Ekonomi Melambat, Para Miliarder China Ingin Pindahkan Uang Mereka ke Luar Negeri
Kamis, 02 November 2023 - 14:33 WIB
BEIJING - Para miliarder terkenal sulit dilacak. Hal ini tidak mengherankan, karena semakin mudah bagi mereka dan aset mereka untuk ditemukan, maka semakin mudah pula mereka bisa dikenai pajak.
Namun secara keseluruhan, jumlah orang superkaya di China mengalami penurunan. Menurut data Forbes, dari perkiraan 2.640 miliarder dunia, setidaknya 562 orang diperkirakan berada di China. Angka ini turun dari 607 orang dibandingkan tahun lalu.
Dengan tindakan keras terhadap pemodal dan iklim politik yang bergejolak, banyak orang kaya di China ingin memindahkan uang mereka dan juga diri mereka sendiri ke luar negeri.
Mengutip dari The Guardian, Kamis (2/11/2023), elite China telah lama mencari cara untuk membawa uang mereka ke luar negeri. Secara resmi, individu di negara tersebut hanya diperbolehkan mentransfer USD50.000 ke luar negeri setiap tahun.
Namun dalam praktiknya, orang-orang kaya di China mempunyai berbagai cara resmi dan tidak resmi untuk mengalihkan dana mereka, baik melalui pertukaran uang di Hong Kong—di mana kontrol modal tidak berlaku—atau menyalurkan uang tunai ke bisnis di luar negeri.
Agustus lalu, polisi di Shanghai menangkap lima orang yang bekerja di sebuah konsultan imigrasi, termasuk bos perusahaan tersebut, karena dicurigai memfasilitasi transaksi valuta asing ilegal senilai lebih dari 100 juta yuan (GBP11 juta).
Dalam laporan media pemerintah, polisi mengatakan, "Perdagangan valuta asing ilegal sangat mengganggu tatanan pasar keuangan negara."
Menurut perkiraan dari bank Natixis, sebelum pandemi Covid-19, sekitar USD150 miliar mengalir ke luar China setiap tahun melalui wisatawan yang membawa dana mereka ke luar negeri.
Para ekonom mengatakan meski perjalanan internasional belum kembali ke tingkat sebelum pandemi, suku bunga Amerika Serikat (AS) yang tinggi dan lemahnya yuan merupakan insentif kuat bagi orang kaya di China untuk memindahkan uang mereka ke luar negeri.
Pada paruh pertama tahun 2023, terdapat kekurangan sebesar USD19,5 miliar dalam data neraca pembayaran China, yang digunakan para ekonom sebagai indikator pelarian modal, meski nilai sebenarnya dari uang yang keluar mungkin lebih tinggi.
Alicia Garcia Herrero, kepala ekonom Natixis untuk Asia Pasifik, mengatakan bahwa tingkat ketidakpastian yang tinggi mengenai kebijakan ekonomi masa depan dan peluang bisnis di China juga mendorong masyarakat untuk membawa tabungan mereka ke luar negeri.
Pada 2021, Presiden China Xi Jinping menghidupkan kembali seruan untuk "kemakmuran bersama”, yang secara luas ditafsirkan sebagai seruan bagi para taipan untuk membagikan kekayaan mereka secara lebih luas.
Pada tahun itu, Alibaba—perusahaan teknologi yang didirikan Jack Ma—yang pernah menjadi salah satu pengusaha terkemuka di China, menyumbangkan 100 miliar yuan untuk tujuan tersebut.
Xi Jinping dianggap sangat tidak percaya terhadap jajaran elite China sejak uang senilai lebih dari USD600 miliar keluar dari perekonomian negara pada 2015, setelah devaluasi yuan yang mengejutkan.
Sejak saat itu, Beijing berupaya memperketat cengkeramannya atas kekayaan China—dan orang-orang yang memiliki sebagian besar kekayaan tersebut.
Partai Komunis China (PKC) sangat ketakutan ketika miliarder seperti Ma mulai mempertanyakan regulator China secara terbuka (setelah Ma menyampaikan komentarnya pada 2020, dia menghilang dari pandangan publik selama beberapa tahun).
