruh dunia, mayoritas korban sebenarnya memiliki penyakit akut, mulai dari asma, diabetes, hingga jantung. Selain itu, lebih dari 90% orang yang terpapar dapat sembuh. “Masyarakat AS jangan takut dengan Covid-19 dan jangan takut untuk beraktivitas di luar rumah,” ujar Trump.
Dokter pun menyatakan Trump sebenarnya masih perlu menjalani perawatan. Namun, nyatanya sambil mengenakan masker, dia nekat bertemu para pendukungnya. Para pengkritik menilai aksi tersebut membahayakan warga AS yang lain mengingat Trump belum dinyatakan sembuh. Selain itu Trump belum menjalani isolasi setidaknya selama 14 hari.
Soal tindakan Trump, Jeffrey Shaman, epidemolog dari Universitas Columbia, New York, mengatakan kepemimpinan Trump bukan hanya melakukan tindakan bodoh, tetapi melakukan sabotase. Berbagai kekisruhan yang dilakukan Trump sebenarnya tak lepas agenda politik. "Namun agenda politik yang kacau," kata Susan Hyde, pakar politik dari Universitas California, Berkeley.
Selain Trump, Presiden Brasil Jair Bolsonaro juga berupaya meredam ketakutan berlebih rakyatnya dari Covid-19 . Dia juga menjalani aktivitas seperti biasanya. Bahkan, Bolsonaro tak jarang bersikap nyeleneh dengan melanggar protokol kesehatan dan sengaja masuk kerumunan para pengunjuk rasa untuk selfie bersama. Dia pun diminta mengisolasi diri. (Baca juga: Bentengi Tubuh dari Covid-19 dengan Olahraga)
Bolsonaro mencoba melawan paradigma internasional terkait Covid-19 dan mendorong masyarakat tetap beraktivitas di luar rumah. Dia juga langsung mempraktikannya dengan melakukan pertemuan, menyapa pendukungnya, berjabat tangan, dan tidak takut bertukar barang sebagai simbol keeratan antarwarga di Brasil.
Ribuan warga Brasil turun ke jalan menuntut penutupan Mahkamah Agung dan Kongres. Bolsonaro yang sedang menjalani isolasi melarikan diri untuk menemui pengunjuk rasa. Di luar pendukungnya, Bolsonaro dikritik habis. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Brasil, Rodrigo Maia, mengatakan aksi itu membahayakan masyarakat.
Berdasarkan hasil swab terbaru pada akhir pekan lalu, Bolsonaro negatif Covid-19. Namun, dia dilaporkan kembali positif. Alhasil, Bolsonaro menyatakan akan melakukan isolasi mandiri selama 7 hari dan kembali melalui tes swab pekan ini. Dengan usia 64 tahun dan pernah menjalani operasi dalam 18 bulan terakhir, dia masuk dalam kelompok rentan.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Inggris juga tampak setengah hati menanggapi kedaruratan Covid-19 . Saat ini, selain meniru gaya simpel Swedia, Johnson juga menolak larangan jabat tangan saat bertegur sapa. Dia mengaku telah berjabat tangan dengan semua orang di rumah sakit rujukan Covid-19.
Menurut Johnson, ketakutan seperti itu tidak diperlukan. “Saya kira tidak ada salahnya menjaga budaya dan sosialisasi seperti itu selama kita dapat menjaga kebersihan diri,” ujar Johnson yang pada 27 Maret lalu diketahui positif Covid. (Baca juga: Canggih, Kecerdasan Buat Mampu Deteksi Bakal Penyakit)
Kepala negara lainnya, Alexander Lukashenko dari Belarusia juga merasa sejauh ini negaranya aman dan dijauhkan dari Covid-19 . Dia menjalani aktivitas seperti biasa tanpa masker ataupun kewajiban menjaga jarak. “Tidak ada wabah virus Covid-19 di sini. Saya lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut,” kata Lukashenko.
Kehidupan masyarakat di Belarusia juga normal. Pabrik, toko, dan restoran beroperasi seperti biasanya. Aula-aula olahraga juga ramai dipadati penonton. Selain itu, sangat jarang warga Belarusia yang mengenakan masker.
Sukses Tangani Pandemi
Sementara itu, pemimpin yang dinilai sukses mengatasi pandemi corona adalah Taiwan, Jerman dan Selandia Baru. Tiga negara itu juga menjadi representasi penanganan Covid-19 , satu di jantung Eropa, satu di Asia, dan satunya di Pasifik Selatan.
