Geger, India Terapkan UU Kewarganegaraan Anti-Muslim sebelum Pemilu
Selasa, 12 Maret 2024 - 12:07 WIB
NEW DELHI - India pada hari Senin mulai menerapkan undang-undang kewarganegaraan tahun 2019 yang telah dikritik karena mendiskriminasi umat Islam.
Langkah itu dilakukan beberapa minggu sebelum Perdana Menteri Narendra Modi mengupayakan masa jabatan ketiga untuk pemerintahan nasionalis Hindu-nya dalam pemilu.
Citizenship Amendment Act (CAA), yang dikenal dengan istilah "UU Anti-Muslim" memberikan kewarganegaraan India kepada umat Hindu, Parsi, Sikh, Buddha, Jain, dan Kristen yang melarikan diri ke India yang mayoritas penduduknya Hindu karena penganiayaan agama dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang mayoritas penduduknya Muslim sebelum 31 Desember 2014.
Pemerintahan Modi tidak menerapkan undang-undang tersebut setelah disahkan pada bulan Desember 2019 ketika protes dan kekerasan sektarian pecah di New Delhi dan tempat lain. Puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka selama bentrokan berhari-hari.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) dan kelompok Muslim mengatakan undang-undang tersebut, ditambah dengan usulan pendaftaran warga negara secara nasional, dapat mendiskriminasi 200 juta Muslim di India—populasi Muslim terbesar ketiga di dunia.
Beberapa pihak khawatir pemerintah India akan menghapus kewarganegaraan umat Islam tanpa dokumen di beberapa wilayah perbatasan.
“Pemerintahan Modi mengumumkan penerapan Citizenship Amendment Act,” kata juru bicara kantor perdana menteri melalui pesan teks, seperti dikutip Reuters, Selasa (12/3/2024).
“Itu adalah bagian integral dari manifesto BJP tahun 2019. Ini akan membuka jalan bagi mereka yang teraniaya untuk mendapatkan kewarganegaraan di India,” katanya, mengacu pada manifesto pemilu tahun 2019 dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa.
Pernyataan Kementerian Dalam Negeri mengatakan undang-undang tersebut akan menghilangkan hambatan hukum terhadap kewarganegaraan bagi para pengungsi, dan memberikan “kehidupan bermartabat” bagi mereka yang telah menderita selama beberapa dekade.
“Banyak kesalahpahaman telah tersebar mengenai undang-undang tersebut dan penerapannya tertunda karena pandemi Covid-19," bunyi pernyataan kementerian tersebut.
“Tindakan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah menderita penganiayaan selama bertahun-tahun dan tidak memiliki tempat berlindung lain di dunia kecuali India,” lanjut kementerian itu.
Pemerintah menyangkal bahwa undang-undang tersebut anti-Muslim dan mengatakan undang-undang tersebut diperlukan untuk membantu kelompok minoritas yang menghadapi penganiayaan di negara-negara mayoritas Muslim.
Mereka mengatakan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewarganegaraan, bukan merampasnya dari siapa pun, dan menyebut protes sebelumnya bermotif politik.
Modi mulai berkuasa pada tahun 2014 dan telah mengonsolidasikan kekuasaannya dengan fokus pada pertumbuhan, ekonomi kesejahteraan, peningkatan infrastruktur dan nasionalisme Hindu yang agresif.
Jajak pendapat menunjukkan dia akan dengan mudah memenangkan mayoritas dalam pemilu yang harus diadakan pada bulan Mei.
Partai oposisi utama; Partai Kongres (Congress Party), mengatakan pengumuman hari Senin itu dimotivasi oleh pemilu yang semakin dekat.
“Setelah mengupayakan sembilan perpanjangan waktu pemberitahuan peraturan, waktu yang tepat sebelum pemilu jelas dirancang untuk mempolarisasi pemilu, terutama di Benggala Barat dan Assam,” kata juru bicara Partai Kongres Jairam Ramesh di X.
Negara bagian Benggala Barat dan Assam di bagian timur adalah rumah bagi populasi Muslim yang besar dan menjadi saksi protes terhadap CAA karena beberapa Muslim khawatir undang-undang tersebut dapat digunakan untuk menyatakan mereka sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh dan mencabut kewarganegaraan India mereka.
Partai Komunis India yang merupakan oposisi, yang memerintah negara bagian Kerala di India selatan, menyerukan protes di seluruh negara bagian pada hari Selasa.
“Hal ini akan memecah belah masyarakat, menghasut sentimen komunal dan melemahkan prinsip-prinsip dasar Konstitusi,” kata Ketua Menteri Kerala Pinarayi Vijayan dalam sebuah pernyataan.
