Keluarga 72 Korban Tragedi Yeti Airlines Terancam Kehilangan Kompensasi Rp1,5 Miliar
Jum'at, 20 Januari 2023 - 23:18 WIB
KATHMANDU - Keluarga yang berduka dari 72 korban tragedi jatuhnya pesawat Yeti Airlines terancam kehilangan kompensasi masing-masing USD100.000 (lebih dari Rp1,5 miliar).
Musababnya, pemerintah Nepal belum meratifikasi aturan penting tentang kewajiban maskapai penerbangan terhadap asuransi.
Pada 15 Januari, sebuah pesawat Yeti Airlines jatuh dan menghantam jurang di dekat bandara yang baru dibangun di Pokhara. Tragedi itu menewaskan 72 penumpang dan awak di dalamnya, termasuk beberapa di antaranya warga asing.
Jatuhnya Yeti Airlines tercatat sebagai bencana udara terburuk di negara itu dalam 30 tahun terakhir.
Mengutip laporan The Kathmandu Post, Jumat (20/1/2023), pada tahun 2020, Nepal menyelesaikan rancangan undang-undang (RUU) tentang sistem tanggung jawab untuk penumpang domestik, dua tahun setelah mengadopsi Konvensi Montreal 1999 yang membuat maskapai bertanggung jawab jika terjadi kematian atau cedera pada penumpang.
RUU pertanggungjawaban maskapai penerbangan dan asuransi itu telah mengusulkan peningkatan kompensasi lima kali lipat jika terjadi kematian atau cedera.
Sesuai undang-undang yang dirancang, maskapai penerbangan domestik harus membayar kompensasi minimal USD100.000 untuk cedera atau kematian penumpang.
Saat ini, lanjut laporan tersebut, kompensasi minimum untuk kematian penumpang maskapai dalam penerbangan domestik di Nepal adalah USD20.000.
RUU tersebut mengatakan bahwa maskapai harus melakukan pembayaran di muka jika dianggap perlu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi segera, dan kesulitan yang diderita, kepada penumpang atau keluarga korban.
Masih menurut RUU tersebut, klaim kompensasi harus diajukan dalam waktu 60 hari sejak kejadian di maskapai atau agennya.
Pejabat Kementerian Pariwisata Nepal mengatakan undang-undang yang diusulkan adalah versi modifikasi dari Konvensi Montreal 1999 karena ada sejumlah klausul yang tidak dapat dipatuhi oleh maskapai penerbangan domestik.
Laporan media lokal menambahkan, RUU tentang tanggung jawab dan asuransi maskapai penerbangan belum mempertimbangkan tanggung jawab atas penundaan penerbangan, termasuk klaim tak terbatas.
“Rancangan undang-undang sudah siap dan kami berencana untuk mengajukannya ke Kabinet,” kata Buddhi Sagar Lamichhana, sekretaris bersama di Kementerian Penerbangan Sipil.
“Setelah Kabinet memberikan lampu hijau, RUU itu akan diajukan ke Parlemen,” ujarnya.
Pejabat kementerian tersebut menyesali seringnya pergantian pemerintahan dan stabilitas politik di Nepal sebagai alasan lambatnya kemajuan RUU tersebut.
Pada hari Selasa, Perdana Menteri Pushpa Kamal Dahal menunjuk Sudan Kiranti sebagai menteri pariwisata yang baru.
Pesawat Yeti Airlines diasuransikan oleh Perusahaan Asuransi Himalayan Everest, yang mengatakan keluarga korban mungkin tidak perlu menunggu lama untuk menerima kompensasi.
Niraj Pradhan, manajer senior di departemen underwriting Himalayan Everest Insurance Company, mengatakan surveyor independen yang dikirim oleh perusahaan reasuransi ke luar negeri sudah mulai bekerja untuk menaksir kerusakan.
“Mungkin tidak butuh banyak waktu bagi anggota keluarga untuk menerima uang mereka, tetapi butuh waktu lama untuk menyelesaikan klaim pesawat tersebut,” kata Pradhan.
“Kami menyelesaikan klaim yang timbul dari kecelakaan Tara Air Mei lalu dalam waktu tiga bulan,” imbuh Pradhan.
Sudarsan Bartaula, juru bicara Yeti Airlines, mengatakan dia mengharapkan pembayaran akan dimulai dalam waktu satu bulan setelah laporan post-mortem.
