China Berupaya Jadi Pemimpin Global South, Nilai-Nilai Demokrasi Terancam

Kamis, 03 Oktober 2024 - 12:24 WIB
China berupaya menjadi pemimpin Global South, langkah yang dianggap mengancam nilai-nilai demokrasi di negara-negara Global South. Foto/Atlantic Council
NEW DELHI - Upaya China baru-baru ini untuk mengeklaim kepemimpinan di belahan bumi bagian selatan (Global South) dipandang sebagai langkah strategis untuk mempromosikan model pemerintahan autokratis yang disukai Partai Komunis China (CCP) di negara-negara berkembang.

Mengutip editorial Daily Mirror Online, Kamis (3/10/2024), para kritikus berpendapat bahwa China tidak memiliki legitimasi untuk mewakili belahan bumi selatan, yang secara tradisional mencakup negara-negara dunia ketiga yang dicirikan dengan nilai-nilai demokrasi, ekonomi berkembang dan status non-blok.

Meski China membanggakan diri sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, keberpihakannya dengan tatanan sosial komunis, di samping konflik historis dengan Uni Soviet dan Vietnam, menimbulkan pertanyaan tentang perannya dalam koalisi ini.





Para pengamat mencatat bahwa China tidak pernah menjadi anggota gerakan non-blok dan, oleh karena itu tidak dapat secara sah menyatakan dirinya sebagai pemimpin Global South.

Motivasi China tampaknya berpusat pada destabilisasi tatanan dunia saat ini yang didominasi Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat, yang bertujuan membangun kerangka global alternatif di bawah pengaruhnya.

Klaim keanggotaan di Global South ini secara khusus diutarakan Menteri Luar Negeri China Wang Yi selama pertemuan BRICS di Afrika Selatan pada Juli 2023, ketika ia menyatakan: “China adalah anggota alami Global South dan akan selalu menjadi anggota keluarga negara berkembang.”

Surat kabar South China Morning Post (SCMP) menyoroti bahwa pernyataan tersebut merupakan sanggahan terhadap narasi AS yang memposisikan China sebagai negara maju.

Presiden Xi Jinping lebih lanjut menekankan peran kepemimpinan China di Global South pada Juni 2024, mengadvokasi peningkatan partisipasi dari negara-negara ini dalam tata kelola global untuk memastikan arsitektur yang lebih seimbang.

Kepemimpinan India



Sebaliknya, India memposisikan dirinya sebagai pemimpin alami Global South, mengingat pertumbuhan ekonominya yang pesat dan status globalnya. New Delhi telah menyelenggarakan tiga KTT Global South dalam format virtual, yang dihadiri lebih dari 100 negara, dengan yang terakhir terjadi pada Agustus 2024.



Banyak negara Dunia Ketiga dilaporkan merasa lebih nyaman dengan kepemimpinan India dibandingkan dengan China. Misalnya, Perdana Menteri Papua Nugini James Marape meminta Perdana Menteri India Narendra Modi untuk mewakili suara ketiga bagi Global North, dengan menyarankan dukungan dari negara-negara Kepulauan Pasifik di forum internasional.

Pendekatan India bertujuan menyatukan negara-negara berkembang sekaligus mendorong kerja sama yang adil dengan Barat.

Pada KTT G20 di New Delhi di tahun 2023, India menganjurkan peningkatan pinjaman Barat ke negara-negara miskin untuk melawan praktik pinjaman predatoris China di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI)—proposal yang didukung oleh Presiden AS Joe Biden.

Sebaliknya, Beijing tidak berupaya menyatukan negara-negara berkembang dalam kerangka Global South. Alih-alih demikian, tampaknya Beijing sedang mengejar strategi yang mempromosikan model pemerintahan autokratisnya di antara negara-negara ini, menantang tatanan global pimpinan AS, dan berpotensi mendorong perpecahan antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju.

Demokrasi vs Autokrasi



Penelitian dari Atlantic Council berjudul “A Global South with Chinese Characteristics” menunjukkan bahwa sejak akhir dekade terakhir, China telah mempromosikan model pemerintahan alternatif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak individu Barat.

Beijing secara diam-diam telah berupaya menanamkan model autokratisnya di negara-negara miskin melalui berbagai program pelatihan yang ditujukan kepada pejabat asing.

Sejak 1981, China telah menyelenggarakan program pelatihan dengan kedok bantuan asing, awalnya bermitra dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Namun, pada 1998, China beralih menawarkan program yang direncanakan secara terpusat secara langsung kepada pejabat pemerintah di negara-negara berkembang.

Antara tahun 2013 hingga 2018, hampir 200.000 peserta pelatihan berpartisipasi dalam sekitar 7.000 program, yang mencerminkan pergeseran fokus yang signifikan dari tujuan kemanusiaan menjadi mempromosikan model pemerintahan yang autokratis.

Sesi pelatihan ini mencakup topik-topik seperti penegakan hukum, jurnalisme, dan masalah hukum, yang sering kali mengajarkan peserta untuk memprioritaskan kepentingan negara dan partai di atas kepentingan warga negara. Kedutaan besar China dengan hati-hati memilih peserta pelatihan dari berbagai negara, dengan Kementerian Keamanan Publik memainkan peran penting dalam proses seleksi.

Sebuah studi terkini oleh Pusat Studi Strategis Afrika menemukan bahwa anggota partai berkuasa dari beberapa negara Afrika, termasuk Angola dan Afrika Selatan, menerima pelatihan di Sekolah Kepemimpinan Mwalimu Julius Nyerere di Tanzania, sejalan dengan model hubungan antarpartai Xi Jinping.

Selain itu, program yang ditujukan untuk pejabat Arab telah diluncurkan di Universitas Studi Internasional Shanghai, dengan peserta dari 16 negara Arab, termasuk Mesir dan Suriah.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More