“Langkah untuk membuat stratifikasi warga negara India yang memiliki persamaan hak, harus ditentang secara bersatu.”
Langkah itu dilakukan beberapa minggu sebelum Perdana Menteri Narendra Modi mengupayakan masa jabatan ketiga untuk pemerintahan nasionalis Hindu-nya dalam pemilu.
Citizenship Amendment Act (CAA), yang dikenal dengan istilah "UU Anti-Muslim" memberikan kewarganegaraan India kepada umat Hindu, Parsi, Sikh, Buddha, Jain, dan Kristen yang melarikan diri ke India yang mayoritas penduduknya Hindu karena penganiayaan agama dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang mayoritas penduduknya Muslim sebelum 31 Desember 2014.
Pemerintahan Modi tidak menerapkan undang-undang tersebut setelah disahkan pada bulan Desember 2019 ketika protes dan kekerasan sektarian pecah di New Delhi dan tempat lain. Puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka selama bentrokan berhari-hari.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) dan kelompok Muslim mengatakan undang-undang tersebut, ditambah dengan usulan pendaftaran warga negara secara nasional, dapat mendiskriminasi 200 juta Muslim di India—populasi Muslim terbesar ketiga di dunia.
Beberapa pihak khawatir pemerintah India akan menghapus kewarganegaraan umat Islam tanpa dokumen di beberapa wilayah perbatasan.
“Pemerintahan Modi mengumumkan penerapan Citizenship Amendment Act,” kata juru bicara kantor perdana menteri melalui pesan teks, seperti dikutip Reuters, Selasa (12/3/2024).
“Itu adalah bagian integral dari manifesto BJP tahun 2019. Ini akan membuka jalan bagi mereka yang teraniaya untuk mendapatkan kewarganegaraan di India,” katanya, mengacu pada manifesto pemilu tahun 2019 dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa.
Pernyataan Kementerian Dalam Negeri mengatakan undang-undang tersebut akan menghilangkan hambatan hukum terhadap kewarganegaraan bagi para pengungsi, dan memberikan “kehidupan bermartabat” bagi mereka yang telah menderita selama beberapa dekade.
“Banyak kesalahpahaman telah tersebar mengenai undang-undang tersebut dan penerapannya tertunda karena pandemi Covid-19," bunyi pernyataan kementerian tersebut.
“Tindakan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah menderita penganiayaan selama bertahun-tahun dan tidak memiliki tempat berlindung lain di dunia kecuali India,” lanjut kementerian itu.
Pemerintah menyangkal bahwa undang-undang tersebut anti-Muslim dan mengatakan undang-undang tersebut diperlukan untuk membantu kelompok minoritas yang menghadapi penganiayaan di negara-negara mayoritas Muslim.
Mereka mengatakan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewarganegaraan, bukan merampasnya dari siapa pun, dan menyebut protes sebelumnya bermotif politik.
Modi mulai berkuasa pada tahun 2014 dan telah mengonsolidasikan kekuasaannya dengan fokus pada pertumbuhan, ekonomi kesejahteraan, peningkatan infrastruktur dan nasionalisme Hindu yang agresif.
Jajak pendapat menunjukkan dia akan dengan mudah memenangkan mayoritas dalam pemilu yang harus diadakan pada bulan Mei.
Partai oposisi utama; Partai Kongres (Congress Party), mengatakan pengumuman hari Senin itu dimotivasi oleh pemilu yang semakin dekat.
“Setelah mengupayakan sembilan perpanjangan waktu pemberitahuan peraturan, waktu yang tepat sebelum pemilu jelas dirancang untuk mempolarisasi pemilu, terutama di Benggala Barat dan Assam,” kata juru bicara Partai Kongres Jairam Ramesh di X.
Negara bagian Benggala Barat dan Assam di bagian timur adalah rumah bagi populasi Muslim yang besar dan menjadi saksi protes terhadap CAA karena beberapa Muslim khawatir undang-undang tersebut dapat digunakan untuk menyatakan mereka sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh dan mencabut kewarganegaraan India mereka.
Partai Komunis India yang merupakan oposisi, yang memerintah negara bagian Kerala di India selatan, menyerukan protes di seluruh negara bagian pada hari Selasa.
“Hal ini akan memecah belah masyarakat, menghasut sentimen komunal dan melemahkan prinsip-prinsip dasar Konstitusi,” kata Ketua Menteri Kerala Pinarayi Vijayan dalam sebuah pernyataan.
“Langkah untuk membuat stratifikasi warga negara India yang memiliki persamaan hak, harus ditentang secara bersatu.”
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda