Israel Larang Masuk Pelapor Khusus PBB untuk Palestina Sejak 2008
Selasa, 13 Februari 2024 - 22:01 WIB
JALUR GAZA - Israel pada Senin (12/2/2024) melarang masuk Pelapor Khusus PBB untuk Palestina Francesca Albanese.
“Era diamnya orang-orang Yahudi sudah berakhir,” ujar Menteri Luar Negeri Israel Katz dan Menteri Dalam Negeri Moshe Arbel dalam pernyataan bersama.
“Jika PBB ingin kembali menjadi badan yang relevan, para pemimpinnya harus secara terbuka menyangkal kata-kata anti-Semit dari ‘Utusan Khusus’ tersebut, dan memecatnya secara permanen,” ungkap pernyataan mereka.
Para pejabat Israel menuduh pelapor PBB itu membenarkan serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober di kota-kota dan desa-desa Israel di sekitar wilayah Gaza.
“Korban 7/10 dibunuh bukan karena Yudaisme yang mereka anut, tapi karena penindasan Israel,” tulis Albanese dalam menanggapi postingan Le Monde yang melaporkan Presiden Prancis Emmanuel Macron menghormati warga Israel yang terbunuh pada 7 Oktober.
“’Pembantaian anti-Semit terbesar di abad kita’? Tidak, Tuan Emmanuel Macron. Korban 7/10 dibunuh bukan karena Yudaisme yang mereka anut, namun karena penindasan Israel. Prancis dan komunitas internasional tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya. Hormat saya kepada para korban,” ujar Albanese, dilansir Anadolu.
Menanggapi keputusan Israel, Albanese mengatakan, “Penolakan terhadap saya untuk masuk oleh Israel bukanlah berita baru: Israel telah menolak masuknya SEMUA Pelapor Khusus/oPt sejak tahun 2008! Hal ini tidak boleh menjadi gangguan terhadap kekejaman Israel di Gaza, yang mencapai level baru horor dengan pemboman terhadap orang-orang di ‘daerah aman’ di #Rafah.”
Larangan Israel terhadap Albanese mengikuti keputusan sebelumnya pada Desember 2023 yang mencabut visa tinggal Koordinator Kemanusiaan PBB Lynn Hastings.
Hal ini terjadi ketika Israel telah membunuh lebih dari 28.340 warga Palestina dan melukai 67.984 orang lainnya di Jalur Gaza sejak 7 Oktober.
Serangan gencar rezim kolonial apartheid Israel telah menyebabkan 85% penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan.
60% infrastruktur di wilayah kantong tersebut telah rusak atau hancur, menurut PBB.
“Era diamnya orang-orang Yahudi sudah berakhir,” ujar Menteri Luar Negeri Israel Katz dan Menteri Dalam Negeri Moshe Arbel dalam pernyataan bersama.
“Jika PBB ingin kembali menjadi badan yang relevan, para pemimpinnya harus secara terbuka menyangkal kata-kata anti-Semit dari ‘Utusan Khusus’ tersebut, dan memecatnya secara permanen,” ungkap pernyataan mereka.
Para pejabat Israel menuduh pelapor PBB itu membenarkan serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober di kota-kota dan desa-desa Israel di sekitar wilayah Gaza.
“Korban 7/10 dibunuh bukan karena Yudaisme yang mereka anut, tapi karena penindasan Israel,” tulis Albanese dalam menanggapi postingan Le Monde yang melaporkan Presiden Prancis Emmanuel Macron menghormati warga Israel yang terbunuh pada 7 Oktober.
“’Pembantaian anti-Semit terbesar di abad kita’? Tidak, Tuan Emmanuel Macron. Korban 7/10 dibunuh bukan karena Yudaisme yang mereka anut, namun karena penindasan Israel. Prancis dan komunitas internasional tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya. Hormat saya kepada para korban,” ujar Albanese, dilansir Anadolu.
Menanggapi keputusan Israel, Albanese mengatakan, “Penolakan terhadap saya untuk masuk oleh Israel bukanlah berita baru: Israel telah menolak masuknya SEMUA Pelapor Khusus/oPt sejak tahun 2008! Hal ini tidak boleh menjadi gangguan terhadap kekejaman Israel di Gaza, yang mencapai level baru horor dengan pemboman terhadap orang-orang di ‘daerah aman’ di #Rafah.”
Larangan Israel terhadap Albanese mengikuti keputusan sebelumnya pada Desember 2023 yang mencabut visa tinggal Koordinator Kemanusiaan PBB Lynn Hastings.
Hal ini terjadi ketika Israel telah membunuh lebih dari 28.340 warga Palestina dan melukai 67.984 orang lainnya di Jalur Gaza sejak 7 Oktober.
Serangan gencar rezim kolonial apartheid Israel telah menyebabkan 85% penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan.
60% infrastruktur di wilayah kantong tersebut telah rusak atau hancur, menurut PBB.
(sya)
tulis komentar anda