Perang 100 Hari Israel-Hamas: Lebih dari 23.000 Orang Tewas, Azan Tak Terdengar Lagi di Gaza
Minggu, 14 Januari 2024 - 08:33 WIB
GAZA - Perang di Gaza antara Israel dan Hamas telah memasuki hari ke-100 pada Minggu (14/1/2024). Di wilayah kantong Palestina itu, lebih dari 23.000 orang telah tewas dan azan tak terdengar lagi karena masjid-masjid hancur dibom pasukan Zionis.
Seratus hari setelah Zionis Israel melancarkan serangan tanpa pandang bulu ke Gaza, bom masih berjatuhan di wilayah tersebut, yang telah mengakibatkan 4 persen penduduknya terbunuh, terluka atau pun hilang.
Dalam kondisi seperti ini, mustahil untuk mengkatalogkan segala sesuatu yang telah hancur dan rusak selama ini dan masih terus bertambah.
Perang besar ini terjadi sejak 7 Oktober atau setelah serangan Hamas ke Israel selatan—dikenal sebagai Operasi Badai al-Aqsa—, menewaskan 1.139, menurut pihak Zionis.
“Saya rasa tidak ada orang di Gaza yang bisa membayangkan besarnya kehancuran yang ditimbulkan Israel terhadap warga Palestina,” kata Yousef al-Jamal, seorang jurnalis dan penulis Palestina dari Gaza, kepada Middle East Eye (MEE).
"Tidak dalam mimpi terliar mereka," katanya lagi.
“Kami belum pernah melihat kehancuran seperti ini, bahkan selama Nakba,” katanya, mengacu pada pengusiran warga Palestina di tengah berdirinya negara Israel pada tahun 1948.
“Ini adalah sesuatu yang belum pernah kami lihat sebelumnya.”
Mulai dari sekolah hingga rumah sakit, universitas hingga pusat perbelanjaan, perpustakaan hingga teater, dalam 100 hari bangunan-bangunan masyarakat yang masih berfungsi di bawah pengepungan selama 16 tahun telah musnah.
Sebuah lembaga pemantau mengatakan 70 persen infrastruktur sipil di Gaza telah lenyap.
Seorang pakar PBB menggambarkan serangan yang dilancarkan Israel sebagai “perang yang tiada henti” terhadap sistem kesehatan di Gaza.
“Infrastruktur layanan kesehatan di Jalur Gaza telah sepenuhnya dilenyapkan,” kata Tlaleng Mofokeng, pelapor khusus PBB tentang hak atas kesehatan dan seorang dokter praktik.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, militer Israel telah menyerang 94 fasilitas kesehatan dan 79 ambulans sejak 7 Oktober.
Lebih dari separuh rumah sakit di Gaza tidak lagi berfungsi pada 5 Januari. Tiga belas rumah sakit yang tersisa—sembilan di wilayah selatan dan empat di wilayah utara—masih beroperasi sebagian, namun menghadapi kekurangan pasokan dasar dan bahan bakar serta berusaha untuk beroperasi jauh melebihi kapasitas biasanya.
Karena persediaan medis, air dan listrik telah habis, para dokter mengatakan mereka terpaksa bekerja dalam kondisi yang tidak higienis dan menggunakan barang-barang sehari-hari sebagai pengganti bahan-bahan medis dasar. Alih-alih larutan antiseptik, yang ada adalah cairan pembersih dan cuka.
Prosedur dilakukan tanpa anestesi, termasuk beberapa operasi yang melibatkan 1.000 anak yang salah satu atau kedua anggota tubuhnya diamputasi, menurut laporan Unicef.
“Situasinya seperti abad pertengahan,” kata Ghassan Abu Sittah, seorang ahli bedah Palestina-Inggris yang menjadi sukarelawan di Gaza, kepada MEE.
PBB melaporkan bahwa setidaknya 326 profesional medis telah terbunuh, dan lainnya ditangkap dan ditahan, termasuk Dr Muhammad Abu Salmiya, Dr Ahmed Kahlot dan Dr Ahmed Muhanna, direktur Rumah Sakit al-Shifa, Kamal Adwan dan al-Awda.
Sementara itu, puluhan masjid dan gereja, termasuk beberapa tempat ibadah tertua di Gaza, telah hancur seluruhnya atau sebagian sejak 7 Oktober.
Masjid Agung Omari, masjid terbesar dan tertua di Kota Gaza, hancur menjadi puing-puing. Bangunan ini hanya tersisa menara berusia 1.400 tahun.
