Potret Kehidupan Ngeri di Kongo, Perkosaan Nyaris Tiap Jam
A
A
A
BRAZZAVILLE - Republik Demokratik Kongo (DRC) dianggap sebagai negara terburuk bagi wanita untuk tahun 2014. Perkosaan yang nyaris terjadi setiap jam menjadi salah satu potret mengerikan di negara Afrika Tengah tersebut.
Bahkan, laporan Caritas Australia-- kelompok anti-kekerasan terhadap perempuan--, menyebut menjadi wanita di Kongo lebih berisiko ketimbang menjadi tentara. Kelompok itu merilis laporan tepat di Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Dalam laporannya berjudul “Fearless Voices”, Caritas Australia mengungkap data statistic yang mengejutkan. Di mana, diperkirakan 48 perempuan diperkosa di negara itu setiap jamnya.
Potret kengerian lainnya, adalah kasus pemaksaan gadis menjadi pelacur, wanita diperkosa tentara dan penyalahgunaan para ibu.
Lulu Mistshabu koordinator kelompok Caritas Australia, yang melarikan diri dari DRC, dalam penelitiannya telah mewawancarai para wanita dari Provinsi North Kivu, wilayah DRC yang dilanda perang.
”Lebih dari 50 wanita diwawancarai dan mereka semua mengatakan hal yang sama, bahwa kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan terus meningkat,” katanya.
Pelaku Jalan-jalan
Salah satu kasus miris yang diungkap Mitshabu, misalnya, seorang gadis yatim piatu berusia 11 tahun, diperkosa oleh tetangga ketika dia tinggal bersama neneknya. Parahnya, para tetangga menutupi kejahatan itu dan mengarang cerita bahwa gadis kecil itu telah jatuh dari pohon.
”Pelaku (perkosaan) hanya berjalan-jalan tanpa takut sama sekali,” kata Mitshabu. Ketika kelompok Caritas mendesak polisi menyelidiki kasus itu, nenek korban justru diancam. ”Keluarga pelaku datang dan meneror nenek, dan mencoba untuk memaksa dia untuk mencabut aduan,” lanjut Mitshabu. ”Begitu banyak orang hidup dengan rasa takut.”
Pada Mei 2013, Mitshabu bertemu dengan seorang wanita muda yang diculik dan dipaksa melacur. ”Untuk lebih dari sebulan, dia diperkosa oleh penculiknya dan dipaksa untuk memasak dan merawat mereka,” ujarnya, seperti dikutip news.com.au, Rabu (26/11/2014).
”Dia akhirnya melarikan diri, hamil, tanpa keluarga dan tanpa dukungan. Pelaku nya tidak pernah dikenai tindakan hukum. Mereka tetap bebas untuk melakukan kekejaman yang sama di negara yang mentolerir pelecehan seksual.”
Bahkan, laporan Caritas Australia-- kelompok anti-kekerasan terhadap perempuan--, menyebut menjadi wanita di Kongo lebih berisiko ketimbang menjadi tentara. Kelompok itu merilis laporan tepat di Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Dalam laporannya berjudul “Fearless Voices”, Caritas Australia mengungkap data statistic yang mengejutkan. Di mana, diperkirakan 48 perempuan diperkosa di negara itu setiap jamnya.
Potret kengerian lainnya, adalah kasus pemaksaan gadis menjadi pelacur, wanita diperkosa tentara dan penyalahgunaan para ibu.
Lulu Mistshabu koordinator kelompok Caritas Australia, yang melarikan diri dari DRC, dalam penelitiannya telah mewawancarai para wanita dari Provinsi North Kivu, wilayah DRC yang dilanda perang.
”Lebih dari 50 wanita diwawancarai dan mereka semua mengatakan hal yang sama, bahwa kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan terus meningkat,” katanya.
Pelaku Jalan-jalan
Salah satu kasus miris yang diungkap Mitshabu, misalnya, seorang gadis yatim piatu berusia 11 tahun, diperkosa oleh tetangga ketika dia tinggal bersama neneknya. Parahnya, para tetangga menutupi kejahatan itu dan mengarang cerita bahwa gadis kecil itu telah jatuh dari pohon.
”Pelaku (perkosaan) hanya berjalan-jalan tanpa takut sama sekali,” kata Mitshabu. Ketika kelompok Caritas mendesak polisi menyelidiki kasus itu, nenek korban justru diancam. ”Keluarga pelaku datang dan meneror nenek, dan mencoba untuk memaksa dia untuk mencabut aduan,” lanjut Mitshabu. ”Begitu banyak orang hidup dengan rasa takut.”
Pada Mei 2013, Mitshabu bertemu dengan seorang wanita muda yang diculik dan dipaksa melacur. ”Untuk lebih dari sebulan, dia diperkosa oleh penculiknya dan dipaksa untuk memasak dan merawat mereka,” ujarnya, seperti dikutip news.com.au, Rabu (26/11/2014).
”Dia akhirnya melarikan diri, hamil, tanpa keluarga dan tanpa dukungan. Pelaku nya tidak pernah dikenai tindakan hukum. Mereka tetap bebas untuk melakukan kekejaman yang sama di negara yang mentolerir pelecehan seksual.”
(mas)