Slogan "kemakmuran bersama" telah memudar dari pandangan ketika Beijing berupaya mempromosikan China sebagai negara terbuka untuk bisnis setelah tiga tahun tidak ada kasus Covid-19. Namun tekanan terhadap elite bisnis masih terus berlanjut, dan kini setelah perbatasan dibuka, banyak orang yang mempertimbangkan rencana untuk keluar dari negara tersebut.
Bulan lalu, Hui Ka Yan, pendiri pengembang properti Evergrande dan pernah menjadi orang terkaya di Asia, ditangkap karena kejahatan yang tidak dijelaskan secara spesifik. Bao Fan, seorang bankir investasi terkenal yang pernah dianggap sebagai raja dalam dunia transaksi teknologi, ditahan pada bulan Februari dan tidak terlihat lagi sejak saat itu. Eksekutif lainnya di China telah ditempatkan di bawah larangan keluar.
Situasi saat ini merupakan perubahan besar dari tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, ketika China sedang mempersiapkan diri untuk bergabung ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di tahun 2001 dan memperkenalkan sejumlah reformasi pasar yang memungkinkan para pengusaha China untuk mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar.
Itu adalah era di mana menghasilkan uang lebih diutamakan daripada hal lainnya. Namun di bawah kepemimpinan Xi Jinping, yang telah mengkonsolidasikan kekuasaan pribadinya lebih dari pemimpin mana pun sejak Mao Zedong, penekanannya kembali pada kendali politik, dibandingkan kebebasan ekonomi.
"Hukuman sewenang-wenang yang dijatuhkan kepada kelas kaya tidak seperti yang kita lihat sejak tahun 1990-an," kata Victor Shih, profesor ekonomi politik China di Universitas California San Diego.
"Hal ini telah mendorong banyak orang di kelas tersebut untuk berpikir tentang melakukan diversifikasi ke luar China," sambungnya.
Ada semakin banyak tanda-tanda orang-orang kaya asal China pindah ke tempat-tempat yang dekat dengan mereka. Lebih dari 10 persen kondominium mewah yang dijual di Singapura dalam tiga bulan pertama tahun ini jatuh ke tangan pembeli China daratan, naik dari sekitar 5 persen pada kuartal pertama tahun 2022, menurut data dari OrangeTee—sebuah perusahaan real estate.
Saat ini terdapat sekitar 1.100 kantor keluarga tunggal—perusahaan yang didirikan untuk mengelola kekayaan keluarga tertentu—di Singapura, naik dari 50 kantor pada tahun 2018, dan sekitar setengah dari jumlah tersebut diperkirakan klien asal China.
Orang-orang kaya di China juga mencari cara memindahkan diri sendiri serta uang mereka keluar dari China. Sekitar 13.500 orang dengan kekayaan tinggi diperkirakan akan meninggalkan China tahun ini, naik dari 10.800 orang tahun lalu, menurut Henley & Partners, sebuah konsultan imigrasi.
"Pemerintah China hanya mementingkan kepentingannya sendiri, seperti yang ditemukan oleh Jack Ma dan banyak orang lainnya," kata David Lesperance, seorang konsultan independen yang membantu orang-orang dengan kekayaan sangat tinggi untuk pindah. "Jadi kita harus melihat bagaimana melindungi kekayaan dan kesejahteraan Anda," lanjut dia.
Lesperance mengatakan dirinya menerima semakin banyak pertanyaan dari para pebisnis yang ingin memindahkan seluruh timnya keluar dari China, bukan hanya keluarga mereka. Selain risiko politik, kata dia, para pengusaha tidak lagi merasa bahwa China adalah lahan penuh peluang.
Pada tahun 2017, China mencetak dua miliarder baru dalam seminggu. Kini, pertumbuhan ekonomi melambat.