Kesamaannya, ketiga negara itu dipimpin oleh pemimpin perempuan. Kesuksesn perempuan memimpin pemerintahan dalam menghadapi pandemi global itu menjadi catatan penting, pasalnya hanya 7% pemimpin dunia adalah perempuan. (Baca juga: RUU Cipta Kerja Sah Jadi UU, Ini Deretan Dampak Buruknya Bagi Rakyat)
Di Taiwan, kebijakan intervensi dini dikontrol sehingga pandemi korona tidak menyebar luas. Mereka juga mengekspor jutaan masker ke Eropa dan negara lain. Jerman melaksanakan pengujian Covid-19 secara massal sebanyak 350.000 sampel setiap pekan. Itu mampu mendeteksi pasien yang terinfeksi virus dan bisa mengisolasi diri serta memberikan pelayanan bagi pasien. Di Selandia Baru, pemerintahan bergerak cepat dengan menutup pariwisata dan memberlakukan isolasi wilayah di negara selama sebulan.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga mendapatkan pujian karena tingkat kematian akibat Covid-19 di negara itu yang cukup rendah dibandingkan negara Eropa lain. Doktor bidang kimia kuantum itu langsung meningkatkan jumlah tempat tidur di unit intensif di rumah sakit dan melaksanakan pengujian virus corona secara massal.
“Mungkin kekuatan terbesar di Jerman adalah membuat keputusan secara rasional pada tataran tertinggi pemerintahan dan dikombinasikan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi,” kata Hans-Georg Kräusslich, kepala divisi virologi di Universitas Rumah Sakit di Heiderlberg, kepada New York Times.
Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern langsung menutup perbatasan Selandia Baru bagi wisatawan asing sejak 19 Maret dan mengumumkan isolasi wilayah selama empat pekan pada 23 Maret. Dia meminta warga tetap bertahan di rumah kecuali pekerja medis dan keamanan. (Baca juga: Cek Disini! Aturan Jam Kerja Baru dalam Omnibus Law)
Pengujian Covid-19 juga dilaksanakan secara massal. Selandia hanya mencatat 1.300 kasus dan sembilan kematian. “Menghadapi ancaman terbesar bagi kesehatan manusia, kita melihat negara Kiwi benar-benar tenang dan mengimplementasi tembok perbatasan negara,” katanya.
Selain tiga negara tersebut, lima negara Skandinavia lainnya juga dipimpin perempuan. Negara tersebut memiliki tingkat kematian yang rendah karena virus korona. Misalnya, PM Finlandia Sanna Martin, 34, pemimpin termuda di dunia dengan tingkat popularitas hingga 85%, mampu menyiapkan negaranya menghadapi pandemi dengan korban 59 orang meninggal.
PM Islandia Katrín Jakobsdóttir yang mengatur 360.000 juga dipuji karena mampu mengatasi penyebaran virus korona. Dia melakukan pengujian massal dan pelacakan pasien serta karantina.
Di Indonesia, meski pemerintah berjuang keras menangani virus ini, masih banyak masyarakat yang terlalu percaya diri tak akan tertular Covid. Ini dikuatkan dengan survei Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu yang mengungkapkan bahwa sekitar 17 dari 100 orang meyakini bahwa dirinya tidak akan tertular Covid.
Menanggapi hal ini, Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 , Turro Wongkaren mengatakan bahwa masyarakat Indonesia beragam dari Sabang sampai Merauke. Sehingga pemahaman mereka tentang Covid juga berbeda-beda. (Lihat videonya: Menegangkan, Unjuk rasa Mahasiswa Menolak UU Cipta Kerja Berakhir Rusuh di Bandung)
Bahkan, kata Turro ada kemungkinan beberapa masyarakat tersebut mendapatkan informasi yang salah. Oleh karena itu, Turro mengatakan ini yang menjadi tugas Satgas untuk memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat bahwa Covid-19 bisa menyerang siapapun tidak pandang bulu.
Selain soal kesadaran, keteladanan dari para pemimpin atau tokoh menjadi role model juga penting. “Di Indonesia salah satu yang memang penting adalah role model. Itu bisa dari tokoh agama, tokoh masyarakat, bisa bisa selebritas,” ungkap Turro. (Muh Shamil/Binti Mufarida)
Ironisnya, meski terkesan berani dengan menyepelekan bahaya besar virus ini, mereka nyatanya tak lantas selamanya bebas terjangkiti. Ini seperti yang dialami Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Jumat (2/10/2020), Trump dan istrinya terkonfirmasi positif kasus Covid-19. (Baca: Menghormati dan Memuliakan Tetangga)
Trump selama ini mengampanyekan untuk tidak takut beraktivitas di luar rumah di tengah pandemi corona yang melanda luas di AS. Bahkan dalam banyak kesempatan, Trump dengan terang-terangan enggan memakai masker. Senin (5/10/2020), Trump pun langsung melepas masker setiba di gedung Gedung Putih usai empat hari menjalani isolasi di Pusat Medis Nasional Walter Reed.
