Alasan Rasmus Paludan Tidak Ditangkap Polisi Setelah Membakar Al-Quran
Selasa, 31 Januari 2023 - 13:37 WIB
KOPENHAGEN - Rasmus Paludan, politikus Swedia-Denmark yang anti-Islam, lagi-lagi mendapat sorotan. Pasalnya pada Jumat (27/1/2023), ia kembali membakar Al-Quran di dekat masjid serta di luar Kedutaan Besar Turki di Kopenhagen, Denmark.
Bahkan ia mengancam akan rutin membakar salinan Alquran hingga Swedia diterima sebagai NATO. Meski sering kali membakar Alquran, hingga kini ia belum ditangkap juga. Berikut alasannya.
1. Rasmus Paludan Mendapat Izin
Rasmus Paludan telah beberapa kali membakar Al-Quran. Pada Jumat (27/1/2023), Rasmus kembali membakar Alquran di dekat sebuah masjid dan di luar kedutaan Besar Turki di Kopenhagen, Denmark. Terakhir, ia melakukannya pada 21 Januari 2023 lalu di tengah unjuk rasa di Swedia.
Diketahui, Paludan sudah mendapat izin untuk aksi tersebut. Saat ia melakukan pembakaran itu, Swedia tengah berjuang meyakinkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan agar memberi izin bagi Swedia bergabung dengan NATO.
Keputusan untuk mengizinkan pembakaran Alquran tersebut terjadi di tengah hubungan yang tegang antara Swedia dan Turki.
Paludan tidak hanya membakar Alquran dengan izin dari pihak berwenang, namun juga mendapat perlindungan dari petugas polisi yang menjaga.
2. Swedia Mempunyai UU Kebebasan Berekspresi dan Protes
Karena dianggap bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, pemerintah Swedia memberi izin atas tindakan pembakaran Al-Quran yang dilakukan Rasmus Paludan itu.
Diketahui, Swedia mempunyai UU Kebebasan Berekspresi dan Protes. Namun, seharusnya UU tersebut tidak melewati batas hingga dapat menimbulkan kebencian.
Meski pelaku mempunyai hak hukum, polisi semestinya tidak mengizinkan pelaku melakukan penistaaan terhadap suatu agama.
Menurut Ketua Dewan Komunitas Yahudi Swedia Lena Posner-Korosi, hukum perlu ditinjau kembali terkait kebebasan beragama hingga kejahatan rasial terhadap minoritas.
Ia juga mengatakan, Swedia mempunyai masyarakat yang homogen, di mana masyarakat Swedia tidak terbiasa dengan imigran dan minoritas. Saat ada kebencian fisik maupun verbal, tidak jelas apakah pelaku akan dihukum secara definitif.
3. UU Penistaan Agama di Denmark Telah Dicabut Sejak 2017
Denmark pernah mempunyai UU mengenai penistaan agama, sejak 1683. Namun, pada 2017, Undang-undang penistaan agama berusia 334 tahun yang melarang penghinaan publik terhadap suatu agama, seperti pembakaran kitab suci, itu telah dicabut oleh parlemen Denmark.
Atas pencabutan UU tersebut, kasus seorang pria Denmark yang mengunggah video aksinya membakar Al-Quran di media sosial dan akan menghadapi pengadilan penistaan agama pun dibatalkan, pada Juni 2017.
Tidak adanya UU yang membatasi aksi yang menistakan suatu agama, membuat tindakan pembakaran Alquran oleh Rasmus Paludan dibiarkan terjadi, bahkan diberi izin.
Bahkan ia mengancam akan rutin membakar salinan Alquran hingga Swedia diterima sebagai NATO. Meski sering kali membakar Alquran, hingga kini ia belum ditangkap juga. Berikut alasannya.
1. Rasmus Paludan Mendapat Izin
Rasmus Paludan telah beberapa kali membakar Al-Quran. Pada Jumat (27/1/2023), Rasmus kembali membakar Alquran di dekat sebuah masjid dan di luar kedutaan Besar Turki di Kopenhagen, Denmark. Terakhir, ia melakukannya pada 21 Januari 2023 lalu di tengah unjuk rasa di Swedia.
Diketahui, Paludan sudah mendapat izin untuk aksi tersebut. Saat ia melakukan pembakaran itu, Swedia tengah berjuang meyakinkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan agar memberi izin bagi Swedia bergabung dengan NATO.
Keputusan untuk mengizinkan pembakaran Alquran tersebut terjadi di tengah hubungan yang tegang antara Swedia dan Turki.
Paludan tidak hanya membakar Alquran dengan izin dari pihak berwenang, namun juga mendapat perlindungan dari petugas polisi yang menjaga.
2. Swedia Mempunyai UU Kebebasan Berekspresi dan Protes
Karena dianggap bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, pemerintah Swedia memberi izin atas tindakan pembakaran Al-Quran yang dilakukan Rasmus Paludan itu.
Diketahui, Swedia mempunyai UU Kebebasan Berekspresi dan Protes. Namun, seharusnya UU tersebut tidak melewati batas hingga dapat menimbulkan kebencian.
Meski pelaku mempunyai hak hukum, polisi semestinya tidak mengizinkan pelaku melakukan penistaaan terhadap suatu agama.
Menurut Ketua Dewan Komunitas Yahudi Swedia Lena Posner-Korosi, hukum perlu ditinjau kembali terkait kebebasan beragama hingga kejahatan rasial terhadap minoritas.
Ia juga mengatakan, Swedia mempunyai masyarakat yang homogen, di mana masyarakat Swedia tidak terbiasa dengan imigran dan minoritas. Saat ada kebencian fisik maupun verbal, tidak jelas apakah pelaku akan dihukum secara definitif.
3. UU Penistaan Agama di Denmark Telah Dicabut Sejak 2017
Denmark pernah mempunyai UU mengenai penistaan agama, sejak 1683. Namun, pada 2017, Undang-undang penistaan agama berusia 334 tahun yang melarang penghinaan publik terhadap suatu agama, seperti pembakaran kitab suci, itu telah dicabut oleh parlemen Denmark.
Atas pencabutan UU tersebut, kasus seorang pria Denmark yang mengunggah video aksinya membakar Al-Quran di media sosial dan akan menghadapi pengadilan penistaan agama pun dibatalkan, pada Juni 2017.
Tidak adanya UU yang membatasi aksi yang menistakan suatu agama, membuat tindakan pembakaran Alquran oleh Rasmus Paludan dibiarkan terjadi, bahkan diberi izin.
(sya)
tulis komentar anda