"Sebelumnya mereka tetap tinggal karena mereka menghasilkan banyak uang di China," sebut Lesperance. “Sekarang mereka tidak menghasilkan banyak uang. Jadi mereka berpikir, kenapa saya harus tinggal di sini? Mengapa saya mengambil risiko ini?"
Namun secara keseluruhan, jumlah orang superkaya di China mengalami penurunan. Menurut data Forbes, dari perkiraan 2.640 miliarder dunia, setidaknya 562 orang diperkirakan berada di China. Angka ini turun dari 607 orang dibandingkan tahun lalu.
Dengan tindakan keras terhadap pemodal dan iklim politik yang bergejolak, banyak orang kaya di China ingin memindahkan uang mereka dan juga diri mereka sendiri ke luar negeri.
Mengutip dari The Guardian, Kamis (2/11/2023), elite China telah lama mencari cara untuk membawa uang mereka ke luar negeri. Secara resmi, individu di negara tersebut hanya diperbolehkan mentransfer USD50.000 ke luar negeri setiap tahun.
Baca Juga
Namun dalam praktiknya, orang-orang kaya di China mempunyai berbagai cara resmi dan tidak resmi untuk mengalihkan dana mereka, baik melalui pertukaran uang di Hong Kong—di mana kontrol modal tidak berlaku—atau menyalurkan uang tunai ke bisnis di luar negeri.
Agustus lalu, polisi di Shanghai menangkap lima orang yang bekerja di sebuah konsultan imigrasi, termasuk bos perusahaan tersebut, karena dicurigai memfasilitasi transaksi valuta asing ilegal senilai lebih dari 100 juta yuan (GBP11 juta).
Dalam laporan media pemerintah, polisi mengatakan, "Perdagangan valuta asing ilegal sangat mengganggu tatanan pasar keuangan negara."
Menurut perkiraan dari bank Natixis, sebelum pandemi Covid-19, sekitar USD150 miliar mengalir ke luar China setiap tahun melalui wisatawan yang membawa dana mereka ke luar negeri.
Para ekonom mengatakan meski perjalanan internasional belum kembali ke tingkat sebelum pandemi, suku bunga Amerika Serikat (AS) yang tinggi dan lemahnya yuan merupakan insentif kuat bagi orang kaya di China untuk memindahkan uang mereka ke luar negeri.
Pada paruh pertama tahun 2023, terdapat kekurangan sebesar USD19,5 miliar dalam data neraca pembayaran China, yang digunakan para ekonom sebagai indikator pelarian modal, meski nilai sebenarnya dari uang yang keluar mungkin lebih tinggi.
Alicia Garcia Herrero, kepala ekonom Natixis untuk Asia Pasifik, mengatakan bahwa tingkat ketidakpastian yang tinggi mengenai kebijakan ekonomi masa depan dan peluang bisnis di China juga mendorong masyarakat untuk membawa tabungan mereka ke luar negeri.
Seruan Xi Jinping
Pada 2021, Presiden China Xi Jinping menghidupkan kembali seruan untuk "kemakmuran bersama”, yang secara luas ditafsirkan sebagai seruan bagi para taipan untuk membagikan kekayaan mereka secara lebih luas.
Pada tahun itu, Alibaba—perusahaan teknologi yang didirikan Jack Ma—yang pernah menjadi salah satu pengusaha terkemuka di China, menyumbangkan 100 miliar yuan untuk tujuan tersebut.
Xi Jinping dianggap sangat tidak percaya terhadap jajaran elite China sejak uang senilai lebih dari USD600 miliar keluar dari perekonomian negara pada 2015, setelah devaluasi yuan yang mengejutkan.
Sejak saat itu, Beijing berupaya memperketat cengkeramannya atas kekayaan China—dan orang-orang yang memiliki sebagian besar kekayaan tersebut.
Partai Komunis China (PKC) sangat ketakutan ketika miliarder seperti Ma mulai mempertanyakan regulator China secara terbuka (setelah Ma menyampaikan komentarnya pada 2020, dia menghilang dari pandangan publik selama beberapa tahun).
