Prabowo Jadi Presiden, Rusia Berharap Dapat Kirim 11 Jet Tempur Su-35 ke Indonesia

Senin, 21 Oktober 2024 - 11:18 WIB
Ketika Prabowo Subianto resmi menjadi presiden baru Indonesia, Rusia masih berharap dapat mengirim 11 jet tempur Su-35 ke Indonesia. Foto/Rosoboronexport
JAKARTA - Ketika Prabowo Subianto resmi menjadi presiden kedelapan Indonesia, Rusia masih berharap dapat memasok 11 jet tempur Su-35 Flanker-E ke Jakarta.

Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergey Tolchenov, mengatakan kontrak penjualan Su-35 ditangguhkan, bukan dibatalkan, dan pada akhirnya dapat dilanjutkan setelah lanskap politik di Indonesia menjadi lebih baik.

Komentar diplomat Rusia itu muncul selama wawancara dengan kantor berita TASS, menunjukkan optimisme Rusia bahwa kesepakatan pembelian jet tempur Su-35 akan terpenuhi, meskipun saat ini sedang ditangguhkan.





Tolchenov menjelaskan bahwa masih ada minat yang signifikan di Indonesia terhadap teknologi penerbangan buatan Rusia, yang mencakup Su-35.

"Itu tidak dibatalkan; itu hanya ditunda. Kami yakin itu akan dilaksanakan pada akhirnya," kata Tolchenov, menggarisbawahi antisipasi Rusia bahwa kesepakatan itu akan membuahkan hasil, mungkin dalam iklim politik di masa mendatang.

Keputusan Indonesia untuk membekukan kesepakatan pembelian jet tempur Su-35 dimulai sejak 2021, tetapi kesepakatan itu telah tergantung pada ketidakpastian sejak awal 2020.

Saat itu, otoritas Indonesia dilaporkan telah memutuskan untuk membatalkan kontrak sama sekali.

Bloomberg melaporkan pada bulan Maret 2020 bahwa Indonesia telah memilih untuk meninggalkan kesepakatan tersebut, tetapi baru pada tahun 2021 perjanjian tersebut resmi dibekukan karena perubahan kondisi politik dan ekonomi, baik di Indonesia maupun secara global.

Berdasarkan perjanjian awal, Indonesia telah berencana untuk membeli 11 jet tempur Su-35, sebuah kesepakatan yang diharapkan akan dilaksanakan selama beberapa tahun.

Namun, dampak politik dari tindakan militer Rusia dan pengenaan sanksi internasional membuat Indonesia semakin sulit untuk bergerak maju.

Akibatnya, Indonesia telah mencari alternatif, menyeimbangkan kebutuhan pertahanannya dengan tekanan politik yang kompleks dan realitas keuangan.

Penangguhan kesepakatan tersebut tidak sepenuhnya mudah.

Beberapa pejabat Indonesia, seperti Duta Besar untuk Rusia Jose Tavares, bersikeras bahwa kontrak tersebut tidak pernah sepenuhnya dibatalkan tetapi hanya ditunda karena faktor eksternal, termasuk tantangan politik dan ekonomi.

Tavares mengisyaratkan bahwa jika iklim geopolitik menjadi lebih akomodatif, mungkin dengan pelonggaran sanksi Barat, Indonesia mungkin akan mempertimbangkan kembali kesepakatan tersebut.

Namun, situasinya masih jauh dari kata jelas. Mantan Kepala Angkatan Udara Indonesia Marsekal Udara Fadjar Prasetyo bahkan telah menyatakan kesepakatan tersebut secara efektif telah gagal, dengan mengutip proses akuisisi yang berlarut-larut dan ancaman sanksi Amerika Serikat yang membayangi sebagai penghalang utama.

Sejak membekukan kesepakatan pembelian Su-35, Indonesia telah menjajaki berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan pertahanan udaranya yang terus meningkat.

Alternatif-alternatif ini telah dipilih tidak hanya karena kemampuan operasionalnya tetapi juga mengingat hubungan diplomatik Indonesia yang tegang dan kendala keuangan untuk mempertahankan program pengadaan pertahanan berskala besar tersebut.

Salah satu pesaing terkuat untuk menggantikan Su-35 adalah F-15EX, versi terbaru dari jet tempur F-15 buatan Amerika.

