RI Tolak Penggunaan Hak Veto DK PBB atas Kekejaman Massal
A
A
A
NEW YORK - Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (RI), Marty Natalegawa, menegaskan, Indonesia menolak penggunaan hak veto oleh anggota-anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB atas kasus kekejaman massal.
“Hingga hari ini, posisi tersebut belum berubah,” kata Menteri Marty, dalam pertemuan tingkat menteri bertajuk “Pengaturan Hak Veto terhadap Kekejaman Massal” yang digelar oleh Prancis dan Meksiko.
Sebanyak 32 negara berpartisipasi di dalam pertemuan pada 25 September 2014 ini. Sekitar 26 negara di antaranya, termasuk Indonesia, diwakili oleh pejabat tingkat menteri.
Pertemuan diketuai Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius dan Menteri Luar Negeri Meksiko, Jose Antonio Meade.
”Hak veto adalah anakronistik dan harus dihapus sepenuhnya,” ujar Marty, dalam siaran pers yang diterimaSindonews, Sabtu (27/9/2014).
Kendati demikian, Marty menyadari ada tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut.
Menteri Marty mendukung inisiatif Prancis terkait pembentukancode of conductpenggunaan hak veto di antara negara-negara anggota tetap DK PBB, sebagai langkah awal untuk memperkuat kredibilitas dan efektivitas kerja organisasi PBB terkait.
“Hingga hari ini, posisi tersebut belum berubah,” kata Menteri Marty, dalam pertemuan tingkat menteri bertajuk “Pengaturan Hak Veto terhadap Kekejaman Massal” yang digelar oleh Prancis dan Meksiko.
Sebanyak 32 negara berpartisipasi di dalam pertemuan pada 25 September 2014 ini. Sekitar 26 negara di antaranya, termasuk Indonesia, diwakili oleh pejabat tingkat menteri.
Pertemuan diketuai Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius dan Menteri Luar Negeri Meksiko, Jose Antonio Meade.
”Hak veto adalah anakronistik dan harus dihapus sepenuhnya,” ujar Marty, dalam siaran pers yang diterimaSindonews, Sabtu (27/9/2014).
Kendati demikian, Marty menyadari ada tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut.
Menteri Marty mendukung inisiatif Prancis terkait pembentukancode of conductpenggunaan hak veto di antara negara-negara anggota tetap DK PBB, sebagai langkah awal untuk memperkuat kredibilitas dan efektivitas kerja organisasi PBB terkait.
(mas)