Kenangan Pahit Perang Yom Kippur, Koalisi Negara Arab Keok oleh Israel
Selasa, 17 Oktober 2023 - 20:55 WIB
GAZA - Perang Yom Kippur menjadi salah satu kenangan pahit bagi negara-negara koalisi Arab karena harus takluk di tangan Israel hanya dalam waktu singkat.
Perang Yom Kippur yang terjadi pada 6 Oktober 1973 dilatarbelakangi oleh koalisi negara Arab yang ingin mengembalikan wilayahnya yang hilang karena direbut Israel pada Perang Arab ketiga tahun 1967.
Menurut History, kemenangan menakjubkan Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967 membuat negara Yahudi itu menguasai wilayah empat kali lebih besar dari luas sebelumnya.
Mesir kehilangan Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza, Yordania kehilangan Tepi Barat dan Yerusalem, sementara Suriah kehilangan Dataran Tinggi Golan.
Baca Juga: Mengapa Fatah Tidak Ikut Membantu Hamas? dari Perbedaan Ideologi hingga Rivalitas Gerakan
Ketika Israel memenangkan pertempuran di tahun 1967 tersebut, Presiden Mesir kala itu Anwar Sadat berpikiran bahwa jika melakukan perjanjian perjanjian perdamaian dengan Israel hanya akan merugikan negaranya, mengingat Negeri Yahudi itu baru saja mendapat kemenangan besar.
Sepanjang tahun 1972 sampai 1973, Sadat Sadat mengancam perang kecuali Amerika Serikat memaksa Israel untuk menerima interpretasinya terhadap Resolusi 242 – penarikan total Israel dari wilayah yang direbut pada tahun 1967.
Pada saat yang sama, Sadat meminta Soviet untuk memberikan tekanan terhadap Amerika Serikat dan memberikan Mesir senjata yang lebih ofensif. Namun Uni Soviet justru menolak permintaan tersebut, yang membuat Sadat mengusir sekitar 20.000 penasihat Soviet dari Mesir secara tiba-tiba.
Dilansir dari Jewish Virtual Library, Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terkoordinasi terhadap Israel. Jumlah kekuatan mereka dapat dikatakan setara dengan NATO di Eropa.
Terdapat sekitar 180 tank Israel menghadapi serangan gencar 1.400 tank Suriah di Dataran Tinggi Golan. Di sepanjang Terusan Suez, kurang dari 500 pembela Israel dengan hanya tiga tank diserang oleh 600.000 tentara Mesir, yang didukung oleh 2.000 tank dan 550 pesawat.
Serangan Mesir dan Suriah ini juga dibantu oleh sejumlah negara Arab lain. Namun yang paling gencar memberi bantuan adalah Irak, karena telah mengirimkan satu skuadron Jet untuk Negeri Piramid.
Selama perang, sebuah divisi Irak yang terdiri dari sekitar 18.000 orang dan beberapa ratus tank dikerahkan di Golan tengah dan berpartisipasi dalam serangan tanggal 16 Oktober terhadap posisi Israel.
Arab Saudi dan Kuwait juga berkomitmen untuk berperang. Sebuah brigade Saudi yang terdiri dari sekitar 3.000 tentara dikirim ke Suriah, di mana mereka berpartisipasi dalam pertempuran di sepanjang pendekatan ke Damaskus.
Tak mau kalah, Aljazair mengirimkan tiga skuadron pesawat tempur dan pembom, satu brigade lapis baja, dan 150 tank. Sekitar 1.000 hingga 2.000 tentara Tunisia ditempatkan di Delta Nil. Sedangkan Sudan menempatkan 3.500 tentara di Mesir selatan, dan Maroko mengirim tiga brigade ke garis depan, termasuk 2.500 orang ke Suriah.