Jet F-15EX memiliki teknologi canggih dan kemampuan tempur yang tak tertandingi, menjadikannya pilihan utama bagi Angkatan Udara mana pun.

Namun, F-15EX hadir dengan banderol harga yang signifikan—kemungkinan jauh lebih tinggi daripada Su-35—yang berarti Indonesia harus mempertimbangkan dengan cermat manfaat dan biayanya.

Selain itu, untuk mendapatkan kesepakatan untuk pesawat ini, Indonesia harus menavigasi lanskap politik yang kompleks antara kedua negara, mengingat AS secara historis memiliki pembatasan penjualan senjata ke negara-negara tertentu.

Alternatif lain yang layak adalah Saab JAS 39 Gripen, pesawat tempur multiperan Swedia yang terkenal karena efisiensi operasional dan keterjangkauannya.

Gripen merupakan pilihan yang menarik bagi Indonesia karena menawarkan perpaduan yang solid antara kinerja dan efektivitas biaya.

Meskipun mungkin tidak menyamai Su-35 dalam hal kekuatan semata, pesawat ini serbaguna dan menawarkan biaya operasional yang lebih rendah, menjadikannya solusi praktis bagi negara dengan anggaran pertahanan terbatas.

Kemampuan Gripen untuk berintegrasi dengan lancar dengan sistem Angkatan Udara yang ada menjadikannya kandidat yang layak.

Indonesia juga mempertimbangkan F-16 Fighting Falcon, jet tempur yang sudah dioperasikannya sejak lamar.

F-16V Viper—varian F-16 terbaru dan tercanggih—dapat menawarkan peningkatan yang relatif hemat biaya, meningkatkan kemampuan pertahanan udara Indonesia tanpa harus merombak total armada yang ada.

Sementara F-16V akan memberikan peningkatan kinerja secara langsung, ia mungkin tidak menghadirkan teknologi canggih yang diharapkan akan dibawa oleh Su-35.

F-35, jet tempur siluman generasi kelima AS, juga telah dibahas sebagai opsi potensial. Namun, ia tetap menjadi pilihan yang tidak mungkin karena biayanya yang tinggi dan kompleksitas politik seputar penjualan senjata ke negara-negara non-NATO.

Harga F-35 yang mahal dan tantangan logistik yang terkait dengan pemeliharaannya kemungkinan akan membuatnya tidak terjangkau bagi Indonesia, mengingat keterbatasan anggaran pertahanannya.

Sementara Rusia terutama dikaitkan dengan kesepakatan Su-35, telah ada diskusi tentang pesawat Rusia potensial lainnya, seperti menambahkan lebih banyak MiG-29 ke armada Indonesia.

MiG-29 dikenal dengan kinerja yang solid, tetapi tidak memiliki teknologi canggih seperti Su-35, sehingga menjadi pilihan yang kurang menguntungkan untuk memodernisasi pertahanan udara Indonesia dalam jangka panjang.

Saat Indonesia terus mengevaluasi pilihannya, keputusan tentang jet tempur mana yang akan dibeli masih belum pasti.

Negara ini berada di bawah tekanan yang cukup besar untuk memodernisasi Angkatan Udara-nya di tengah meningkatnya ketegangan regional, keterbatasan anggaran, dan kompleksitas diplomasi internasional.

Pilihan Indonesia kemungkinan akan bergantung pada kombinasi biaya, keunggulan teknologi, dan pertimbangan politik.

Faktor geopolitik memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan.

AS, bersama dengan sekutunya, telah menjatuhkan sanksi kepada Rusia setelah konflik yang sedang berlangsung di Ukraina, dan sanksi ini dapat memengaruhi keputusan Indonesia untuk membekukan kesepakatan Su-35.

Jika sanksi ini dicabut atau dilonggarkan, mungkin ada minat baru terhadap pesawat Rusia.

Namun, kenyataannya adalah bahwa Indonesia juga harus menjaga hubungan yang kuat dengan kekuatan global lainnya, khususnya AS, serta dengan negara-negara tetangga, yang semuanya memengaruhi kalkulasi strategis yang lebih luas.

Pada akhirnya, kesepakatan Su-35 tetap beku, dan sementara Rusia tetap berharap kesepakatan itu dapat dihidupkan kembali, Indonesia menghadapi jalan yang menantang ke depannya karena berupaya untuk meningkatkan kemampuan pertahanan udaranya dalam lanskap global yang semakin kompleks.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More