Selain Trump, sikap abai pemimpin negara juga pernah ditunjukkan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, Presiden Belarusia Alexander Lukashenko dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Sama seperti Trump, mereka juga akhirnya terpapar corona akibat sikap kekuranghati-hatiannya sendiri.
Pada lingkup luas, langkah yang dilakukan sejumlah pemimpin Negara, tokoh atau selebritas yang abai dengan virus corona sangat membahayakan. Sebab, sebagai panutan (role model) banyak tindakan mereka diikuti oleh pendukungnya. Jika penanganan korona tidak mampu ditangani dengan maksimal, maka bencana lebih luas mengancam. (Baca juga: UU Ciptaker Buat Dunia Pendidikan Makin Komersial)
Trump kemarin masih memegang pendiriannya bahwa Covid-19 tidak semematikan yang dibayangkan banyak orang. Meski jumlah korban tewas mencapai sejuta orang di seluruh dunia, mayoritas korban sebenarnya memiliki penyakit akut, mulai dari asma, diabetes, hingga jantung. Selain itu, lebih dari 90% orang yang terpapar dapat sembuh. “Masyarakat AS jangan takut dengan Covid-19 dan jangan takut untuk beraktivitas di luar rumah,” ujar Trump.
Dokter pun menyatakan Trump sebenarnya masih perlu menjalani perawatan. Namun, nyatanya sambil mengenakan masker, dia nekat bertemu para pendukungnya. Para pengkritik menilai aksi tersebut membahayakan warga AS yang lain mengingat Trump belum dinyatakan sembuh. Selain itu Trump belum menjalani isolasi setidaknya selama 14 hari.
Soal tindakan Trump, Jeffrey Shaman, epidemolog dari Universitas Columbia, New York, mengatakan kepemimpinan Trump bukan hanya melakukan tindakan bodoh, tetapi melakukan sabotase. Berbagai kekisruhan yang dilakukan Trump sebenarnya tak lepas agenda politik. "Namun agenda politik yang kacau," kata Susan Hyde, pakar politik dari Universitas California, Berkeley.
Selain Trump, Presiden Brasil Jair Bolsonaro juga berupaya meredam ketakutan berlebih rakyatnya dari Covid-19 . Dia juga menjalani aktivitas seperti biasanya. Bahkan, Bolsonaro tak jarang bersikap nyeleneh dengan melanggar protokol kesehatan dan sengaja masuk kerumunan para pengunjuk rasa untuk selfie bersama. Dia pun diminta mengisolasi diri. (Baca juga: Bentengi Tubuh dari Covid-19 dengan Olahraga)
Bolsonaro mencoba melawan paradigma internasional terkait Covid-19 dan mendorong masyarakat tetap beraktivitas di luar rumah. Dia juga langsung mempraktikannya dengan melakukan pertemuan, menyapa pendukungnya, berjabat tangan, dan tidak takut bertukar barang sebagai simbol keeratan antarwarga di Brasil.
Ribuan warga Brasil turun ke jalan menuntut penutupan Mahkamah Agung dan Kongres. Bolsonaro yang sedang menjalani isolasi melarikan diri untuk menemui pengunjuk rasa. Di luar pendukungnya, Bolsonaro dikritik habis. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Brasil, Rodrigo Maia, mengatakan aksi itu membahayakan masyarakat.
Berdasarkan hasil swab terbaru pada akhir pekan lalu, Bolsonaro negatif Covid-19. Namun, dia dilaporkan kembali positif. Alhasil, Bolsonaro menyatakan akan melakukan isolasi mandiri selama 7 hari dan kembali melalui tes swab pekan ini. Dengan usia 64 tahun dan pernah menjalani operasi dalam 18 bulan terakhir, dia masuk dalam kelompok rentan.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Inggris juga tampak setengah hati menanggapi kedaruratan Covid-19 . Saat ini, selain meniru gaya simpel Swedia, Johnson juga menolak larangan jabat tangan saat bertegur sapa. Dia mengaku telah berjabat tangan dengan semua orang di rumah sakit rujukan Covid-19.
Menurut Johnson, ketakutan seperti itu tidak diperlukan. “Saya kira tidak ada salahnya menjaga budaya dan sosialisasi seperti itu selama kita dapat menjaga kebersihan diri,” ujar Johnson yang pada 27 Maret lalu diketahui positif Covid. (Baca juga: Canggih, Kecerdasan Buat Mampu Deteksi Bakal Penyakit)
Kepala negara lainnya, Alexander Lukashenko dari Belarusia juga merasa sejauh ini negaranya aman dan dijauhkan dari Covid-19 . Dia menjalani aktivitas seperti biasa tanpa masker ataupun kewajiban menjaga jarak. “Tidak ada wabah virus Covid-19 di sini. Saya lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut,” kata Lukashenko.