Masjid ini pertama kali didirikan pada abad ketujuh di atas reruntuhan gereja era Bizantium, yang dibangun di atas kuil Romawi kuno.
Namanya diambil dari nama Khalifah Umar bin Khattab, yang saat itu berkuasa. Masjid memiliki sejarah kehancuran dan kelahiran kembali, termasuk digantikan oleh katedral Tentara Salib, dihancurkan oleh bangsa Mongol dan hancur akibat gempa bumi pada abad ke-13.
Warga setempat mengatakan penghancuran bangunan ikonik tersebut, yang dilaporkan bersamaan dengan kerusakan atau kehancuran lebih dari 200 masjid—20 persen dari seluruh masjid di Gaza—telah meninggalkan keheningan yang mencekam di banyak wilayah Gaza.
Itu termasuk Masjid Ahmed Yasin dan Masjid Al-Hasayna di Kota Gaza, Masjid Muslim Salim Abu di Beit Lahia dan Masjid Khalid bin Al-Walid di Khan Younis.
“Kami tidak lagi mendengar azan di lingkungan kami karena kehancuran total di wilayah timur kota, termasuk masjid,” kata Khaled Abu Jame (25), warga Khan Younis, kepada MEE.
Tiga gereja bersejarah juga mengalami kerusakan, di antaranya Gereja Saint Porphyrius di Kota Gaza, gereja tertua yang masih digunakan di Gaza, melayani sekitar 1.000 umat Kristen di wilayah tersebut.
Pertama kali didirikan pada tahun 425 M, gereja Ortodoks Yunani dinamai Santo Porphyrius, yang berjasa membawa agama Kristen ke kota dan dimakamkan di sudut timur laut.
Bangunan ini telah diubah menjadi masjid pada abad ketujuh sebelum Tentara Salib mengembalikannya sebagai gereja pada abad ke-12.
Gereja tersebut dirusak pada 19 Oktober ketika pasukan Israel mengebom kompleks gereja, tempat 400 warga Palestina dari semua agama berlindung, menewaskan sedikitnya 18 orang.
Biara Saint Hilarion di situs arkeologi Tell Umm Amer di kota pesisir al-Nuseirat juga mengalami kerusakan akibat serangan Israel, menurut laporan Euro-Med Monitor.
Biara ini dibangun lebih dari 1.600 tahun yang lalu oleh Santo Hilarion, yang dianggap sebagai pendiri kehidupan biara di Palestina, menurut delegasi Palestina untuk Unesco.
Seratus hari setelah Zionis Israel melancarkan serangan tanpa pandang bulu ke Gaza, bom masih berjatuhan di wilayah tersebut, yang telah mengakibatkan 4 persen penduduknya terbunuh, terluka atau pun hilang.
Dalam kondisi seperti ini, mustahil untuk mengkatalogkan segala sesuatu yang telah hancur dan rusak selama ini dan masih terus bertambah.
Perang besar ini terjadi sejak 7 Oktober atau setelah serangan Hamas ke Israel selatan—dikenal sebagai Operasi Badai al-Aqsa—, menewaskan 1.139, menurut pihak Zionis.
Baca Juga
“Saya rasa tidak ada orang di Gaza yang bisa membayangkan besarnya kehancuran yang ditimbulkan Israel terhadap warga Palestina,” kata Yousef al-Jamal, seorang jurnalis dan penulis Palestina dari Gaza, kepada Middle East Eye (MEE).
"Tidak dalam mimpi terliar mereka," katanya lagi.
“Kami belum pernah melihat kehancuran seperti ini, bahkan selama Nakba,” katanya, mengacu pada pengusiran warga Palestina di tengah berdirinya negara Israel pada tahun 1948.
“Ini adalah sesuatu yang belum pernah kami lihat sebelumnya.”
Mulai dari sekolah hingga rumah sakit, universitas hingga pusat perbelanjaan, perpustakaan hingga teater, dalam 100 hari bangunan-bangunan masyarakat yang masih berfungsi di bawah pengepungan selama 16 tahun telah musnah.
Sebuah lembaga pemantau mengatakan 70 persen infrastruktur sipil di Gaza telah lenyap.
Seorang pakar PBB menggambarkan serangan yang dilancarkan Israel sebagai “perang yang tiada henti” terhadap sistem kesehatan di Gaza.
“Infrastruktur layanan kesehatan di Jalur Gaza telah sepenuhnya dilenyapkan,” kata Tlaleng Mofokeng, pelapor khusus PBB tentang hak atas kesehatan dan seorang dokter praktik.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, militer Israel telah menyerang 94 fasilitas kesehatan dan 79 ambulans sejak 7 Oktober.
