Mengerikan, Peran Senjata Nuklir Lebih Menonjol dalam Krisis Geopolitik sejak Perang Dingin

Senin, 17 Juni 2024 - 08:14 WIB
Senjata nuklir telah memainkan peran yang lebih menonjol di tengah memburuknya krisis geopolitik sekarang ini. Foto/REUTERS
STOCKHOLM - Senjata nuklir telah memainkan peran yang lebih menonjol di tengah memburuknya krisis geopolitik sekarang ini. Situasi yang mengerikan tersebut menjadi keprihatinan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) dalam buku tahunannya.

SIPRI mengatakan upaya diplomatik untuk mengendalikan senjata nuklir juga mengalami kemunduran besar di tengah ketegangan hubungan internasional akibat konflik di Ukraina dan Gaza.

“Kami belum pernah melihat senjata nuklir memainkan peran penting dalam hubungan internasional sejak Perang Dingin,” kata Wilfred Wan, direktur Program Senjata Pemusnah Massal SIPRI, dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari France24, Senin (17/6/2024).



Lembaga penelitian tersebut mencatat bahwa pada bulan Februari 2023 Rusia mengumumkan bahwa mereka menangguhkan partisipasi dalam perjanjian New START 2010—perjanjian pengendalian senjata nuklir terakhir yang membatasi kekuatan nuklir strategis Rusia dan Amerika Serikat (AS).



SIPRI juga mencatat bahwa Rusia melakukan latihan senjata nuklir taktis di dekat perbatasan Ukraina pada bulan Mei.

Presiden Rusia Vladimir Putin telah meningkatkan retorika nuklirnya sejak konflik di Ukraina dimulai, dengan memperingatkan dalam pidatonya pada bulan Februari bahwa ada risiko nyata dari perang nuklir.

Selain itu, kata SIPRI, perjanjian informal antara Amerika Serikat dan Iran yang dicapai pada Juni 2023 dibatalkan setelah dimulainya perang Israel-Hamas pada bulan Oktober.

Menurut SIPRI, sembilan negara bersenjata nuklir di dunia juga terus memodernisasi persenjataan nuklir mereka.”Beberapa telah mengerahkan sistem senjata nuklir baru atau berkemampuan nuklir pada tahun 2023,” kata kelompok penelitian tersebut.

Kesembilan negara itu adalah Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, China, India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel.

Menurut SIPRI, pada bulan Januari, dari perkiraan 12.121 hulu ledak nuklir di seluruh dunia, sekitar 9.585 berada dalam timbunan untuk digunakan. Sekitar 2.100 unit ditempatkan dalam keadaan "siaga operasional tinggi" untuk rudal balistik.

Hampir semua hulu ledak ini milik Rusia dan Amerika Serikat—yang bersama-sama memiliki hampir 90 persen senjata nuklir—namun China untuk pertama kalinya diyakini memiliki sejumlah hulu ledak dalam siaga operasional tinggi.

“Sementara jumlah hulu ledak nuklir global terus menurun seiring dengan pembongkaran senjata era Perang Dingin secara bertahap, sayangnya kita terus melihat peningkatan dari tahun ke tahun dalam jumlah hulu ledak nuklir yang beroperasi,” kata direktur SIPRI Dan Smith.

Dia menambahkan bahwa tren ini kemungkinan akan terus berlanjut dan mungkin semakin cepat di tahun-tahun mendatang, dan menggambarkannya sebagai “sangat memprihatinkan.”

Para peneliti juga menekankan terus menerus memburuknya keamanan global selama setahun terakhir, karena dampak perang di Ukraina dan Gaza dapat dilihat pada hampir setiap aspek masalah yang berkaitan dengan persenjataan dan keamanan internasional.

“Kita sekarang berada dalam salah satu periode paling berbahaya dalam sejarah umat manusia,” kata Smith, sambil mendesak negara-negara besar di dunia untuk “melangkah mundur dan melakukan refleksi. Sebaiknya bersama-sama.”
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More