24 juta rakyat Korut bak hidup tanpa mulut & telinga
A
A
A
Sindonews.com – Pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara (Korut) diulas dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (29/4/2014). Ulasan itu menghadirkan pengungsi Korut yang berhasil melarikan diri, pelapor khusus PBB, peneliti LIPI dan mantan pejabat Korea Selatan.
Mantan pejabat Korsel yang hadir adalah mantan Wakil Menteri Kementerian Reunifikasi Korsel, Kim Seok Woo. Dalam seminar bertajuk “Jalan Panjang Penegakan dan Penghormatan HAM di Korea Utara” di gedung LIPI, Kim merasa terharu dan salut Indonesia memfasilitasi seminar itu.
Menurutnya, sebelum tahun 1990-an, masyarakat internasional tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Korsel. Di negara pimpinan Kim Jong-un itu, 24 juta rakyat hidup tanpa boleh mengkritik dan terisolasi dari informasi luar Korut. ”24 juta rakyat Korut seperti hidup tanpa mulut dan telinga,” katanya.
Rezim Pyongyang tidak memberi kesempatan bagi rakyatnya untuk memberikan saran kepada pemerintah. Bahkan jika berani mengkritik, mereka akan mendapat ganjaran setimpal.”Jika dikritik sedikit, mereka disekap dan dimasukkan ke penjara politik. Beberapa di antara mereka dieksekusi mati secara terbuka,” lanjut Kim.
Sebelum tahun 1990-an, masyarakat internasional juga tidak mengetahui adanya warga Korut yang lari dan mengungsi ke Korsel. Karena, jumlahnya kala itu baru sekitar 10 orang per tahun. Namun, pada pertengahan tahun 1990-an pengungsian besar-besaran terjadi. “Karena tidak tahan, jutaaan orang mati kelaparan, kebanyakan mereka melarikan diri ke China,” imbuh Kim.
Keterangan itu dibenarkan Hye Sook Kim, warga Korut yang berhasil selamat setelah melarikan diri Korea Utara tahun 2003. Hye pernah menghuni kamp tahanan politik nomor 18 selama 28 tahun. Berbagai pengalaman pahitnya itu juga dia tuangkan dalam lukisan tentang jalur dan kamp-kamp tahanan politiK di Korut.
Mantan pejabat Korsel yang hadir adalah mantan Wakil Menteri Kementerian Reunifikasi Korsel, Kim Seok Woo. Dalam seminar bertajuk “Jalan Panjang Penegakan dan Penghormatan HAM di Korea Utara” di gedung LIPI, Kim merasa terharu dan salut Indonesia memfasilitasi seminar itu.
Menurutnya, sebelum tahun 1990-an, masyarakat internasional tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Korsel. Di negara pimpinan Kim Jong-un itu, 24 juta rakyat hidup tanpa boleh mengkritik dan terisolasi dari informasi luar Korut. ”24 juta rakyat Korut seperti hidup tanpa mulut dan telinga,” katanya.
Rezim Pyongyang tidak memberi kesempatan bagi rakyatnya untuk memberikan saran kepada pemerintah. Bahkan jika berani mengkritik, mereka akan mendapat ganjaran setimpal.”Jika dikritik sedikit, mereka disekap dan dimasukkan ke penjara politik. Beberapa di antara mereka dieksekusi mati secara terbuka,” lanjut Kim.
Sebelum tahun 1990-an, masyarakat internasional juga tidak mengetahui adanya warga Korut yang lari dan mengungsi ke Korsel. Karena, jumlahnya kala itu baru sekitar 10 orang per tahun. Namun, pada pertengahan tahun 1990-an pengungsian besar-besaran terjadi. “Karena tidak tahan, jutaaan orang mati kelaparan, kebanyakan mereka melarikan diri ke China,” imbuh Kim.
Keterangan itu dibenarkan Hye Sook Kim, warga Korut yang berhasil selamat setelah melarikan diri Korea Utara tahun 2003. Hye pernah menghuni kamp tahanan politik nomor 18 selama 28 tahun. Berbagai pengalaman pahitnya itu juga dia tuangkan dalam lukisan tentang jalur dan kamp-kamp tahanan politiK di Korut.
(mas)