Potensi Pecahnya Perang Taiwan Menguat di Tengah Melambatnya Ekonomi China

Jum'at, 18 Agustus 2023 - 11:12 WIB
Para pakar menilai potensi pecahnya perang China dengan Amerika Serikat atas isu Taiwan menjadi menguat seiring melambatnya ekonomi Beijing. Foto/REUTERS
WASHINGTON - Kesulitan ekonomi domestik China memicu kekhawatiran bahwa Beijing dapat mengompensasi kondisi ini dengan meningkatkan risiko perang dengan Amerika Serikat (AS) atas isu Taiwan. Demikian penilaian sejumlah pakar yang mengikuti perkembangan perihal persaingan Washington dengan Beijing.

Perlambatan ekonomi China, yang terlihat dari berbagai indikator pertumbuhan yang melambat, ekspor yang anjlok, meningkatnya utang pemerintah kota, pengangguran, dan deflasi, kemungkinan akan memburuk jika negara-negara lain mengikuti jejak AS dalam membatasi investasi di China.

"China dapat bertindak lebih agresif dalam waktu dekat—seiring matangnya kemampuan militer mereka—untuk mendapatkan keuntungan selagi masih ada kesempatan," kata Hal Brands, mantan asisten khusus menteri pertahanan untuk perencanaan strategis di era pemerintahan Barack Obama. Brands sekarang adalah profesor terkemuka urusan global di Johns Hopkins School of Advanced International Studies.

"Inilah mengapa bahaya pecahnya perang atas isu Taiwan merupakan yang tertinggi dalam dekade ini, karena China akan memiliki lebih banyak kemampuan militer daripada sebelumnya, tepat di saat China telah melewati puncak ekonomi dan mulai menurun," ujar Brands, penulis “Danger Zone: The Coming Conflict with China”.





Brands mengatakan bahwa secara historis, negara-negara besar yang berkembang pesat biasanya menjadi lebih agresif ketika ekonomi mereka melambat dan diterpa serangkaian masalah geopolitik.

"Saat ini China menghadapi masalah seperti itu. Di saat ekonomi China sedang berjuang menghadapi perlambatan, akan lebih sulit bagi mereka untuk menyalip Amerika Serikat sebagai kekuatan utama dunia," lanjut Brands, seperti dikutip VoA.

Presiden AS Joe Biden telah menandatangani perintah eksekutif pada hari Rabu pekan lalu yang melarang modal ventura AS dan perusahaan ekuitas swasta berinvestasi ke sektor teknologi-teknologi canggih China yang dapat mengancam keamanan nasional Negeri Paman Sam.

Juru bicara Kedutaan Besar China Liu Pengyu mengatakan kepada VoA bahwa Beijing sangat prihatin dengan langkah Biden.

"Meski China berulang kali menyatakan keprihatinan mendalam, AS terus melakukan pembatasan investasi baru," kata Liu. "Pihak China sangat kecewa dengan ini."

Liu melanjutkan, "pembatasan investasi terbaru akan secara serius merusak kepentingan perusahaan dan investor China dan Amerika, menghambat kerja sama bisnis normal antara kedua negara, dan menurunkan kepercayaan komunitas internasional di lingkungan bisnis AS."

China Bisa Salah Perhitungan



Sementara itu, China menjadi semakin agresif di Laut China Selatan, menggunakan kehadiran Angkatan Laut-nya untuk mendukung klaim kedaulatan atas pulau-pulau kecil dan apa yang diperkirakan sebagai cadangan besar minyak dan gas alam laut yang belum dimanfaatkan. Klaim Beijing telah membuat marah sejumlah negara, termasuk Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

China juga telah meningkatkan kehadiran militernya di Selat Taiwan, di mana AS telah menjalankan kebebasan navigasi untuk melawan sikap agresif China terhadap pulau Taiwan yang demokratis, yang dianggap Beijing sebagai bagian dari Negeri Tirai Bambu.

Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan bahwa pada Rabu pekan lalu sebanyak 10 pesawat Angkatan Udara China telah memasuki zona pertahanan udara pulau dalam mengawal lima kapal perang China yang terlibat dalam patroli "kesiapan tempur”.

Rute perdagangan terbuka melalui Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan dianggap penting bagi ekonomi global. Gabungan produk senilai total lebih dari USD3,4 triliun, yang menyumbang 21 persen dari perdagangan global, diperkirakan melewati Selat Taiwan pada setiap tahunnya. Invasi China ke Taiwan dapat memutus jalur perdagangan global tersebut.

Matthew Kroenig, wakil presiden dan direktur senior Atlantic Council's Scowcroft Center for Strategy and Security, mengatakan bahwa, "pertumbuhan ekonomi China telah mendatar dan kemungkinan akan menurun dalam waktu dekat."

Namun, kata dia, ketidakmampuan Presiden China Xi Jinping untuk melihat kenyataan dapat membawanya ke kesalahan perhitungan yang sama seperti yang dibuat Presiden Rusia Vladimir Putin dalam berpikir bahwa Moskow dapat dengan mudah mengambil alih Ukraina.

"Xi tidak mengerti bahwa ekonomi Beijing sedang menurun," kata Kroenig, penulis “The Return of Great Power Rivalry”.

"Xi merasa yakin bahwa dirinya dapat membuat China lebih kuat, dan justru Amerika yang saat ini sedang mengalami kemunduran. Oleh karena itu, saya khawatir ini adalah kondisi yang dapat memicu perang. Para pakar hubungan internasional meyakini bahwa dalam sejarahnya, perang itu paling sering meletus akibat kesalahan perhitungan," pungkas Kroenig.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More