Benarkah KKB Papua Sedot Bantuan Pemerintah Indonesia untuk Beli Senjata?
Kamis, 08 Juni 2023 - 14:19 WIB
JAKARTA - Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua, kelompok separatis yang menyandera pilot Susi Air asal Selandia Baru, diduga telah menyedot uang bantuan pemerintah Indonesia untuk membeli senjata di pasar gelap.
Bantuan pemerintah yang dimaksud adalah bantuan Dana Desa. Bantuan ini diperkenalkan pemerintah Presiden Joko Widodo pada 2015 dan tahun ini besarannya mencapai Rp70 triliun.
Bantuan tersebut telah lama dikritik karena rawan dikorupsi.
KKB Papua, yang berada lebih dari 3.000 km dari Jakarta, telah lama berupaya memerdekakan wilayah yang kaya akan tembaga, emas, nikel, dan gas alam tersebut.
Pemberontakan oleh KKB Papua telah meningkat dan itu bertepatan dengan lonjakan penjualan senjata ilegal di wilayah tersebut. Itu diungkap pengacara dan dokumen pengadilan, di mana bantuan Dana Desa menjadi sumber pendapatan utama.
Pada 2015, hanya ada satu kasus perdagangan senjata dan amunisi ilegal di Papua, menurut dokumen dan laporan pengadilan. Pada 2021, jumlahnya melonjak menjadi 14.
Di Nduga, di mana pilot Susi Air Phillip Mehrtens telah disandera selama lebih dari tiga bulan, polisi sangat prihatin karena bantuan Dana Desa digunakan untuk membeli senjata sehingga mereka meminta pemerintah pusat untuk menahan bantuan lebih dari Rp208 miliar yang dialokasikan ke kabupaten tersebut tahun ini.
“Kalau ini tidak kita blokir, maka Dana Desa akan mengalir ke desa dan mereka (KKB Papua) mungkin akan terus meminta bantuan...Mungkin untuk membeli senjata, untuk membeli makanan,” kata Kabid Humas Polda Papua Ignatius Benny Ady Prabowo kepada Reuters, Kamis (8/6/2023).
Juru bicara Pemerintah Kabupaten Nduga, Otomi Djiwage, mengatakan: "Dana Desa tidak didukung pengawasan yang benar dan pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengawasinya."
“Jadi wajar jika penggunaan Dana Desa agak longgar dan siapa saja bisa melakukan apa saja dengan itu," ujarnya.
Dia tidak mengomentari klaim bantuan Dana Desa yang digunakan oleh KKB Papua. Sebab, lanjut dia, itu hanya dugaan.
Tidak jelas berapa dari miliaran bantuan Dana Desa yang dialokasikan untuk wilayah Papua pada tahun 2023 diselewengkan untuk senjata.
Namun Faizal Ramadhani, kepala gugus tugas Operasi Perdamaian Cartenz yang mengawasi keamanan di Papua, mengatakan kepada Reuters sekitar 40 persen kasus senjata ilegal yang dia selidiki melibatkan dana dari program Dana Desa.
Dia menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.
Juru bicara Polri dan TNI menolak berkomentar untuk laporan ini.
Kementerian Keuangan, yang mengawasi distribusi bantuan Dana Desa, mengatakan ada mekanisme pemantauan untuk memastikan dana digunakan sebagaimana mestinya, tetapi menolak mengomentari klaim bahwa KKB Papua telah menyalahgunakan uang bantuan pemerintah.
Pada tahun 2021, LSM Indonesia Corruption Watch mengidentifikasi 154 kasus dugaan korupsi terkait dana tersebut, tertinggi dari pengeluaran sektor pemerintah mana pun.
Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM), membantah pemberontak menggunakan bantuan Dana Desa. Namun dia mengatakan kelompok itu sebagian secara tidak sengaja didanai oleh uang negara.
"Kami memiliki tanah yang kaya sehingga kami melakukannya dengan cara kami sendiri. Kami dapat menghasilkan uang melalui penambangan emas dan kayu serta banyak pembayaran pemerintah," katanya kepada Reuters. "Kami memiliki hak untuk menggunakan uang itu."
