Ashin Wirathu, Biksu Anti-Muslim yang Dibebaskan Junta Militer Myanmar
Selasa, 14 Mei 2024 - 18:01 WIB
NAYPYIDAW - Mendengar nama Ashin Wirathu, sebagian orang mungkin sudah tidak asing lagi. Ia adalah seorang biksu kontroversial asal Myanmar yang dikenal sebagai tokoh anti-Muslim.
Berdasarkan riwayat kontroversinya, Majalah Time bahkan pernah melabelinya sebagai ‘The Face of Buddhist Terror’. Hal ini didasarkan pada peranannya dalam mengobarkan kebencian beragama di Myanmar.
Pada 2020, Ashin Wirathu ditangkap pemerintah Myanmar karena dirasa terlalu radikal. Selain itu, ia juga kerap mengkritik rezim Aung San Suu Kyi.
Namun, keadaan berubah setelah kudeta militer di Myanmar pada 2021. Setelah junta militer berkuasa, Ashin Wirathu dibebaskan dari segala tuduhan dan seluruh dakwaannya pun dicabut.
Ashin Wirathu lahir di Mandalay, Myanmar, 10 Juli 1968. Pada riwayatnya, ia telah dikenal sebagai sosok ekstremis anti-Muslim dan ultranasionalis.
Mengutip ArabNews, Wirathu bahkan punya julukan ‘Buddhist bin Laden’. Julukan tersebut mengacu pada mendiang Pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden.
Pada 2001, Wirathu menjadi pusat perhatian ketika terlibat dengan Gerakan nasionalis 969 yang digambarkan media internasional sebagai Islamofobia. Sejak itu, ia mulai menyebarkan kebencian beragama di Myanmar terhadap minoritas Muslim.
Wirathu sempat mendekam di jeruji besi pada 2003 karena menyebarkan selebaran anti-Muslim dan berkhotbah tentang pengusiran umat Islam dari negara bagian Rakhine di Myanmar. Namun, ia bebas di bawah amnesti.
Menariknya, Wirathu belum kapok. Setelah bebas, ia berkeliling Myanmar dan menyebarkan kebencian terhadap Muslim melalui khotbahnya.
Pada September 2012, Wirathu memimpin unjuk rasa para biksu di Mandalay untuk mempromosikan rencana kontroversial mengirim Muslim Rohingya ke negara lain.
Beberapa waktu berselang, tindak kekerasan meningkat di Rakhine dan menyebabkan ribuan warga Rohingya mengungsi.
Sekitar bulan Juli 2013, Majalah Time menggambarkan Wirathu dalam salah satu sampulnya sebagai “wajah teror Buddhis.”
Pada 2017, tepat sebelum tindakan keras militer terhadap warga Rohingya, badan pemerintahan Buddha di Myanmar melarang Wirathu berkhotbah di depan umum selama setahun.
Namun, Wirathu tidak peduli dan terus melakukan perjalanan keliling negara untuk menyampaikan khotbah anti-Muslim. Hal ini juga dilakukan di Rakhine yang banyak dihuni Muslim minoritas.
Secara gamblang, Wirathu mendukung tindakan kekerasan militer terhadap Rohingya. Meski ekstremisme semacam ini bertentangan dengan ajaran Buddha, ia membenarkannya dengan mengklaim masa-masa ekstrem memerlukan tindakan ekstrem pula.
Pada bulan April 2019, pihak berwenang Thailand melarang Wirathu memasuki negaranya. Beberapa waktu berikutnya, pengadilan Myanmar mengeluarkan surat perintah penangkapannya atas dakwaan penghasutan.
Sempat menyerahkan diri pada 2020, Ashin Wirathu menunggu waktu untuk diadili. Namun, proses hukumannya yang berjalan mendadak hilang setelah dirinya dibebaskan junta militer pascakudeta Myanmar 2021.
Berdasarkan riwayat kontroversinya, Majalah Time bahkan pernah melabelinya sebagai ‘The Face of Buddhist Terror’. Hal ini didasarkan pada peranannya dalam mengobarkan kebencian beragama di Myanmar.
Pada 2020, Ashin Wirathu ditangkap pemerintah Myanmar karena dirasa terlalu radikal. Selain itu, ia juga kerap mengkritik rezim Aung San Suu Kyi.
Namun, keadaan berubah setelah kudeta militer di Myanmar pada 2021. Setelah junta militer berkuasa, Ashin Wirathu dibebaskan dari segala tuduhan dan seluruh dakwaannya pun dicabut.
Siapa Ashin Wirathu?
Ashin Wirathu lahir di Mandalay, Myanmar, 10 Juli 1968. Pada riwayatnya, ia telah dikenal sebagai sosok ekstremis anti-Muslim dan ultranasionalis.
Mengutip ArabNews, Wirathu bahkan punya julukan ‘Buddhist bin Laden’. Julukan tersebut mengacu pada mendiang Pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden.
Pada 2001, Wirathu menjadi pusat perhatian ketika terlibat dengan Gerakan nasionalis 969 yang digambarkan media internasional sebagai Islamofobia. Sejak itu, ia mulai menyebarkan kebencian beragama di Myanmar terhadap minoritas Muslim.
Wirathu sempat mendekam di jeruji besi pada 2003 karena menyebarkan selebaran anti-Muslim dan berkhotbah tentang pengusiran umat Islam dari negara bagian Rakhine di Myanmar. Namun, ia bebas di bawah amnesti.
Menariknya, Wirathu belum kapok. Setelah bebas, ia berkeliling Myanmar dan menyebarkan kebencian terhadap Muslim melalui khotbahnya.
Pada September 2012, Wirathu memimpin unjuk rasa para biksu di Mandalay untuk mempromosikan rencana kontroversial mengirim Muslim Rohingya ke negara lain.
Beberapa waktu berselang, tindak kekerasan meningkat di Rakhine dan menyebabkan ribuan warga Rohingya mengungsi.
Sekitar bulan Juli 2013, Majalah Time menggambarkan Wirathu dalam salah satu sampulnya sebagai “wajah teror Buddhis.”
Pada 2017, tepat sebelum tindakan keras militer terhadap warga Rohingya, badan pemerintahan Buddha di Myanmar melarang Wirathu berkhotbah di depan umum selama setahun.
Namun, Wirathu tidak peduli dan terus melakukan perjalanan keliling negara untuk menyampaikan khotbah anti-Muslim. Hal ini juga dilakukan di Rakhine yang banyak dihuni Muslim minoritas.
Secara gamblang, Wirathu mendukung tindakan kekerasan militer terhadap Rohingya. Meski ekstremisme semacam ini bertentangan dengan ajaran Buddha, ia membenarkannya dengan mengklaim masa-masa ekstrem memerlukan tindakan ekstrem pula.
Pada bulan April 2019, pihak berwenang Thailand melarang Wirathu memasuki negaranya. Beberapa waktu berikutnya, pengadilan Myanmar mengeluarkan surat perintah penangkapannya atas dakwaan penghasutan.
Sempat menyerahkan diri pada 2020, Ashin Wirathu menunggu waktu untuk diadili. Namun, proses hukumannya yang berjalan mendadak hilang setelah dirinya dibebaskan junta militer pascakudeta Myanmar 2021.
(sya)
tulis komentar anda