Sahkan RUU, Ghana Bakal Penjarakan Orang-orang LGBT
Kamis, 29 Februari 2024 - 10:52 WIB
ACCRA - Parlemen Ghana telah meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun bagi siapa pun yang dinyatakan bersalah mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer plus).
RUU tersebut juga menerapkan hukuman penjara maksimal lima tahun bagi mereka yang membentuk atau mendanai kelompok LGBTQ+.
Para anggota Parlemen mengecam upaya untuk mengganti hukuman penjara dengan layanan masyarakat dan konseling.
Ini adalah tanda terbaru meningkatnya penolakan terhadap hak-hak LGBTQ+ di negara konservatif Afrika Barat tersebut.
RUU tersebut, yang mendapat dukungan dari dua partai politik besar di Ghana, akan berlaku hanya jika Presiden Nana Akufo-Addo menandatanganinya menjadi undang-undang (UU).
Dia sebelumnya mengatakan bahwa dia akan melakukan hal tersebut jika mayoritas warga Ghana menginginkannya.
Sekadar diketahui, melakukan hubungan seks sesama jenis sudah melanggar hukum di Ghana dan terancam hukuman tiga tahun penjara.
Bulan lalu, Amnesty International memperingatkan bahwa RUU tersebut menimbulkan ancaman signifikan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan kelompok LGBTQ+.
Para aktivis khawatir akan terjadi perburuan terhadap anggota komunitas LGBTQ+ dan mereka yang berkampanye untuk hak-hak komunitas tersebut, dan mengatakan bahwa beberapa di antara mereka harus bersembunyi.
Hal ini juga disampaikan oleh ketua badan PBB yang menangani AIDS, Winnie Byanyima.
"Jika RUU Hak Asasi Manusia dan Nilai-Nilai Keluarga Ghana menjadi undang-undang, hal ini akan memperburuk ketakutan dan kebencian, dapat memicu kekerasan terhadap sesama warga Ghana, dan akan berdampak negatif pada kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, dan kebebasan berserikat," katanya, seperti dikutip BBC, Kamis (29/2/2024).
"Ini akan menghalangi akses terhadap layanan penyelamatan jiwa dan membahayakan keberhasilan pembangunan Ghana," ujarnya.
RUU tersebut mengusulkan hukuman penjara hingga 10 tahun bagi siapa pun yang terlibat dalam kampanye advokasi LGBTQ+ yang ditujukan untuk anak-anak.
Lebih lanjut, RUU itu juga mendorong masyarakat untuk melaporkan anggota komunitas LGBTQ+ kepada pihak berwenang untuk dilakukan tindakan yang diperlukan.
Para anggota Parlemen mengatakan RUU tersebut dirancang sebagai tanggapan terhadap pembukaan pusat komunitas LGBTQ+ pertama di Ghana di ibu kota, Accra, pada Januari 2021.
Polisi menutup pusat tersebut menyusul protes masyarakat, dan tekanan dari badan-badan keagamaan dan pemimpin tradisional di negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Pada saat itu, Dewan Kristen Ghana dan Dewan Pantekosta dan Karismatik Ghana mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa menjadi LGBTQ+ adalah asing bagi budaya Ghana dan sistem nilai keluarga dan, oleh karena itu, warga negara ini tidak dapat menerimanya.
Lihat Juga: Viral! Pasangan Homoseks Dipukuli Massa hingga Tewas, Bermula dari Adegan Mobil Bergoyang
RUU tersebut juga menerapkan hukuman penjara maksimal lima tahun bagi mereka yang membentuk atau mendanai kelompok LGBTQ+.
Para anggota Parlemen mengecam upaya untuk mengganti hukuman penjara dengan layanan masyarakat dan konseling.
Ini adalah tanda terbaru meningkatnya penolakan terhadap hak-hak LGBTQ+ di negara konservatif Afrika Barat tersebut.
Baca Juga
RUU tersebut, yang mendapat dukungan dari dua partai politik besar di Ghana, akan berlaku hanya jika Presiden Nana Akufo-Addo menandatanganinya menjadi undang-undang (UU).
Dia sebelumnya mengatakan bahwa dia akan melakukan hal tersebut jika mayoritas warga Ghana menginginkannya.
Sekadar diketahui, melakukan hubungan seks sesama jenis sudah melanggar hukum di Ghana dan terancam hukuman tiga tahun penjara.
Bulan lalu, Amnesty International memperingatkan bahwa RUU tersebut menimbulkan ancaman signifikan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan kelompok LGBTQ+.
Para aktivis khawatir akan terjadi perburuan terhadap anggota komunitas LGBTQ+ dan mereka yang berkampanye untuk hak-hak komunitas tersebut, dan mengatakan bahwa beberapa di antara mereka harus bersembunyi.
Hal ini juga disampaikan oleh ketua badan PBB yang menangani AIDS, Winnie Byanyima.
"Jika RUU Hak Asasi Manusia dan Nilai-Nilai Keluarga Ghana menjadi undang-undang, hal ini akan memperburuk ketakutan dan kebencian, dapat memicu kekerasan terhadap sesama warga Ghana, dan akan berdampak negatif pada kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, dan kebebasan berserikat," katanya, seperti dikutip BBC, Kamis (29/2/2024).
"Ini akan menghalangi akses terhadap layanan penyelamatan jiwa dan membahayakan keberhasilan pembangunan Ghana," ujarnya.
RUU tersebut mengusulkan hukuman penjara hingga 10 tahun bagi siapa pun yang terlibat dalam kampanye advokasi LGBTQ+ yang ditujukan untuk anak-anak.
Lebih lanjut, RUU itu juga mendorong masyarakat untuk melaporkan anggota komunitas LGBTQ+ kepada pihak berwenang untuk dilakukan tindakan yang diperlukan.
Para anggota Parlemen mengatakan RUU tersebut dirancang sebagai tanggapan terhadap pembukaan pusat komunitas LGBTQ+ pertama di Ghana di ibu kota, Accra, pada Januari 2021.
Polisi menutup pusat tersebut menyusul protes masyarakat, dan tekanan dari badan-badan keagamaan dan pemimpin tradisional di negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Pada saat itu, Dewan Kristen Ghana dan Dewan Pantekosta dan Karismatik Ghana mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa menjadi LGBTQ+ adalah asing bagi budaya Ghana dan sistem nilai keluarga dan, oleh karena itu, warga negara ini tidak dapat menerimanya.
Lihat Juga: Viral! Pasangan Homoseks Dipukuli Massa hingga Tewas, Bermula dari Adegan Mobil Bergoyang
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(mas)
tulis komentar anda