Dirancang untuk memacu pertumbuhan ekonomi, bantuan Dana Desa telah meningkat tiga kali lipat sejak 2015, tetapi di Papua, beberapa orang mengatakan tidak banyak yang bisa ditampilkan.
“Saya belum pernah melihat proyek yang dibiayai Dana Desa, tidak sama sekali,” kata Bernadus Kobogau, pejabat pariwisata di Intan Jaya.
Sebaliknya, katanya, baku tembak mematikan yang dulu terbatas di hutan kini terjadi di tengah kota.
Meningkatnya daya tembak para pemberontak Papua terlihat jelas dalam foto-foto terbaru yang dirilis bersamaan dengan ancaman akan menembak Mehrtens jika pembicaraan kemerdekaan tidak dimulai dalam waktu dua bulan.
Para pemberontak di Nduga mengacungkan sebuah peluncur granat, beberapa senapan mesin dan 18 senapan serbu, termasuk yang diproduksi oleh pembuat amunisi senjata negara Pindad. Demikian analisis Deka Anwar, pakar dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
“Lewatlah sudah hari-hari di mana pemberontak Papua menyimpan peluru berharga,” kata Anwar. "Sekarang mereka bisa menembak berhari-hari."
Menurutnya, di dataran tinggi Papua, bantuan Dana Desa diperlakukan seperti "pajak revolusioner", baik melalui intimidasi dan paksaan, atau diberikan secara langsung oleh para pendukung kemerdekaan.
Disimpan langsung ke rekening bank desa, dana tersebut secara teratur dibagikan secara tunai oleh kepala desa di dataran tinggi Papua.
“Mereka punya banyak uang di Papua, jadi mudah untuk membeli senjata,” kata Latifah Anum Siregar, direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) dan pengacara yang meliput kasus penjualan senjata ilegal.
Menambah masalah, kata dia, pemberontak sebagian besar membeli senjata dari pejabat militer dan polisi yang korup.
Menurut dokumen pengadilan, seorang petugas melakukan perjalanan ke kota Nabire di Papua sembilan kali untuk menjual senjata secara ilegal.
"Di Indonesia kami menyebutnya 'senjata makan tuan'," kata Siregar tentang dinamika yang sarat ironi: pemberontak mempersenjatai diri dengan dana negara untuk melawan negara. "Artinya itu menjadi bumerang," ujarnya.
Bantuan pemerintah yang dimaksud adalah bantuan Dana Desa. Bantuan ini diperkenalkan pemerintah Presiden Joko Widodo pada 2015 dan tahun ini besarannya mencapai Rp70 triliun.
Bantuan tersebut telah lama dikritik karena rawan dikorupsi.
KKB Papua, yang berada lebih dari 3.000 km dari Jakarta, telah lama berupaya memerdekakan wilayah yang kaya akan tembaga, emas, nikel, dan gas alam tersebut.
Pemberontakan oleh KKB Papua telah meningkat dan itu bertepatan dengan lonjakan penjualan senjata ilegal di wilayah tersebut. Itu diungkap pengacara dan dokumen pengadilan, di mana bantuan Dana Desa menjadi sumber pendapatan utama.
Pada 2015, hanya ada satu kasus perdagangan senjata dan amunisi ilegal di Papua, menurut dokumen dan laporan pengadilan. Pada 2021, jumlahnya melonjak menjadi 14.
Di Nduga, di mana pilot Susi Air Phillip Mehrtens telah disandera selama lebih dari tiga bulan, polisi sangat prihatin karena bantuan Dana Desa digunakan untuk membeli senjata sehingga mereka meminta pemerintah pusat untuk menahan bantuan lebih dari Rp208 miliar yang dialokasikan ke kabupaten tersebut tahun ini.
“Kalau ini tidak kita blokir, maka Dana Desa akan mengalir ke desa dan mereka (KKB Papua) mungkin akan terus meminta bantuan...Mungkin untuk membeli senjata, untuk membeli makanan,” kata Kabid Humas Polda Papua Ignatius Benny Ady Prabowo kepada Reuters, Kamis (8/6/2023).
Juru bicara Pemerintah Kabupaten Nduga, Otomi Djiwage, mengatakan: "Dana Desa tidak didukung pengawasan yang benar dan pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengawasinya."