Menurut badan penerbangan sipil Nepal, 914 orang tewas dalam kecelakaan udara di negara itu sejak bencana pertama dilaporkan pada Agustus 1955.
Operator domestik Nepal, imbuh badan itu, menerbangkan lebih dari 4 juta penumpang setiap tahun.
Musababnya, pemerintah Nepal belum meratifikasi aturan penting tentang kewajiban maskapai penerbangan terhadap asuransi.
Pada 15 Januari, sebuah pesawat Yeti Airlines jatuh dan menghantam jurang di dekat bandara yang baru dibangun di Pokhara. Tragedi itu menewaskan 72 penumpang dan awak di dalamnya, termasuk beberapa di antaranya warga asing.
Jatuhnya Yeti Airlines tercatat sebagai bencana udara terburuk di negara itu dalam 30 tahun terakhir.
Mengutip laporan The Kathmandu Post, Jumat (20/1/2023), pada tahun 2020, Nepal menyelesaikan rancangan undang-undang (RUU) tentang sistem tanggung jawab untuk penumpang domestik, dua tahun setelah mengadopsi Konvensi Montreal 1999 yang membuat maskapai bertanggung jawab jika terjadi kematian atau cedera pada penumpang.
RUU pertanggungjawaban maskapai penerbangan dan asuransi itu telah mengusulkan peningkatan kompensasi lima kali lipat jika terjadi kematian atau cedera.
Sesuai undang-undang yang dirancang, maskapai penerbangan domestik harus membayar kompensasi minimal USD100.000 untuk cedera atau kematian penumpang.
Saat ini, lanjut laporan tersebut, kompensasi minimum untuk kematian penumpang maskapai dalam penerbangan domestik di Nepal adalah USD20.000.
RUU tersebut mengatakan bahwa maskapai harus melakukan pembayaran di muka jika dianggap perlu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi segera, dan kesulitan yang diderita, kepada penumpang atau keluarga korban.
Masih menurut RUU tersebut, klaim kompensasi harus diajukan dalam waktu 60 hari sejak kejadian di maskapai atau agennya.
Pejabat Kementerian Pariwisata Nepal mengatakan undang-undang yang diusulkan adalah versi modifikasi dari Konvensi Montreal 1999 karena ada sejumlah klausul yang tidak dapat dipatuhi oleh maskapai penerbangan domestik.
Laporan media lokal menambahkan, RUU tentang tanggung jawab dan asuransi maskapai penerbangan belum mempertimbangkan tanggung jawab atas penundaan penerbangan, termasuk klaim tak terbatas.
“Rancangan undang-undang sudah siap dan kami berencana untuk mengajukannya ke Kabinet,” kata Buddhi Sagar Lamichhana, sekretaris bersama di Kementerian Penerbangan Sipil.
“Setelah Kabinet memberikan lampu hijau, RUU itu akan diajukan ke Parlemen,” ujarnya.
Pejabat kementerian tersebut menyesali seringnya pergantian pemerintahan dan stabilitas politik di Nepal sebagai alasan lambatnya kemajuan RUU tersebut.
Pada hari Selasa, Perdana Menteri Pushpa Kamal Dahal menunjuk Sudan Kiranti sebagai menteri pariwisata yang baru.
Pesawat Yeti Airlines diasuransikan oleh Perusahaan Asuransi Himalayan Everest, yang mengatakan keluarga korban mungkin tidak perlu menunggu lama untuk menerima kompensasi.
Niraj Pradhan, manajer senior di departemen underwriting Himalayan Everest Insurance Company, mengatakan surveyor independen yang dikirim oleh perusahaan reasuransi ke luar negeri sudah mulai bekerja untuk menaksir kerusakan.
“Mungkin tidak butuh banyak waktu bagi anggota keluarga untuk menerima uang mereka, tetapi butuh waktu lama untuk menyelesaikan klaim pesawat tersebut,” kata Pradhan.
“Kami menyelesaikan klaim yang timbul dari kecelakaan Tara Air Mei lalu dalam waktu tiga bulan,” imbuh Pradhan.
Sudarsan Bartaula, juru bicara Yeti Airlines, mengatakan dia mengharapkan pembayaran akan dimulai dalam waktu satu bulan setelah laporan post-mortem.
Menurut badan penerbangan sipil Nepal, 914 orang tewas dalam kecelakaan udara di negara itu sejak bencana pertama dilaporkan pada Agustus 1955.
Operator domestik Nepal, imbuh badan itu, menerbangkan lebih dari 4 juta penumpang setiap tahun.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda