Peragakan Penyaliban Yesus Kristus, 8 Warga Filipina Dipaku di Tiang Salib

Sabtu, 08 April 2023 - 22:46 WIB
Ruben Enaje, satu dari 8 warga Filipina yang dipaku di tiang salib dalam tradisi memperagakan penyaliban Yesus Kristus. Foto/REUTERS
MANILA - Delapan warga Filipina rela kaki dan tangannya dipaku di tiang salib untuk memperagakan penderitaan Yesus Kristus . Tradisi berdarah yang sebenarnya dilarang oleh Gereja Katolik ini berlangsung dalam perayaan Jumat Agung.

Tradisi kontroversial ini dijalankan lagi setelah tiga tahun absen karena pandemi Covid-19.

Momen mengerikan itu bahkan disiarkan secara online oleh para warga, menarik ribuan warga lokal dan turis asing untuk datang.

“Saya selalu merasa gugup karena saya bisa mati di kayu salib,” kata Ruben Enaje (62), salah satu peserta penyaliban, kepada AP.



Tradisi berdarah pada Jumat (7/4/2023) itu terjadi di wilayah desa pertanian San Pedro Cutud di provinsi Pampanga. Itu menandai pertama kalinya tradisi menyakitkan tersebut digelar lagi sejak dimulainya pandemi Covid-19 pada tahun 2020.



Sekitar 12 penduduk desa mendaftar untuk memperagkan penyaliban Yesus Kristus, tetapi hanya delapan pria yang berpartisipasi, termasuk Enaje (62)—pelukis yang dipaku di kayu salib untuk ke-34 kalinya sepanjang hidupnya di San Pedro Cutud.

Dalam konferensi pers tak lama setelah penyaliban singkatnya, Enaje mengatakan dia berdoa untuk pemberantasan virus Covid-19 dan berakhirnya invasi Rusia ke Ukraina, yang telah menyebabkan harga gas dan pangan melonjak di seluruh dunia.

“Hanya dua negara yang terlibat dalam perang itu, Rusia dan Ukraina, tetapi kita semua terkena dampaknya,” kata Enaje, yang tampak sehat dan menunjukkan kedua tangannya yang diperban kepada wartawan.

Ayah empat anak itu mengatakan dia ingin pensiun dari tradisi berdarah ini karena usianya, tetapi akan memutuskan dengan pasti sebelum Prapaskah tahun depan. Meski rasa sakit akibat dipaku, dia mengatakan dia selalu merasa gelisah sebelum setiap penyaliban.

"Ketika saya berbaring di kayu salib, tubuh saya mulai terasa dingin,” kata Enaje. “Ketika tangan saya terikat, saya hanya memejamkan mata dan berkata pada diri sendiri: 'Saya bisa melakukan ini. Saya bisa melakukan ini'," paparnya.

Bertahan hidup hampir tanpa cedera ketika jatuh dari gedung tiga lantai pada tahun 1985 mendorong Enaje untuk menjalani tradisi penyaliban itu sebagai ucapan syukur atas apa yang dianggapnya sebagai keajaiban.

Dia memperpanjang keikutsertaan ritual berdarah setelah orang yang dicintai sembuh dari penyakit serius, satu demi satu, mengubahnya menjadi selebriti desa sebagai "Kristus" dalam pemeragaan Jalan Salib Prapaskah.

Menjelang penyaliban delapan orang di atas bukit berdebu, Enaje dan para jemaat lainnya, mengenakan mahkota berduri dari ranting, membawa salib kayu yang berat di punggung mereka selama lebih dari satu kilometer (0,6 mil) dalam panas terik. Para aktor desa yang berpakaian seperti perwira Romawi kemudian menancapkan paku baja tahan karat sepanjang 10 cm (4 inci) menembus telapak tangan dan kaki Enaje, kemudian meletakkannya di tiang salib di bawah matahari selama sekitar 10 menit.

Para "pendosa" lainnya berjalan tanpa alas kaki melalui jalan-jalan desa dan memukuli punggung mereka yang telanjang dengan batang bambu tajam dan potongan kayu. Beberapa peserta di masa lalu mengiris punggung para "pendosa" dengan menggunakan pecahan kaca untuk memastikan bahwa ritual tersebut cukup berdarah.

Tontonan mengerikan ini mencerminkan ciri khas Katolik Filipina, yang menggabungkan tradisi gereja dengan mitos rakyat. Banyak peniten yang kebanyakan miskin menjalani ritual untuk menebus dosa, berdoa untuk orang sakit atau untuk kehidupan yang lebih baik, dan bersyukur atas keajaiban.

Para pemimpin gereja di Filipina tidak menyukai penyaliban dan pencambukan diri, dengan mengatakan bahwa orang Filipina dapat menunjukkan iman mereka yang dalam dan pengabdian religius tanpa melukai diri mereka sendiri dan sebagai gantinya melakukan pekerjaan amal, seperti menyumbangkan darah.

Robert Reyes, seorang imam Katolik terkemuka dan aktivis hak asasi manusia di negara itu, mengatakan ritus berdarah mencerminkan kegagalan gereja untuk sepenuhnya mendidik banyak orang Filipina tentang ajaran Kristen, membiarkan mereka sendiri mencari cara pribadi untuk mencari bantuan ilahi untuk segala macam penyakit.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More