“Jadi wajar jika penggunaan Dana Desa agak longgar dan siapa saja bisa melakukan apa saja dengan itu," ujarnya.
Dia tidak mengomentari klaim bantuan Dana Desa yang digunakan oleh KKB Papua. Sebab, lanjut dia, itu hanya dugaan.
Tidak jelas berapa dari miliaran bantuan Dana Desa yang dialokasikan untuk wilayah Papua pada tahun 2023 diselewengkan untuk senjata.
Namun Faizal Ramadhani, kepala gugus tugas Operasi Perdamaian Cartenz yang mengawasi keamanan di Papua, mengatakan kepada Reuters sekitar 40 persen kasus senjata ilegal yang dia selidiki melibatkan dana dari program Dana Desa.
Dia menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.
Juru bicara Polri dan TNI menolak berkomentar untuk laporan ini.
Kementerian Keuangan, yang mengawasi distribusi bantuan Dana Desa, mengatakan ada mekanisme pemantauan untuk memastikan dana digunakan sebagaimana mestinya, tetapi menolak mengomentari klaim bahwa KKB Papua telah menyalahgunakan uang bantuan pemerintah.
Pada tahun 2021, LSM Indonesia Corruption Watch mengidentifikasi 154 kasus dugaan korupsi terkait dana tersebut, tertinggi dari pengeluaran sektor pemerintah mana pun.
Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM), membantah pemberontak menggunakan bantuan Dana Desa. Namun dia mengatakan kelompok itu sebagian secara tidak sengaja didanai oleh uang negara.
"Kami memiliki tanah yang kaya sehingga kami melakukannya dengan cara kami sendiri. Kami dapat menghasilkan uang melalui penambangan emas dan kayu serta banyak pembayaran pemerintah," katanya kepada Reuters. "Kami memiliki hak untuk menggunakan uang itu."
Dirancang untuk memacu pertumbuhan ekonomi, bantuan Dana Desa telah meningkat tiga kali lipat sejak 2015, tetapi di Papua, beberapa orang mengatakan tidak banyak yang bisa ditampilkan.
“Saya belum pernah melihat proyek yang dibiayai Dana Desa, tidak sama sekali,” kata Bernadus Kobogau, pejabat pariwisata di Intan Jaya.
Sebaliknya, katanya, baku tembak mematikan yang dulu terbatas di hutan kini terjadi di tengah kota.
Meningkatnya daya tembak para pemberontak Papua terlihat jelas dalam foto-foto terbaru yang dirilis bersamaan dengan ancaman akan menembak Mehrtens jika pembicaraan kemerdekaan tidak dimulai dalam waktu dua bulan.
Para pemberontak di Nduga mengacungkan sebuah peluncur granat, beberapa senapan mesin dan 18 senapan serbu, termasuk yang diproduksi oleh pembuat amunisi senjata negara Pindad. Demikian analisis Deka Anwar, pakar dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
“Lewatlah sudah hari-hari di mana pemberontak Papua menyimpan peluru berharga,” kata Anwar. "Sekarang mereka bisa menembak berhari-hari."
Menurutnya, di dataran tinggi Papua, bantuan Dana Desa diperlakukan seperti "pajak revolusioner", baik melalui intimidasi dan paksaan, atau diberikan secara langsung oleh para pendukung kemerdekaan.
Disimpan langsung ke rekening bank desa, dana tersebut secara teratur dibagikan secara tunai oleh kepala desa di dataran tinggi Papua.
“Mereka punya banyak uang di Papua, jadi mudah untuk membeli senjata,” kata Latifah Anum Siregar, direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) dan pengacara yang meliput kasus penjualan senjata ilegal.
Menambah masalah, kata dia, pemberontak sebagian besar membeli senjata dari pejabat militer dan polisi yang korup.
Menurut dokumen pengadilan, seorang petugas melakukan perjalanan ke kota Nabire di Papua sembilan kali untuk menjual senjata secara ilegal.
"Di Indonesia kami menyebutnya 'senjata makan tuan'," kata Siregar tentang dinamika yang sarat ironi: pemberontak mempersenjatai diri dengan dana negara untuk melawan negara. "Artinya itu menjadi bumerang," ujarnya.
(mas)
tulis komentar anda