Pemimpin Hamas Ungkap Syarat-syarat Perundingan Damai
Kamis, 14 Desember 2023 - 16:36 WIB
JALUR GAZA - Kepala biro politik Hamas Ismail Haniyeh mengatakan kelompok pejuang terbuka terhadap perundingan untuk mengakhiri perang dengan Israel.
Namun dia menekankan kesepakatan akhir apa pun harus mengarah pada negara Palestina yang merdeka.
Dalam pidatonya yang disiarkan televisi pada Rabu (13/12/2023), Haniyeh mengatakan Hamas siap untuk berdialog dengan Israel, berharap pembicaraan di masa depan dapat memulihkan “rumah warga Palestina baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza.”
“Kami terbuka untuk mendiskusikan pengaturan atau inisiatif apa pun yang dapat mengakhiri agresi dan mengarah pada jalur politik yang menjamin hak rakyat Palestina atas negara merdeka mereka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya,” tegas dia.
Namun, pejabat Hamas tersebut kemudian memperingatkan bahwa segala upaya untuk mengecualikan Hamas dan kelompok bersenjata lainnya dari penyelesaian pascaperang akan menjadi “khayalan,” dan mengatakan “faksi perlawanan” harus dilibatkan dalam proses tersebut.
Komentar Haniyeh muncul hanya satu hari setelah Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan negara Palestina tidak mungkin terwujud.
Netanyahu bersumpah tidak pernah “mengulangi kesalahan Oslo,” perjanjian perdamaian tahun 1993 yang menciptakan peta jalan bagi negara Palestina yang berdaulat.
Meskipun Israel sebelumnya menerima gagasan tersebut secara prinsip, proses yang ditetapkan oleh Perjanjian Oslo telah lama gagal, sehingga hanya membekukan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Lebih dari 30 tahun kemudian, pasukan Israel terus menduduki Tepi Barat, tempat pos-pos permukiman Yahudi berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, sementara pemerintah mempertahankan blokade ketat di Jalur Gaza.
Pada Rabu, Netanyahu menyatakan Israel akan melanjutkan operasi militernya di Gaza “sampai Hamas dimusnahkan.”
Dia menambahkan, bahkan dalam menghadapi tekanan internasional, “tidak ada yang dapat menghentikan kami.”
Pemungutan suara sebelumnya yang menyerukan gencatan senjata gagal di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena veto Amerika Serikat (AS).
Meskipun demikian, ada dukungan kuat dari anggota lainnya sehingga Majelis Umum PBB kemudian mengeluarkan langkah serupa dan mayoritas mendukung.
Resolusi tidak mengikat tersebut menuntut diakhirinya pertempuran segera, pembebasan semua sandera tanpa syarat dan penyediaan bantuan kemanusiaan untuk Gaza.
Amerika Serikat, yang masih menjadi donor militer utama Israel, telah menyuarakan dukungannya untuk “jeda” singkat dalam pertempuran tersebut, namun terus menentang gencatan senjata yang lebih panjang, dengan alasan bahwa hal itu hanya akan membantu Hamas.
Namun, Presiden AS Joe Biden semakin kritis terhadap pendekatan Israel dalam perang tersebut.
Biden baru-baru ini memperingatkan Israel dapat kehilangan dukungan internasional jika terus melakukan kampanye pengeboman “tanpa pandang bulu”.
Israel memulai serangan brutalnya di Gaza setelah serangan mendadak oleh Hamas pada 7 Oktober, yang merenggut nyawa sekitar 1.200 warga Israel dan menyebabkan lebih dari 240 orang disandera.
Israel telah membunuh lebih dari 18.600 warga Palestina, menurut pejabat setempat. Hingga saat ini rezim kolonial Israel masih mendapat kekebalan dari hukum internasional karena selalu dilindungi AS.
Namun dia menekankan kesepakatan akhir apa pun harus mengarah pada negara Palestina yang merdeka.
Dalam pidatonya yang disiarkan televisi pada Rabu (13/12/2023), Haniyeh mengatakan Hamas siap untuk berdialog dengan Israel, berharap pembicaraan di masa depan dapat memulihkan “rumah warga Palestina baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza.”
“Kami terbuka untuk mendiskusikan pengaturan atau inisiatif apa pun yang dapat mengakhiri agresi dan mengarah pada jalur politik yang menjamin hak rakyat Palestina atas negara merdeka mereka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya,” tegas dia.
Namun, pejabat Hamas tersebut kemudian memperingatkan bahwa segala upaya untuk mengecualikan Hamas dan kelompok bersenjata lainnya dari penyelesaian pascaperang akan menjadi “khayalan,” dan mengatakan “faksi perlawanan” harus dilibatkan dalam proses tersebut.
Komentar Haniyeh muncul hanya satu hari setelah Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan negara Palestina tidak mungkin terwujud.
Netanyahu bersumpah tidak pernah “mengulangi kesalahan Oslo,” perjanjian perdamaian tahun 1993 yang menciptakan peta jalan bagi negara Palestina yang berdaulat.
Meskipun Israel sebelumnya menerima gagasan tersebut secara prinsip, proses yang ditetapkan oleh Perjanjian Oslo telah lama gagal, sehingga hanya membekukan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Lebih dari 30 tahun kemudian, pasukan Israel terus menduduki Tepi Barat, tempat pos-pos permukiman Yahudi berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, sementara pemerintah mempertahankan blokade ketat di Jalur Gaza.
Pada Rabu, Netanyahu menyatakan Israel akan melanjutkan operasi militernya di Gaza “sampai Hamas dimusnahkan.”
Dia menambahkan, bahkan dalam menghadapi tekanan internasional, “tidak ada yang dapat menghentikan kami.”
Pemungutan suara sebelumnya yang menyerukan gencatan senjata gagal di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena veto Amerika Serikat (AS).
Meskipun demikian, ada dukungan kuat dari anggota lainnya sehingga Majelis Umum PBB kemudian mengeluarkan langkah serupa dan mayoritas mendukung.
Resolusi tidak mengikat tersebut menuntut diakhirinya pertempuran segera, pembebasan semua sandera tanpa syarat dan penyediaan bantuan kemanusiaan untuk Gaza.
Amerika Serikat, yang masih menjadi donor militer utama Israel, telah menyuarakan dukungannya untuk “jeda” singkat dalam pertempuran tersebut, namun terus menentang gencatan senjata yang lebih panjang, dengan alasan bahwa hal itu hanya akan membantu Hamas.
Namun, Presiden AS Joe Biden semakin kritis terhadap pendekatan Israel dalam perang tersebut.
Biden baru-baru ini memperingatkan Israel dapat kehilangan dukungan internasional jika terus melakukan kampanye pengeboman “tanpa pandang bulu”.
Israel memulai serangan brutalnya di Gaza setelah serangan mendadak oleh Hamas pada 7 Oktober, yang merenggut nyawa sekitar 1.200 warga Israel dan menyebabkan lebih dari 240 orang disandera.
Israel telah membunuh lebih dari 18.600 warga Palestina, menurut pejabat setempat. Hingga saat ini rezim kolonial Israel masih mendapat kekebalan dari hukum internasional karena selalu dilindungi AS.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda