Beijing Gencarkan Proyek BRI, Indonesia Diingatkan soal Kualitas Produk China
Jum'at, 17 Februari 2023 - 17:14 WIB
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, mengatakan negara-negara dunia semestinya menerapkan kebijakan dan kontrol yang sangat ketat sebelum menggunakan produk atau barang-barang China, khususnya yang menyangkut atau berkaitan dengan hajat hidup rakyat dan negara.
“Saya rasa kita dan masyarakat dunia lainnya sudah mengetahui mutu dan kualitas produk atau barang-barang China yang membanjiri pasar di hampir seluruh dunia. Cacat, sering kali tidak berfungsi dan tidak tahan lama,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jumat (17/2/2023).
Mengutip laporan The Wall Street Journal, AB Solissa memaparkan banyak retakan pada bangunan proyek pembangkit listrik tenaga air Coca Codo Sinclair di Ekuador senilai USD2,7 miliar, yang tentunya menjadi fakta dan contoh buruknya mutu atau kualitas produk China.
Banyaknya retakan pada bangunan yang dibangun Beijing ini, membuat negara tersebut terpaksa melumpuhkan semua aktivitas dan kegiatan di proyek strategis negara hasil utang China yang menjadi salah satu sumber listrik terbesar di Ekuador.
“Meski salah dalam kebijakan menggunakan produk China, langkah pemerintah Ekuador untuk shutdown seluruh aktivitas di bangunan buatan Beijing sudah tepat demi menyelamatkan jiwa dan raga pekerja serta warga sekitar proyek pembangkit tenaga listrik,” katanya.
Proyek BRI juga banyak dikritik negara-negara Barat karena dinilai menjadi “jebakan” utang bagi negara-negara berkembang dan miskin.
Bunga rendah dan kemudahan memperoleh dana untuk membangun infrastruktur yang ditawarkan Beijing, justru membuat banyak negara terbebani. Sebab, tanpa atau dengan sadar, mereka “terjebak” utang China yang harus mereka bayar dengan mahal.
Deretan negara yang dinilai "terjebak" dalam utang China di antaranya adalah Laos, Pakistan, Sri Lanka, serta puluhan negara kecil di Afrika.
Pada periode 2006-2019, China menanamkan investasi senilai USD12,1 miliar dalam pembangunan infrastruktur Sri Lanka. Termasuk di dalamnya adalah membangun Pelabuhan Hambantota yang dikritik lawan politik Presiden Mahinda Rajapaksa karena dinilai berbau nepotisme.
Beban utang dan krisis ekonomi serta politik membuat Sri Lanka tak mampu membayar kewajibannya. Sri Lanka sudah dinyatakan default karena tak mampu membayar bunga utang senilai USD 73 juta pada Mei lalu.
“Saya rasa kita dan masyarakat dunia lainnya sudah mengetahui mutu dan kualitas produk atau barang-barang China yang membanjiri pasar di hampir seluruh dunia. Cacat, sering kali tidak berfungsi dan tidak tahan lama,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jumat (17/2/2023).
Mengutip laporan The Wall Street Journal, AB Solissa memaparkan banyak retakan pada bangunan proyek pembangkit listrik tenaga air Coca Codo Sinclair di Ekuador senilai USD2,7 miliar, yang tentunya menjadi fakta dan contoh buruknya mutu atau kualitas produk China.
Banyaknya retakan pada bangunan yang dibangun Beijing ini, membuat negara tersebut terpaksa melumpuhkan semua aktivitas dan kegiatan di proyek strategis negara hasil utang China yang menjadi salah satu sumber listrik terbesar di Ekuador.
“Meski salah dalam kebijakan menggunakan produk China, langkah pemerintah Ekuador untuk shutdown seluruh aktivitas di bangunan buatan Beijing sudah tepat demi menyelamatkan jiwa dan raga pekerja serta warga sekitar proyek pembangkit tenaga listrik,” katanya.
Proyek BRI juga banyak dikritik negara-negara Barat karena dinilai menjadi “jebakan” utang bagi negara-negara berkembang dan miskin.
Bunga rendah dan kemudahan memperoleh dana untuk membangun infrastruktur yang ditawarkan Beijing, justru membuat banyak negara terbebani. Sebab, tanpa atau dengan sadar, mereka “terjebak” utang China yang harus mereka bayar dengan mahal.
Deretan negara yang dinilai "terjebak" dalam utang China di antaranya adalah Laos, Pakistan, Sri Lanka, serta puluhan negara kecil di Afrika.
Pada periode 2006-2019, China menanamkan investasi senilai USD12,1 miliar dalam pembangunan infrastruktur Sri Lanka. Termasuk di dalamnya adalah membangun Pelabuhan Hambantota yang dikritik lawan politik Presiden Mahinda Rajapaksa karena dinilai berbau nepotisme.
Beban utang dan krisis ekonomi serta politik membuat Sri Lanka tak mampu membayar kewajibannya. Sri Lanka sudah dinyatakan default karena tak mampu membayar bunga utang senilai USD 73 juta pada Mei lalu.
Lihat Juga :
tulis komentar anda