Mantan Sekjen NATO: PM Netanyahu Adalah Politisi Terburuk dalam Sejarah Israel
Selasa, 31 Oktober 2023 - 20:45 WIB
GAZA - Mantan Sekjen NATO Javier Solana mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu adalah “politisi terburuk” dalam sejarah Israel.
“Saya kira tidak ada hal baik yang akan terjadi jika hal ini terjadi,” katanya kepada stasiun televisi Spanyol Cadena Ser, merujuk pada kejadian bulan ini di Israel dan Palestina. “Tapi hal itu bisa membuat Netanyahu menghilang dari politik Israel.”
Tidak berbasa-basi, Solana, 81, juga menekankan bahwa meskipun AS mendukung Israel, Presiden Joe Biden “sama sekali tidak menyukai Netanyahu, sama seperti siapa pun yang telah lama terlibat dalam perang ini.”
“Keduanya bukan teman, tapi bukan musuh. Biden tidak pernah menerima Netanyahu di Gedung Putih,” tambah mantan diplomat itu.
Dia mengatakan Biden telah bekerja keras untuk menekan Netanyahu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan AS di Irak setelah serangan 9/11.
Solana adalah Sekjen NATO dari tahun 1995 hingga 1999 serta kepala diplomat UE dari tahun 1999 hingga 2009.
Dia lebih lanjut mengatakan bahwa dia menghabiskan “banyak waktu di Gaza” selama karirnya, termasuk bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk mengawasi perbatasan Rafah dari Gaza ke Mesir agar tetap dibuka. Program itu dimulai pada tahun 2005 dan berlangsung selama 19 bulan.
Dia juga menyebut Kesepakatan Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, merupakan “kesalahan besar,” dan mengatakan bahwa Kesepakatan tersebut menumbangkan gagasan sebelumnya yang meminta negara-negara mengakui Israel melalui perundingan damai dengan Palestina.
“Saya kira ide perdamaian hingga pengakuan atau pengakuan atas perdamaian adalah ide yang sangat indah,” ujarnya.
Merujuk pada konteks sebelum serangan Hamas, Solana juga mengkritik Netanyahu karena “melakukan kampanye besar-besaran untuk mengubah dirinya menjadi seorang otokrat” melalui reformasi peradilan.
Mempromosikan memoar barunya, Saksi Waktu yang Tidak Pasti, Solana juga berbagi refleksinya mengenai situasi geopolitik yang lebih luas saat ini.
“Momen ini ditandai oleh dua karakteristik utama: Pertama, dunia bukan lagi sekadar negara-negara besar. Kedua, mayoritas masyarakat di dunia tidak tinggal di negara-negara Barat. Di negara-negara Barat, kami masih percaya bahwa kamilah pemilik dunia, namun yang jelas bukan itu masalahnya.”
“Saya kira tidak ada hal baik yang akan terjadi jika hal ini terjadi,” katanya kepada stasiun televisi Spanyol Cadena Ser, merujuk pada kejadian bulan ini di Israel dan Palestina. “Tapi hal itu bisa membuat Netanyahu menghilang dari politik Israel.”
Tidak berbasa-basi, Solana, 81, juga menekankan bahwa meskipun AS mendukung Israel, Presiden Joe Biden “sama sekali tidak menyukai Netanyahu, sama seperti siapa pun yang telah lama terlibat dalam perang ini.”
“Keduanya bukan teman, tapi bukan musuh. Biden tidak pernah menerima Netanyahu di Gedung Putih,” tambah mantan diplomat itu.
Baca Juga
Dia mengatakan Biden telah bekerja keras untuk menekan Netanyahu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan AS di Irak setelah serangan 9/11.
Solana adalah Sekjen NATO dari tahun 1995 hingga 1999 serta kepala diplomat UE dari tahun 1999 hingga 2009.
Dia lebih lanjut mengatakan bahwa dia menghabiskan “banyak waktu di Gaza” selama karirnya, termasuk bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk mengawasi perbatasan Rafah dari Gaza ke Mesir agar tetap dibuka. Program itu dimulai pada tahun 2005 dan berlangsung selama 19 bulan.
Dia juga menyebut Kesepakatan Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, merupakan “kesalahan besar,” dan mengatakan bahwa Kesepakatan tersebut menumbangkan gagasan sebelumnya yang meminta negara-negara mengakui Israel melalui perundingan damai dengan Palestina.
“Saya kira ide perdamaian hingga pengakuan atau pengakuan atas perdamaian adalah ide yang sangat indah,” ujarnya.
Merujuk pada konteks sebelum serangan Hamas, Solana juga mengkritik Netanyahu karena “melakukan kampanye besar-besaran untuk mengubah dirinya menjadi seorang otokrat” melalui reformasi peradilan.
Mempromosikan memoar barunya, Saksi Waktu yang Tidak Pasti, Solana juga berbagi refleksinya mengenai situasi geopolitik yang lebih luas saat ini.
“Momen ini ditandai oleh dua karakteristik utama: Pertama, dunia bukan lagi sekadar negara-negara besar. Kedua, mayoritas masyarakat di dunia tidak tinggal di negara-negara Barat. Di negara-negara Barat, kami masih percaya bahwa kamilah pemilik dunia, namun yang jelas bukan itu masalahnya.”
(ahm)
tulis komentar anda