Kisah WNI jadi korban perdagangan manusia di AS
A
A
A
Sindonews.com – Wanita itu bernama Shandra Woworuntu. Dia adalah warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia saat mengadu nasib di negeri Paman Sam itu.
Kisah pilu itu dia alami pada tahun 2001 di New York. Kepada VOA, Sandra menceritakan kisah tersebut. ”Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,” ujarnya dalam wawancara yang dilansir media AS itu, Senin (3/2/2014).
Wanita itu tertarik mengabdi nasib di AS, setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Dia pernah menjadi analis keuangan di sebuah bank di Indonesia. Namun, dia diberhentikan saat Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1998.
Selepas dari pekerjaan itu, dia melihat iklan lowongan pekerjaan di media Tanah Air. Shandra kemudian menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya.
Dia mengaku membayar Rp 30 juta untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Berbekal berbagai dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, di sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke AS.
”Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya lagi,” ujar wanita dengan dua anak itu.
Tapi, fakta tidak seperti yang dia impikan. Agensi yang menjemputnya di bandar udara John F. Kennedy di New York, menyatakan, dia tidak bisa langsung berangkat ke Chicago karena sudah malam sehingga harus menginap.
”Di situlah saya dipindah tangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian,” ujarnya.
Shandra, yang tiba di New York pada awal Juni 2001, akhirnya berhasil melarikan diri dengan melompat dari jendela sebuah kamar mandi hotel pada awal musim dingin tahun yang sama. Dia lantas menghubungi nomor telepon yang diperolehnya dari seorang perempuan yang dia kenal dalam lingkungan sindikat perdagangan manusia itu.
Tapi, parahnya, pimpinan sindikat perdagangan manusia berikutnya yang dia hadapai ini justru warga Indonesia sendiri.
”Ini memang jaringan. Yang penghabisan, atau kelima ini adalah warga Indonesia. Singkat cerita ia mau menjual atau 'pakai' saya dalam kaitan yang tidak bagus jadi saya kemudian kabur lagi,” ujarnya.
”Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani.”
Kisah pilu itu dia alami pada tahun 2001 di New York. Kepada VOA, Sandra menceritakan kisah tersebut. ”Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,” ujarnya dalam wawancara yang dilansir media AS itu, Senin (3/2/2014).
Wanita itu tertarik mengabdi nasib di AS, setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Dia pernah menjadi analis keuangan di sebuah bank di Indonesia. Namun, dia diberhentikan saat Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1998.
Selepas dari pekerjaan itu, dia melihat iklan lowongan pekerjaan di media Tanah Air. Shandra kemudian menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya.
Dia mengaku membayar Rp 30 juta untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Berbekal berbagai dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, di sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke AS.
”Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya lagi,” ujar wanita dengan dua anak itu.
Tapi, fakta tidak seperti yang dia impikan. Agensi yang menjemputnya di bandar udara John F. Kennedy di New York, menyatakan, dia tidak bisa langsung berangkat ke Chicago karena sudah malam sehingga harus menginap.
”Di situlah saya dipindah tangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian,” ujarnya.
Shandra, yang tiba di New York pada awal Juni 2001, akhirnya berhasil melarikan diri dengan melompat dari jendela sebuah kamar mandi hotel pada awal musim dingin tahun yang sama. Dia lantas menghubungi nomor telepon yang diperolehnya dari seorang perempuan yang dia kenal dalam lingkungan sindikat perdagangan manusia itu.
Tapi, parahnya, pimpinan sindikat perdagangan manusia berikutnya yang dia hadapai ini justru warga Indonesia sendiri.
”Ini memang jaringan. Yang penghabisan, atau kelima ini adalah warga Indonesia. Singkat cerita ia mau menjual atau 'pakai' saya dalam kaitan yang tidak bagus jadi saya kemudian kabur lagi,” ujarnya.
”Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani.”
(mas)