Perdamaian Israel-Bahrain Tak Bantu Palestina
Senin, 14 September 2020 - 10:15 WIB
JERUSALEM - Langkah pembukaan diplomasi antara Bahrain dan Israel mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA) tidak akan banyak membantu Palestina. Itu hanya akan menguntungkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump saja serta koalisinya, Israel.
Pemerintah Palestina pun marah besar dengan kesepakatan Bahrain dan Israel tersebut. Kementerian Luar Negeri Palestina menarik duta besarnya di Bahrain untuk berkonsultasi. Pernyataan resmi dari kepemimpinan Palestina berbicara tentang “kerugian besar yang ditimbulkan terhadap hak-hak nasional yang asasi dari rakyat Palestina dan tindakan bersama Arab”. (Baca: Wabah Corona, Bolehkah Salat Memakai Masker?)
“Kita sangat kecewa,” kata Sari Nusseibeh, mantan pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). “Saya tidak berpikir mereka lebih kecewa dibandingkan masa lalu dunia Arab secara umum. Palestina selalu mengeluh dunia Arab tidak berdiri di belakang mereka, padahal mereka seharusnya melakukannya,” tuturnya.
Hamas, kelompok pejuang Islam yang menguasai Gaza, mengatakan langkah itu merupakan kerugian besar bagi perjuangan Palestina. Warga Palestina berdemonstrasi di Jalur Gaza. Mereka membakar foto Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, Raja Bahrain Raja Hamad bin Isa Al Khalifa, dan Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nayhan.
“Kita berjuang melawan virus normalisasi dan memblokade segala langkah sebelum upaya (diplomasi Bahrain-Israel) sukses untuk mencegahnya semakin melebar,” kata pejabat Hamas, Maher al-Holy, dilansir Reuters.
Sekjen PLO Saeb Erekat mengungkapkan, tekanan diplomatik itu tidak akan mencapai perdamaian jika konflik Israel-Palestina tidak terselesaikan lebih dahulu. “Kesepakatan Bahrain, Israel, dan AS untuk menormalisasi hubungan bagian dari paket di kawasan, tapi itu bukan tentang perdamaian. Itu hanya hubungan antar negara. Kita menyaksikan aliansi, aliansi militer yang diciptakan di kawasan,” katanya.
Padahal Palestina telah lama mengandalkan tanggapan Arab yang bersatu dalam perkara penarikan Israel dari wilayah pendudukan dan penerimaan negara Palestina. Faktanya, Palestina memang tidak menjadi isu sentral di Timur Tengah saat ini sejak diguncang Arab Spring beberapa waktu lalu dan Perang Suriah. Saat bersamaan, ketegangan Arab Saudi yang didukung AS dan Iran didukung Rusia memicu ketegangan terus menerus.
“Ada banyak permasalahan di dunia Arab mulai dari ketegangan, revolusi, perang sipil, ketegangan di antara negara-negara Arab sendiri,” kata analis Palestina, Ghassan Khatib. “Palestina kini harus membayar mahal atas perpecahan dunia Arab,” ujarnya. (Baca juga: PSBB Jilid II ala Anies Kantongi Dukungan dari Kadin)
Palestina menginginkan dunia Arab satu suara untuk solusi menjadikan Palestina sebagai negara berdaulat dan menemukan solusi bagi jutaan pengungsi Palestina serta keturunannya. “Kita berharap negara Arab tetap pada konsensus tersebut,” kata Jibril Rajoub, pejabat senior Palestina. Ketika dunia Arab melanggar konsensus itu, maka mereka akan diisolasi dalam jangka waktu yang panjang.
Pemerintah Palestina pun marah besar dengan kesepakatan Bahrain dan Israel tersebut. Kementerian Luar Negeri Palestina menarik duta besarnya di Bahrain untuk berkonsultasi. Pernyataan resmi dari kepemimpinan Palestina berbicara tentang “kerugian besar yang ditimbulkan terhadap hak-hak nasional yang asasi dari rakyat Palestina dan tindakan bersama Arab”. (Baca: Wabah Corona, Bolehkah Salat Memakai Masker?)
“Kita sangat kecewa,” kata Sari Nusseibeh, mantan pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). “Saya tidak berpikir mereka lebih kecewa dibandingkan masa lalu dunia Arab secara umum. Palestina selalu mengeluh dunia Arab tidak berdiri di belakang mereka, padahal mereka seharusnya melakukannya,” tuturnya.
Hamas, kelompok pejuang Islam yang menguasai Gaza, mengatakan langkah itu merupakan kerugian besar bagi perjuangan Palestina. Warga Palestina berdemonstrasi di Jalur Gaza. Mereka membakar foto Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, Raja Bahrain Raja Hamad bin Isa Al Khalifa, dan Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nayhan.
“Kita berjuang melawan virus normalisasi dan memblokade segala langkah sebelum upaya (diplomasi Bahrain-Israel) sukses untuk mencegahnya semakin melebar,” kata pejabat Hamas, Maher al-Holy, dilansir Reuters.
Sekjen PLO Saeb Erekat mengungkapkan, tekanan diplomatik itu tidak akan mencapai perdamaian jika konflik Israel-Palestina tidak terselesaikan lebih dahulu. “Kesepakatan Bahrain, Israel, dan AS untuk menormalisasi hubungan bagian dari paket di kawasan, tapi itu bukan tentang perdamaian. Itu hanya hubungan antar negara. Kita menyaksikan aliansi, aliansi militer yang diciptakan di kawasan,” katanya.
Padahal Palestina telah lama mengandalkan tanggapan Arab yang bersatu dalam perkara penarikan Israel dari wilayah pendudukan dan penerimaan negara Palestina. Faktanya, Palestina memang tidak menjadi isu sentral di Timur Tengah saat ini sejak diguncang Arab Spring beberapa waktu lalu dan Perang Suriah. Saat bersamaan, ketegangan Arab Saudi yang didukung AS dan Iran didukung Rusia memicu ketegangan terus menerus.
“Ada banyak permasalahan di dunia Arab mulai dari ketegangan, revolusi, perang sipil, ketegangan di antara negara-negara Arab sendiri,” kata analis Palestina, Ghassan Khatib. “Palestina kini harus membayar mahal atas perpecahan dunia Arab,” ujarnya. (Baca juga: PSBB Jilid II ala Anies Kantongi Dukungan dari Kadin)
Palestina menginginkan dunia Arab satu suara untuk solusi menjadikan Palestina sebagai negara berdaulat dan menemukan solusi bagi jutaan pengungsi Palestina serta keturunannya. “Kita berharap negara Arab tetap pada konsensus tersebut,” kata Jibril Rajoub, pejabat senior Palestina. Ketika dunia Arab melanggar konsensus itu, maka mereka akan diisolasi dalam jangka waktu yang panjang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda