5 Cara Negara G7 Mencegah Perang Baru
Jum'at, 19 Mei 2023 - 15:21 WIB
TOKYO - Para pemimpin negara kaya yang tergabung dalam G7 bertemu di Jepang pada akhir pekan ini. Salah satu isu yang mencuat adalah bagaimana mereka mencegah perang terjadi lagi.
Isu pencegahan perang menjadi hal signifikan seiring dengan memanasnya ketegangan antara Jepang dan Taiwan dengan China. Beijing sedang bersemangat karena aktif berkoalisi dengan Rusia.
G7 sangat memahami dampak buruk perang. Mereka belajar dari pengalaman dampak perang dengan Rusia yang memiliki kekuatan militer besar dan mumpuni.
Berikut merupakan 5 cara negara-negara G7 mencegah perang baru muncul di dunia.
1. Mengalihkan Isu yang Lebih Penting
Foto/Reuters
Dunia tidak hanya berurusan dengan militer dan pertahanan. Itu hanya menyangkut gengsi dan kepentingan personal pemimpin. Banyak hal yang lebih penting dari urusan tersebut, yakni kemanusiaan dan kehidupan warga di seluruh dunia.
Nirapamo Rao, mantan duta besar India untuk AS, mengungkapkan perang seharusnya dijauhkan dengan fokus ke hal-hal besar, di antaranya pembangunan ekonomi, perubahan iklim, pandemi dan ketimpangan tatanan global.
Rao menyatakan, negara yang suka berperang umumnya negara besar. "Tapi, negara-negara di Selatan umumnya tetap tenang," katanya.
2. Mengintensifkan Dialog
Dialog menjadi kunci dalam membangun tatanan dunia yang lebih harmonis. Itu juga menjadi cara untuk mencegah terjadi miskomunikasi dan salah persepsi di antara negara yang sedang berkonflik.
Matias Spektor, pakar hubungan internasional di Sao Paulo, Brasil, mengungkapkan hingga saat ini dialog untuk mencegah perang antara kekuatan dunia yang saling konflik jarang terwujud. Upaya untuk mendialog harus terus dilakukan di antara negara yang rawan konflik, baik di negara maju dan berkembang. "Dengan dialog diharapkan memicu memunculkan solusi," tutur Spektor, dilansir The Guardian.
3. Membangun Multipolar
Saat ini, dunia hanya memiliki dua kekuatan superpower, seperti Amerika Serikat dan Rusia. China juga mulai memosisikan diri sebagai superpower yang bersaing dengan Washington, tetapi membangun aliansi dengan Rusia.
Perang bisa dicegah ketika dunia memiliki iklim geopolitik yang multipolar. Ketika dunia memiliki negara superpower yang terbatas, maka cenderung terbawa kepentingan.
Spektor mengingatkan diperlukan superioritas moral dibalik negara superpower. Dia menekankan perlunya koherensi antara perkataan dan perbuatan. "Misalnya, 50 negara di dunia yang menjalankan kediktatoran militer, 35 di antaranya ternyata disuplai senjata oleh AS," kata Spektor.
4. Menghilangkan Dendam Masa Lalu
Foto/Reuters
Sejarah perang dan konflik di masa lalu kerap mengakibatkan dendam berkepanjangan yang merasuk kepada penduduk dan para pemimpin suatu negara. Dengan alasan nasionalisme, dendam tetap dipelihara dan harus diluapkan.
Proses untuk mengikis dendam di masa lalu membutuhkan proses. Itu bisa diwujudkan dengan pendidikan kepada generasi masa depan untuk tidak selalu berkaca pada sejarah.
Fional Hill, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS, mengungkapkan negara-negara Barat harus menghilangkan politik balas dendam atas sejarah di masa lalu. Itu bisa terwujud jika negara mulai mengurangi pengaruh dalam hubungan dan diplomasi di tataran global.
"Negara maju seperti G7 seharusnya tidak memutuskan berdasarkan kepentingan," saran Hill. Bagaimana caranya? "Pada 2023, kita mendengar perlunya tidak ada dominasi AS, dan kita ingin melihat dunia tanpa hegemoni," tuturnya.
5. Membudayakan Kepemimpinan yang Transparan
Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas menyarankan akuntabilitas kepemimpinan menjadi hal sangat penting bagi seluruh pemimpin
dunia. Dia menyarankan orang Rusia harus belajar dari pidato Presiden Jerman Richard von Weizsackerpada peringatan 40 tahun
Perang Dunia II tentang kelahiran kembali Jerman untuk mampu melihat kebenaran dan kesalahannya sendiri.
Seperti diungkapkan Thomas Bagger, duta besar Jerman untuk Polandia, invasi harus berdasarkan rasionalitas ekonomi. "Invasi Rusia ke Ukraina menjadi aksi bunuh diri bagi bisnis orang Rusia," kata Bagger.
Tantangan pemimpin di berbagai negara adalah transparansi. Seperti kritik Ingre Simonyte, Perdana Menteri Lithuania, bahwa perdamaian umumnya bisa dicapai ketika perang usia, seperti kekalahan Jerman pada Perang Dunia. "Perdamaian di Ukraina juga akan terwujud jika perubahan di dalam negeri di Rusia," kata Simonyte.
Isu pencegahan perang menjadi hal signifikan seiring dengan memanasnya ketegangan antara Jepang dan Taiwan dengan China. Beijing sedang bersemangat karena aktif berkoalisi dengan Rusia.
G7 sangat memahami dampak buruk perang. Mereka belajar dari pengalaman dampak perang dengan Rusia yang memiliki kekuatan militer besar dan mumpuni.
Berikut merupakan 5 cara negara-negara G7 mencegah perang baru muncul di dunia.
1. Mengalihkan Isu yang Lebih Penting
Foto/Reuters
Dunia tidak hanya berurusan dengan militer dan pertahanan. Itu hanya menyangkut gengsi dan kepentingan personal pemimpin. Banyak hal yang lebih penting dari urusan tersebut, yakni kemanusiaan dan kehidupan warga di seluruh dunia.
Nirapamo Rao, mantan duta besar India untuk AS, mengungkapkan perang seharusnya dijauhkan dengan fokus ke hal-hal besar, di antaranya pembangunan ekonomi, perubahan iklim, pandemi dan ketimpangan tatanan global.
Rao menyatakan, negara yang suka berperang umumnya negara besar. "Tapi, negara-negara di Selatan umumnya tetap tenang," katanya.
2. Mengintensifkan Dialog
Dialog menjadi kunci dalam membangun tatanan dunia yang lebih harmonis. Itu juga menjadi cara untuk mencegah terjadi miskomunikasi dan salah persepsi di antara negara yang sedang berkonflik.
Matias Spektor, pakar hubungan internasional di Sao Paulo, Brasil, mengungkapkan hingga saat ini dialog untuk mencegah perang antara kekuatan dunia yang saling konflik jarang terwujud. Upaya untuk mendialog harus terus dilakukan di antara negara yang rawan konflik, baik di negara maju dan berkembang. "Dengan dialog diharapkan memicu memunculkan solusi," tutur Spektor, dilansir The Guardian.
3. Membangun Multipolar
Saat ini, dunia hanya memiliki dua kekuatan superpower, seperti Amerika Serikat dan Rusia. China juga mulai memosisikan diri sebagai superpower yang bersaing dengan Washington, tetapi membangun aliansi dengan Rusia.
Perang bisa dicegah ketika dunia memiliki iklim geopolitik yang multipolar. Ketika dunia memiliki negara superpower yang terbatas, maka cenderung terbawa kepentingan.
Spektor mengingatkan diperlukan superioritas moral dibalik negara superpower. Dia menekankan perlunya koherensi antara perkataan dan perbuatan. "Misalnya, 50 negara di dunia yang menjalankan kediktatoran militer, 35 di antaranya ternyata disuplai senjata oleh AS," kata Spektor.
4. Menghilangkan Dendam Masa Lalu
Foto/Reuters
Sejarah perang dan konflik di masa lalu kerap mengakibatkan dendam berkepanjangan yang merasuk kepada penduduk dan para pemimpin suatu negara. Dengan alasan nasionalisme, dendam tetap dipelihara dan harus diluapkan.
Proses untuk mengikis dendam di masa lalu membutuhkan proses. Itu bisa diwujudkan dengan pendidikan kepada generasi masa depan untuk tidak selalu berkaca pada sejarah.
Fional Hill, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS, mengungkapkan negara-negara Barat harus menghilangkan politik balas dendam atas sejarah di masa lalu. Itu bisa terwujud jika negara mulai mengurangi pengaruh dalam hubungan dan diplomasi di tataran global.
"Negara maju seperti G7 seharusnya tidak memutuskan berdasarkan kepentingan," saran Hill. Bagaimana caranya? "Pada 2023, kita mendengar perlunya tidak ada dominasi AS, dan kita ingin melihat dunia tanpa hegemoni," tuturnya.
5. Membudayakan Kepemimpinan yang Transparan
Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas menyarankan akuntabilitas kepemimpinan menjadi hal sangat penting bagi seluruh pemimpin
dunia. Dia menyarankan orang Rusia harus belajar dari pidato Presiden Jerman Richard von Weizsackerpada peringatan 40 tahun
Perang Dunia II tentang kelahiran kembali Jerman untuk mampu melihat kebenaran dan kesalahannya sendiri.
Seperti diungkapkan Thomas Bagger, duta besar Jerman untuk Polandia, invasi harus berdasarkan rasionalitas ekonomi. "Invasi Rusia ke Ukraina menjadi aksi bunuh diri bagi bisnis orang Rusia," kata Bagger.
Tantangan pemimpin di berbagai negara adalah transparansi. Seperti kritik Ingre Simonyte, Perdana Menteri Lithuania, bahwa perdamaian umumnya bisa dicapai ketika perang usia, seperti kekalahan Jerman pada Perang Dunia. "Perdamaian di Ukraina juga akan terwujud jika perubahan di dalam negeri di Rusia," kata Simonyte.
(ahm)
tulis komentar anda