Slogan "kemakmuran bersama" telah memudar dari pandangan ketika Beijing berupaya mempromosikan China sebagai negara terbuka untuk bisnis setelah tiga tahun tidak ada kasus Covid-19. Namun tekanan terhadap elite bisnis masih terus berlanjut, dan kini setelah perbatasan dibuka, banyak orang yang mempertimbangkan rencana untuk keluar dari negara tersebut.
Bulan lalu, Hui Ka Yan, pendiri pengembang properti Evergrande dan pernah menjadi orang terkaya di Asia, ditangkap karena kejahatan yang tidak dijelaskan secara spesifik. Bao Fan, seorang bankir investasi terkenal yang pernah dianggap sebagai raja dalam dunia transaksi teknologi, ditahan pada bulan Februari dan tidak terlihat lagi sejak saat itu. Eksekutif lainnya di China telah ditempatkan di bawah larangan keluar.
Situasi saat ini merupakan perubahan besar dari tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, ketika China sedang mempersiapkan diri untuk bergabung ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di tahun 2001 dan memperkenalkan sejumlah reformasi pasar yang memungkinkan para pengusaha China untuk mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar.
Itu adalah era di mana menghasilkan uang lebih diutamakan daripada hal lainnya. Namun di bawah kepemimpinan Xi Jinping, yang telah mengkonsolidasikan kekuasaan pribadinya lebih dari pemimpin mana pun sejak Mao Zedong, penekanannya kembali pada kendali politik, dibandingkan kebebasan ekonomi.
"Hukuman sewenang-wenang yang dijatuhkan kepada kelas kaya tidak seperti yang kita lihat sejak tahun 1990-an," kata Victor Shih, profesor ekonomi politik China di Universitas California San Diego.
"Hal ini telah mendorong banyak orang di kelas tersebut untuk berpikir tentang melakukan diversifikasi ke luar China," sambungnya.
Tekad Meninggalkan China
Ada semakin banyak tanda-tanda orang-orang kaya asal China pindah ke tempat-tempat yang dekat dengan mereka. Lebih dari 10 persen kondominium mewah yang dijual di Singapura dalam tiga bulan pertama tahun ini jatuh ke tangan pembeli China daratan, naik dari sekitar 5 persen pada kuartal pertama tahun 2022, menurut data dari OrangeTee—sebuah perusahaan real estate.
Saat ini terdapat sekitar 1.100 kantor keluarga tunggal—perusahaan yang didirikan untuk mengelola kekayaan keluarga tertentu—di Singapura, naik dari 50 kantor pada tahun 2018, dan sekitar setengah dari jumlah tersebut diperkirakan klien asal China.
Orang-orang kaya di China juga mencari cara memindahkan diri sendiri serta uang mereka keluar dari China. Sekitar 13.500 orang dengan kekayaan tinggi diperkirakan akan meninggalkan China tahun ini, naik dari 10.800 orang tahun lalu, menurut Henley & Partners, sebuah konsultan imigrasi.
"Pemerintah China hanya mementingkan kepentingannya sendiri, seperti yang ditemukan oleh Jack Ma dan banyak orang lainnya," kata David Lesperance, seorang konsultan independen yang membantu orang-orang dengan kekayaan sangat tinggi untuk pindah. "Jadi kita harus melihat bagaimana melindungi kekayaan dan kesejahteraan Anda," lanjut dia.
Lesperance mengatakan dirinya menerima semakin banyak pertanyaan dari para pebisnis yang ingin memindahkan seluruh timnya keluar dari China, bukan hanya keluarga mereka. Selain risiko politik, kata dia, para pengusaha tidak lagi merasa bahwa China adalah lahan penuh peluang.
Pada tahun 2017, China mencetak dua miliarder baru dalam seminggu. Kini, pertumbuhan ekonomi melambat.
"Sebelumnya mereka tetap tinggal karena mereka menghasilkan banyak uang di China," sebut Lesperance. “Sekarang mereka tidak menghasilkan banyak uang. Jadi mereka berpikir, kenapa saya harus tinggal di sini? Mengapa saya mengambil risiko ini?"
(mas)
tulis komentar anda