Langgar Jam Malam, Puluhan Wanita Dipaksa Gosokkan Lumpur di Kemaluan
A
A
A
ELEGU - Para polisi di Uganda menghukum puluhan wanita dengan penyiksaan yang memalukan karena melanggar jam malam yang diberlakukan untuk mencegah penyebaran coronavirus disease-19 (COVID-19). Mereka yang dihukum dipaksa menggosokkan lumpur pada organ kemaluan.
Kejadian itu berlangsung pada 2 April di Kota Elegu utara yang berbatasan dengan Sudan Selatan. Tanggal itu adalah sehari setelah aturan jam malam diberlakukan.
Pengadilan di Uganda pada Selasa (7/4/2020) mendakwa 10 petugas polisi dengan "penyiksaan yang diperburuk".
Para petugas polisi muncul di depan pengadilan di dekat Gulu pada hari Selasa dan diperintahkan ditahan sampai 7 Mei. Demikian pernyataan Kepolisian Uganda di akun Twitter mereka sebagaimana dikutip ABS-CBN News, Rabu (8/4/2020).
Pada hari Senin lalu, juru bicara polisi setempat; Fred Enanga, telah mengumumkan penyelidikan gabungan dengan tentara terkait dugaan "penyiksaan yang diperburuk" terhadap beberapa wanita dan beberapa pria yang dituduh melanggar perintah jam malam dan larangan pertemuan di ruang publik.
Dia mengatakan pasukan keamanan telah menggunakan "pendekatan kasar" untuk membubarkan 31 wanita, yang digambarkan oleh Uganda Radio Network sebagai pekerja seks, dan tujuh pria.
"Para petugas patroli menendang pintu hingga terbuka dan menyeret penghuninya, dan beberapa jatuh di permukaan berlumpur. Beberapa wanita rentan dan beberapa pria terluka dalam proses itu,"kata Enanga.
Menurutnya, para korban melaporkan insiden itu kepada mucikari mereka, Beatrice Auma, yang mengambil foto luka-luka mereka. "Gambar-gambar itu menyebar," katanya.
Luka-luka itu termasuk luka pada paha dan pantat wanita yang diduga karena dicambuk. Cambuk diketahui menjadi praktik hukuman yang digunakan pasukan keamanan Uganda.
Auma mengatakan kepada wartawan setempat bahwa petugas polisi memaksa para wanita untuk berguling-guling di lumpur dan menggosok lumpur pada alat kelamin mereka. Menurut Enanga, tujuh pria diduga diserang oleh pasukan keamanan dalam insiden yang sama, dan satu di rumah sakit militer dengan "cedera signifikan".
Pada 2 April, Human Rights Watch menuduh pasukan patroli keamanan Uganda menggunakan "kekuatan berlebihan, termasuk memukul, menembak, dan secara sewenang-wenang menahan orang-orang di seluruh negeri" dalam menegakkan social distancing dan lockdown.
Kejadian itu berlangsung pada 2 April di Kota Elegu utara yang berbatasan dengan Sudan Selatan. Tanggal itu adalah sehari setelah aturan jam malam diberlakukan.
Pengadilan di Uganda pada Selasa (7/4/2020) mendakwa 10 petugas polisi dengan "penyiksaan yang diperburuk".
Para petugas polisi muncul di depan pengadilan di dekat Gulu pada hari Selasa dan diperintahkan ditahan sampai 7 Mei. Demikian pernyataan Kepolisian Uganda di akun Twitter mereka sebagaimana dikutip ABS-CBN News, Rabu (8/4/2020).
Pada hari Senin lalu, juru bicara polisi setempat; Fred Enanga, telah mengumumkan penyelidikan gabungan dengan tentara terkait dugaan "penyiksaan yang diperburuk" terhadap beberapa wanita dan beberapa pria yang dituduh melanggar perintah jam malam dan larangan pertemuan di ruang publik.
Dia mengatakan pasukan keamanan telah menggunakan "pendekatan kasar" untuk membubarkan 31 wanita, yang digambarkan oleh Uganda Radio Network sebagai pekerja seks, dan tujuh pria.
"Para petugas patroli menendang pintu hingga terbuka dan menyeret penghuninya, dan beberapa jatuh di permukaan berlumpur. Beberapa wanita rentan dan beberapa pria terluka dalam proses itu,"kata Enanga.
Menurutnya, para korban melaporkan insiden itu kepada mucikari mereka, Beatrice Auma, yang mengambil foto luka-luka mereka. "Gambar-gambar itu menyebar," katanya.
Luka-luka itu termasuk luka pada paha dan pantat wanita yang diduga karena dicambuk. Cambuk diketahui menjadi praktik hukuman yang digunakan pasukan keamanan Uganda.
Auma mengatakan kepada wartawan setempat bahwa petugas polisi memaksa para wanita untuk berguling-guling di lumpur dan menggosok lumpur pada alat kelamin mereka. Menurut Enanga, tujuh pria diduga diserang oleh pasukan keamanan dalam insiden yang sama, dan satu di rumah sakit militer dengan "cedera signifikan".
Pada 2 April, Human Rights Watch menuduh pasukan patroli keamanan Uganda menggunakan "kekuatan berlebihan, termasuk memukul, menembak, dan secara sewenang-wenang menahan orang-orang di seluruh negeri" dalam menegakkan social distancing dan lockdown.
(mas)