Selama perang Yom Kippur, negara-negara penghasil minyak Arab memberlakukan embargo ekspor minyak ke Amerika Serikat, Portugal, dan Belanda karena dukungan mereka terhadap Israel. Dampaknya menyebabkan kelangkaan minyak bumi di Amerika Serikat dan naiknya harga gas hingga empat kali lipat. Orang Amerika segera harus menghadapi antrean panjang di pompa bensin.
Tidak hanya itu, Uni Soviet yang tadinya enggan untuk mengirimkan bantuan justru berubah pikiran dan mengirim pasukan persenjataannya ke Mesir. Hal tersebut lantas memperburuk kondisi Israel.
Semakin tertekan, Israel hanya mengandalkan bantuan dari Amerika Serikat saja kala itu. Ironisnya, di situasi yang tertekan itu negeri Yahudi justru mampu membalikkan keadaan.
Israel berhasil menghentikan pergerakan Mesir dengan cara melumpuhkan sebagian pertahanan udara. Hal tersebut membuat pasukan Yahudi yang dipimpin oleh Jenderal Ariel Sharon berhasil untuk mengepung Angkatan Darat Ketiga Mesir.
Setelah melumpuhkan Mesir, pasukan Angkatan Udara Israel langsung bermanuver ke dataran tinggi Golan untuk memukul mundur Suriah dan Irak.
Namun bagi Suriah, perang itu hanyalah bencana besar. Karena mereka tidak mendapatkan apapun. Karena dataran tinggi Golan masih dikuasai oleh Israel.
Meski menjadi pemenang dalam perang Yom Kippur, Israel tetap harus menelan kerugian yang sangat besar dengan lebih dari 2.800 korban tewas. Sedangkan dari kubu Mesir dan Suriah korban tewas sekitar 1.300 orang.
Menurut Times Magazine, berkat perang Yom Kippur ini Israel mulai kehilangan rasa aman karena itu mereka harus terus berhati-hati dalam melakukan segala tindakan di tanah yang dikelilingi bangsa Arab.
Perang Yom Kippur yang terjadi pada 6 Oktober 1973 dilatarbelakangi oleh koalisi negara Arab yang ingin mengembalikan wilayahnya yang hilang karena direbut Israel pada Perang Arab ketiga tahun 1967.
Menurut History, kemenangan menakjubkan Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967 membuat negara Yahudi itu menguasai wilayah empat kali lebih besar dari luas sebelumnya.
Mesir kehilangan Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza, Yordania kehilangan Tepi Barat dan Yerusalem, sementara Suriah kehilangan Dataran Tinggi Golan.
Baca Juga: Mengapa Fatah Tidak Ikut Membantu Hamas? dari Perbedaan Ideologi hingga Rivalitas Gerakan
Ketika Israel memenangkan pertempuran di tahun 1967 tersebut, Presiden Mesir kala itu Anwar Sadat berpikiran bahwa jika melakukan perjanjian perjanjian perdamaian dengan Israel hanya akan merugikan negaranya, mengingat Negeri Yahudi itu baru saja mendapat kemenangan besar.
Sepanjang tahun 1972 sampai 1973, Sadat Sadat mengancam perang kecuali Amerika Serikat memaksa Israel untuk menerima interpretasinya terhadap Resolusi 242 – penarikan total Israel dari wilayah yang direbut pada tahun 1967.
Pada saat yang sama, Sadat meminta Soviet untuk memberikan tekanan terhadap Amerika Serikat dan memberikan Mesir senjata yang lebih ofensif. Namun Uni Soviet justru menolak permintaan tersebut, yang membuat Sadat mengusir sekitar 20.000 penasihat Soviet dari Mesir secara tiba-tiba.
Dimulainya Perang Yom Kippur
Perang akhirnya dimulai pada tanggal 6 Oktober 1973, dimana pada saat itu umat Yahudi tengah merayakan hari suci Yom Kippur. Sedangkan untuk umat muslim perang itu berlangsung ketika Bulan Ramadhan.Dilansir dari Jewish Virtual Library, Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terkoordinasi terhadap Israel. Jumlah kekuatan mereka dapat dikatakan setara dengan NATO di Eropa.