Lebih dari separuh rumah sakit di Gaza tidak lagi berfungsi pada 5 Januari. Tiga belas rumah sakit yang tersisa—sembilan di wilayah selatan dan empat di wilayah utara—masih beroperasi sebagian, namun menghadapi kekurangan pasokan dasar dan bahan bakar serta berusaha untuk beroperasi jauh melebihi kapasitas biasanya.
Karena persediaan medis, air dan listrik telah habis, para dokter mengatakan mereka terpaksa bekerja dalam kondisi yang tidak higienis dan menggunakan barang-barang sehari-hari sebagai pengganti bahan-bahan medis dasar. Alih-alih larutan antiseptik, yang ada adalah cairan pembersih dan cuka.
Prosedur dilakukan tanpa anestesi, termasuk beberapa operasi yang melibatkan 1.000 anak yang salah satu atau kedua anggota tubuhnya diamputasi, menurut laporan Unicef.
“Situasinya seperti abad pertengahan,” kata Ghassan Abu Sittah, seorang ahli bedah Palestina-Inggris yang menjadi sukarelawan di Gaza, kepada MEE.
PBB melaporkan bahwa setidaknya 326 profesional medis telah terbunuh, dan lainnya ditangkap dan ditahan, termasuk Dr Muhammad Abu Salmiya, Dr Ahmed Kahlot dan Dr Ahmed Muhanna, direktur Rumah Sakit al-Shifa, Kamal Adwan dan al-Awda.
Azan Tak Terdengar Lagi
Sementara itu, puluhan masjid dan gereja, termasuk beberapa tempat ibadah tertua di Gaza, telah hancur seluruhnya atau sebagian sejak 7 Oktober.
Masjid Agung Omari, masjid terbesar dan tertua di Kota Gaza, hancur menjadi puing-puing. Bangunan ini hanya tersisa menara berusia 1.400 tahun.
Masjid ini pertama kali didirikan pada abad ketujuh di atas reruntuhan gereja era Bizantium, yang dibangun di atas kuil Romawi kuno.
Namanya diambil dari nama Khalifah Umar bin Khattab, yang saat itu berkuasa. Masjid memiliki sejarah kehancuran dan kelahiran kembali, termasuk digantikan oleh katedral Tentara Salib, dihancurkan oleh bangsa Mongol dan hancur akibat gempa bumi pada abad ke-13.
Warga setempat mengatakan penghancuran bangunan ikonik tersebut, yang dilaporkan bersamaan dengan kerusakan atau kehancuran lebih dari 200 masjid—20 persen dari seluruh masjid di Gaza—telah meninggalkan keheningan yang mencekam di banyak wilayah Gaza.
Itu termasuk Masjid Ahmed Yasin dan Masjid Al-Hasayna di Kota Gaza, Masjid Muslim Salim Abu di Beit Lahia dan Masjid Khalid bin Al-Walid di Khan Younis.
“Kami tidak lagi mendengar azan di lingkungan kami karena kehancuran total di wilayah timur kota, termasuk masjid,” kata Khaled Abu Jame (25), warga Khan Younis, kepada MEE.
Tiga gereja bersejarah juga mengalami kerusakan, di antaranya Gereja Saint Porphyrius di Kota Gaza, gereja tertua yang masih digunakan di Gaza, melayani sekitar 1.000 umat Kristen di wilayah tersebut.
Pertama kali didirikan pada tahun 425 M, gereja Ortodoks Yunani dinamai Santo Porphyrius, yang berjasa membawa agama Kristen ke kota dan dimakamkan di sudut timur laut.
Bangunan ini telah diubah menjadi masjid pada abad ketujuh sebelum Tentara Salib mengembalikannya sebagai gereja pada abad ke-12.
Gereja tersebut dirusak pada 19 Oktober ketika pasukan Israel mengebom kompleks gereja, tempat 400 warga Palestina dari semua agama berlindung, menewaskan sedikitnya 18 orang.
Biara Saint Hilarion di situs arkeologi Tell Umm Amer di kota pesisir al-Nuseirat juga mengalami kerusakan akibat serangan Israel, menurut laporan Euro-Med Monitor.
Biara ini dibangun lebih dari 1.600 tahun yang lalu oleh Santo Hilarion, yang dianggap sebagai pendiri kehidupan biara di Palestina, menurut delegasi Palestina untuk Unesco.
(mas)
tulis komentar anda