Kehidupan masyarakat di Belarusia juga normal. Pabrik, toko, dan restoran beroperasi seperti biasanya. Aula-aula olahraga juga ramai dipadati penonton. Selain itu, sangat jarang warga Belarusia yang mengenakan masker.
Sukses Tangani Pandemi
Sementara itu, pemimpin yang dinilai sukses mengatasi pandemi corona adalah Taiwan, Jerman dan Selandia Baru. Tiga negara itu juga menjadi representasi penanganan Covid-19 , satu di jantung Eropa, satu di Asia, dan satunya di Pasifik Selatan.
Kesamaannya, ketiga negara itu dipimpin oleh pemimpin perempuan. Kesuksesn perempuan memimpin pemerintahan dalam menghadapi pandemi global itu menjadi catatan penting, pasalnya hanya 7% pemimpin dunia adalah perempuan. (Baca juga: RUU Cipta Kerja Sah Jadi UU, Ini Deretan Dampak Buruknya Bagi Rakyat)
Di Taiwan, kebijakan intervensi dini dikontrol sehingga pandemi korona tidak menyebar luas. Mereka juga mengekspor jutaan masker ke Eropa dan negara lain. Jerman melaksanakan pengujian Covid-19 secara massal sebanyak 350.000 sampel setiap pekan. Itu mampu mendeteksi pasien yang terinfeksi virus dan bisa mengisolasi diri serta memberikan pelayanan bagi pasien. Di Selandia Baru, pemerintahan bergerak cepat dengan menutup pariwisata dan memberlakukan isolasi wilayah di negara selama sebulan.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga mendapatkan pujian karena tingkat kematian akibat Covid-19 di negara itu yang cukup rendah dibandingkan negara Eropa lain. Doktor bidang kimia kuantum itu langsung meningkatkan jumlah tempat tidur di unit intensif di rumah sakit dan melaksanakan pengujian virus corona secara massal.
“Mungkin kekuatan terbesar di Jerman adalah membuat keputusan secara rasional pada tataran tertinggi pemerintahan dan dikombinasikan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi,” kata Hans-Georg Kräusslich, kepala divisi virologi di Universitas Rumah Sakit di Heiderlberg, kepada New York Times.
Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern langsung menutup perbatasan Selandia Baru bagi wisatawan asing sejak 19 Maret dan mengumumkan isolasi wilayah selama empat pekan pada 23 Maret. Dia meminta warga tetap bertahan di rumah kecuali pekerja medis dan keamanan. (Baca juga: Cek Disini! Aturan Jam Kerja Baru dalam Omnibus Law)
Pengujian Covid-19 juga dilaksanakan secara massal. Selandia hanya mencatat 1.300 kasus dan sembilan kematian. “Menghadapi ancaman terbesar bagi kesehatan manusia, kita melihat negara Kiwi benar-benar tenang dan mengimplementasi tembok perbatasan negara,” katanya.
Selain tiga negara tersebut, lima negara Skandinavia lainnya juga dipimpin perempuan. Negara tersebut memiliki tingkat kematian yang rendah karena virus korona. Misalnya, PM Finlandia Sanna Martin, 34, pemimpin termuda di dunia dengan tingkat popularitas hingga 85%, mampu menyiapkan negaranya menghadapi pandemi dengan korban 59 orang meninggal.
PM Islandia Katrín Jakobsdóttir yang mengatur 360.000 juga dipuji karena mampu mengatasi penyebaran virus korona. Dia melakukan pengujian massal dan pelacakan pasien serta karantina.
Di Indonesia, meski pemerintah berjuang keras menangani virus ini, masih banyak masyarakat yang terlalu percaya diri tak akan tertular Covid. Ini dikuatkan dengan survei Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu yang mengungkapkan bahwa sekitar 17 dari 100 orang meyakini bahwa dirinya tidak akan tertular Covid.
Menanggapi hal ini, Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 , Turro Wongkaren mengatakan bahwa masyarakat Indonesia beragam dari Sabang sampai Merauke. Sehingga pemahaman mereka tentang Covid juga berbeda-beda. (Lihat videonya: Menegangkan, Unjuk rasa Mahasiswa Menolak UU Cipta Kerja Berakhir Rusuh di Bandung)
Bahkan, kata Turro ada kemungkinan beberapa masyarakat tersebut mendapatkan informasi yang salah. Oleh karena itu, Turro mengatakan ini yang menjadi tugas Satgas untuk memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat bahwa Covid-19 bisa menyerang siapapun tidak pandang bulu.
Selain soal kesadaran, keteladanan dari para pemimpin atau tokoh menjadi role model juga penting. “Di Indonesia salah satu yang memang penting adalah role model. Itu bisa dari tokoh agama, tokoh masyarakat, bisa bisa selebritas,” ungkap Turro. (Muh Shamil/Binti Mufarida)
(ysw)
tulis komentar anda