Miskin, perempuan Kenya barter ikan dengan bercumbu
A
A
A
Sindonews.com – Potret kemiskinan di Luo, Kenya sangat memprihatinkan. Saking miskinnya, para perempuan daerah itu barter ikan dari nelayan dengan bercumbu, karena tidak mempunyai uang.
Praktik barter ikan yang memiriskan itu, dikenal dalam bahasa daerah Luo dengan istilah “Jaboya”.
Lucy Odhiambo, 35, seorang janda dari lima anak yang hidup miskin di Luo, mengungkapkan praktik barter ikan tersebut. Menurutnya, para perempuan di Luo tidak berdaya, karena miskin. ”Saya dipaksa untuk membayar ikan dengan bercumbu, karena saya tidak punya cara yang lain,” kata Odhiambo, kepada BBC, Senin (17/2/2014) .
”Biasanya saya tidur dengan satu atau dua nelayan seminggu sekali. Saya bisa terkena penyakit, tapi saya tidak punya pilihan lain. Saya mempunyai anak-anak yang harus bersekolah,” keluh dia.
“Jaboya adalah sebuah praktik yang jahat,” katanya lagi. Data pemerintah daerah setempat menyebut, kasus HIV di Luo meningkat hampir 15 persen atau dua kali lipat dari angka rata-rata nasional. Pemicu peningkatan kasus HIV terbesar, salah satunya dari Jaboya tersebut.
Namun, praktik seperti itu mulai perangi para aktivis setempat. Agnes Auma, salah satunya. Dia memiliki perahu di Danau Victoria, Kenya. Dia juga memperkerjakan nelayan.Aktivitas perempuan Kenya itu dibiayai badan amal setempat yang disebut Vired yang didukung kelompok Peace Corps Amerika Serikat.
Berkat aktivis itu, para perempuan Kenya yang hidup miskin direkrut menjadi nelayan untuk meninggalkan praktik barter yang memiriskan. ”Aku melihat dia akan mati, menyerahkan tubuhnya demi ikan dari saya. Saya tidak bisa melanjutkan praktik seperti itu,” kata Auma.
Dia lantas merekrut para perempuan miskin itu menjadi pegawainya.”Saya sangat senang dan bangga, bahwa nelayan saya seorang nelayan perempuan yang kuat,” imbuh dia sambil tersenyum.
Praktik barter ikan yang memiriskan itu, dikenal dalam bahasa daerah Luo dengan istilah “Jaboya”.
Lucy Odhiambo, 35, seorang janda dari lima anak yang hidup miskin di Luo, mengungkapkan praktik barter ikan tersebut. Menurutnya, para perempuan di Luo tidak berdaya, karena miskin. ”Saya dipaksa untuk membayar ikan dengan bercumbu, karena saya tidak punya cara yang lain,” kata Odhiambo, kepada BBC, Senin (17/2/2014) .
”Biasanya saya tidur dengan satu atau dua nelayan seminggu sekali. Saya bisa terkena penyakit, tapi saya tidak punya pilihan lain. Saya mempunyai anak-anak yang harus bersekolah,” keluh dia.
“Jaboya adalah sebuah praktik yang jahat,” katanya lagi. Data pemerintah daerah setempat menyebut, kasus HIV di Luo meningkat hampir 15 persen atau dua kali lipat dari angka rata-rata nasional. Pemicu peningkatan kasus HIV terbesar, salah satunya dari Jaboya tersebut.
Namun, praktik seperti itu mulai perangi para aktivis setempat. Agnes Auma, salah satunya. Dia memiliki perahu di Danau Victoria, Kenya. Dia juga memperkerjakan nelayan.Aktivitas perempuan Kenya itu dibiayai badan amal setempat yang disebut Vired yang didukung kelompok Peace Corps Amerika Serikat.
Berkat aktivis itu, para perempuan Kenya yang hidup miskin direkrut menjadi nelayan untuk meninggalkan praktik barter yang memiriskan. ”Aku melihat dia akan mati, menyerahkan tubuhnya demi ikan dari saya. Saya tidak bisa melanjutkan praktik seperti itu,” kata Auma.
Dia lantas merekrut para perempuan miskin itu menjadi pegawainya.”Saya sangat senang dan bangga, bahwa nelayan saya seorang nelayan perempuan yang kuat,” imbuh dia sambil tersenyum.
(mas)