Terdapat sekitar 180 tank Israel menghadapi serangan gencar 1.400 tank Suriah di Dataran Tinggi Golan. Di sepanjang Terusan Suez, kurang dari 500 pembela Israel dengan hanya tiga tank diserang oleh 600.000 tentara Mesir, yang didukung oleh 2.000 tank dan 550 pesawat.
Serangan Mesir dan Suriah ini juga dibantu oleh sejumlah negara Arab lain. Namun yang paling gencar memberi bantuan adalah Irak, karena telah mengirimkan satu skuadron Jet untuk Negeri Piramid.
Selama perang, sebuah divisi Irak yang terdiri dari sekitar 18.000 orang dan beberapa ratus tank dikerahkan di Golan tengah dan berpartisipasi dalam serangan tanggal 16 Oktober terhadap posisi Israel.
Arab Saudi dan Kuwait juga berkomitmen untuk berperang. Sebuah brigade Saudi yang terdiri dari sekitar 3.000 tentara dikirim ke Suriah, di mana mereka berpartisipasi dalam pertempuran di sepanjang pendekatan ke Damaskus.
Tak mau kalah, Aljazair mengirimkan tiga skuadron pesawat tempur dan pembom, satu brigade lapis baja, dan 150 tank. Sekitar 1.000 hingga 2.000 tentara Tunisia ditempatkan di Delta Nil. Sedangkan Sudan menempatkan 3.500 tentara di Mesir selatan, dan Maroko mengirim tiga brigade ke garis depan, termasuk 2.500 orang ke Suriah.
Selama perang Yom Kippur, negara-negara penghasil minyak Arab memberlakukan embargo ekspor minyak ke Amerika Serikat, Portugal, dan Belanda karena dukungan mereka terhadap Israel. Dampaknya menyebabkan kelangkaan minyak bumi di Amerika Serikat dan naiknya harga gas hingga empat kali lipat. Orang Amerika segera harus menghadapi antrean panjang di pompa bensin.
Tidak hanya itu, Uni Soviet yang tadinya enggan untuk mengirimkan bantuan justru berubah pikiran dan mengirim pasukan persenjataannya ke Mesir. Hal tersebut lantas memperburuk kondisi Israel.
Semakin tertekan, Israel hanya mengandalkan bantuan dari Amerika Serikat saja kala itu. Ironisnya, di situasi yang tertekan itu negeri Yahudi justru mampu membalikkan keadaan.
Israel berhasil menghentikan pergerakan Mesir dengan cara melumpuhkan sebagian pertahanan udara. Hal tersebut membuat pasukan Yahudi yang dipimpin oleh Jenderal Ariel Sharon berhasil untuk mengepung Angkatan Darat Ketiga Mesir.
Setelah melumpuhkan Mesir, pasukan Angkatan Udara Israel langsung bermanuver ke dataran tinggi Golan untuk memukul mundur Suriah dan Irak.
Dampak Perang Yom Kippur
Setelah perang itu, Sadat langsung mengundurkan diri dari jabatannya. Meski begitu, pada akhirnya Mesir kembali mendapatkan Semenanjung Sinai setelah perjanjian perdamaian ditandatangani pada tahun 1979.Namun bagi Suriah, perang itu hanyalah bencana besar. Karena mereka tidak mendapatkan apapun. Karena dataran tinggi Golan masih dikuasai oleh Israel.
Meski menjadi pemenang dalam perang Yom Kippur, Israel tetap harus menelan kerugian yang sangat besar dengan lebih dari 2.800 korban tewas. Sedangkan dari kubu Mesir dan Suriah korban tewas sekitar 1.300 orang.
Menurut Times Magazine, berkat perang Yom Kippur ini Israel mulai kehilangan rasa aman karena itu mereka harus terus berhati-hati dalam melakukan segala tindakan di tanah yang dikelilingi bangsa Arab.
(ahm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda