Trump Tolak Transisi Kekuasaan Berjalan Mulus
Jum'at, 25 September 2020 - 10:35 WIB
WASHINGTON - Demokrasi Amerika Serikat (AS) semakin remang-remang setelah Presiden Donald Trump menyatakan tidak akan berkomitmen terhadap transisi kekuasaan dengan damai dan mulus, jika dia kalah pada pemilu presiden. Itu memicu kekhawatiran kalau Trump tidak akan mengakui kekalahan jika dia memang terbukti kalah pada November mendatang.
Sebelumnya, Trump pernah mengatakan kalau dia juga tidak akan menerima hasil pemilu. Sentimen itu merupakan gayanya seperti pada pemilu 2016 lalu. Komitmennya tentang penolakan transisi damai memang akarnya karena perhatiannya terhadap faktor kecurangan dan perbedaan pendapat tentang pemungutan suara melalui surat. (Baca: Siapa yang Berhak Memandikan Jenazah Perempuan?)
Memang sangat sulit dipahami oleh rakyat AS dan publik internasional mengenai sikap Trump tersebut. Karena tindakan itu memang masalah. Itu hanya upaya membangun kepercayaan diri pada diri Trump dan pendukungnya kalau mereka bisa menang. Tapi, kekalahan juga bisa saja terjadi. Selain itu, pemungutan suara melalui surat, kecurangan pemilu, kerumunan dalam jumlah besar, dan keuntungan masker, menjadi isu yang selalu dimainkan Trump.
Untuk bisa memahami Trump, maka dia harus ditempatkan pada posisi sebagai pemimpin populis dan bukan pemimpin demokratis. Pemahaman konteks tersebut menjadikan Trump sama seperti pemimpin populis yang cenderung menggunakan kekuasaannya untuk memperpanjang masa jabatannya. Dia juga bisa saja menggunakan kekuasaannya untuk melempar ancaman dan menguatkan dukungan loyalisnya.
Mahkamah Agung memang menjadi jalan terakhir yang bisa saja dipilih Trump ketika menghadapi kekalahan. Seperti pada pemilu 2000, di mana Mahkamah Agung meminta penghentian penghitungan di Florida dan memberikan kemenangan kepada George W Bush.
"Ketika hasil pemilu sangat tipis atau Trump menghadapi kekalahan, Trump bisa saja mudah memainkan narasi 'pemilu telah dicuri'," kata Lincoln Mitchell, pakar politik AS dilansir CNN. Dengan narasi tersebut, dia berusaha memobilisasi massa dan para petinggi Partai Republik di level nasional serta negara bagian. Dia juga membangun dukungan dengan media Republik, seperti Fox News.
"Semuanya juga tidak mudah karena pemilu kali ini terjadi pada masa pandemi corona," kata Mitchell. Dia mengungkapkan, perlunya menemukan cara damai memperkuat demokrasi AS. "Semua pihak dan pemimpin harus menyiapkan diri menghadapi mobilisasi massa setelah pemilu," ujarnya.
Bisa saja penentu masa depan AS berada di tangan militer AS. Namun, selama ini militer AS juga tetap menjaga jarak dan tidak tertarik masuk ke politik domestik. (Baca juga: Zilkifli Hasan Tunjuk Pasha Ungu Jadi Ketua DPP PAN)
Pekan lalu, Washington Post melaporkan, anggota Kongres dari Partai Demokrat dari Michigan dan Mikie Sherrill dari New Jersey menulis surat kepada Jenderal Mark Milley, kepala staf gabungan dan menteri pertahanan Mark Esper. Surat itu berisi penegasan kewajiban militer untuk mengikuti perintah komandan militer tertinggi, yakni presiden terpilih.
Sebelumnya, Trump pernah mengatakan kalau dia juga tidak akan menerima hasil pemilu. Sentimen itu merupakan gayanya seperti pada pemilu 2016 lalu. Komitmennya tentang penolakan transisi damai memang akarnya karena perhatiannya terhadap faktor kecurangan dan perbedaan pendapat tentang pemungutan suara melalui surat. (Baca: Siapa yang Berhak Memandikan Jenazah Perempuan?)
Memang sangat sulit dipahami oleh rakyat AS dan publik internasional mengenai sikap Trump tersebut. Karena tindakan itu memang masalah. Itu hanya upaya membangun kepercayaan diri pada diri Trump dan pendukungnya kalau mereka bisa menang. Tapi, kekalahan juga bisa saja terjadi. Selain itu, pemungutan suara melalui surat, kecurangan pemilu, kerumunan dalam jumlah besar, dan keuntungan masker, menjadi isu yang selalu dimainkan Trump.
Untuk bisa memahami Trump, maka dia harus ditempatkan pada posisi sebagai pemimpin populis dan bukan pemimpin demokratis. Pemahaman konteks tersebut menjadikan Trump sama seperti pemimpin populis yang cenderung menggunakan kekuasaannya untuk memperpanjang masa jabatannya. Dia juga bisa saja menggunakan kekuasaannya untuk melempar ancaman dan menguatkan dukungan loyalisnya.
Mahkamah Agung memang menjadi jalan terakhir yang bisa saja dipilih Trump ketika menghadapi kekalahan. Seperti pada pemilu 2000, di mana Mahkamah Agung meminta penghentian penghitungan di Florida dan memberikan kemenangan kepada George W Bush.
"Ketika hasil pemilu sangat tipis atau Trump menghadapi kekalahan, Trump bisa saja mudah memainkan narasi 'pemilu telah dicuri'," kata Lincoln Mitchell, pakar politik AS dilansir CNN. Dengan narasi tersebut, dia berusaha memobilisasi massa dan para petinggi Partai Republik di level nasional serta negara bagian. Dia juga membangun dukungan dengan media Republik, seperti Fox News.
"Semuanya juga tidak mudah karena pemilu kali ini terjadi pada masa pandemi corona," kata Mitchell. Dia mengungkapkan, perlunya menemukan cara damai memperkuat demokrasi AS. "Semua pihak dan pemimpin harus menyiapkan diri menghadapi mobilisasi massa setelah pemilu," ujarnya.
Bisa saja penentu masa depan AS berada di tangan militer AS. Namun, selama ini militer AS juga tetap menjaga jarak dan tidak tertarik masuk ke politik domestik. (Baca juga: Zilkifli Hasan Tunjuk Pasha Ungu Jadi Ketua DPP PAN)
Pekan lalu, Washington Post melaporkan, anggota Kongres dari Partai Demokrat dari Michigan dan Mikie Sherrill dari New Jersey menulis surat kepada Jenderal Mark Milley, kepala staf gabungan dan menteri pertahanan Mark Esper. Surat itu berisi penegasan kewajiban militer untuk mengikuti perintah komandan militer tertinggi, yakni presiden terpilih.
Lihat Juga :
tulis komentar anda