Dampak Wabah Corona, India Terancam Hadapi Krisis Pangan
A
A
A
MUMBAI - Seiring dengan diberlakukannya lockdown secara nasional, India terancam menghadapi krisis pangan. Pasalnya, hampir seluruh pedagang, petani, dan peternak, telah kehilangan semangat bisnis dan menghentikan operasi.
Pada akhir Maret silam, pasar bawang di Lasangaon, Maharashtra, sepi penjual dan pembeli. Padahal, biasanya pasar bawang terbesar di Asia itu selalu ramai dikunjungi orang, baik oleh pembeli, petani, maupun pedagang. Namun kini, sebagian besar dari mereka memilih menutup bisnis dan mudik ke kampung.
Pasar tersebut lumpuh setidaknya dalam sepekan terakhir atau sejak pemerintah India memberlakukan lockdown selama 21 hari. Dengan kondisi seperti itu, jutaan warga India yang merantau di kota besar justru melakukan eksodus besar-besaran setelah transportasi umum, baik bus, kereta, maupun pesawat ditutup.
Pada awal lockdown, para petani masih bersemangat pergi ke lahan perkebunan, mengingat layanan mereka sangat esensial selama masa lockdown. Namun, setelah seseorang di kalangan mereka positif terinfeksi Covid-19, para petani menjadi panik dan ketakutan. Akibatnya, sekitar 450 ton bawang terdampar.
“Kami tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pertama, truk tidak lagi datang ke sini untuk mengangkut bawang. Kedua, para buruh melarikan diri. Ketiga, ada di antara kami yang terjangkit Covid-19. Akhirnya semua petani kabur,” kata pedagang bawang Manoj Jain, dilansir BBC. “Jaga jarak juga tidak mudah dipraktikan.” (Baca: Jika Warga Tak Patuh, India Ancam Perpanjang Lockdown)
Sekitar 1.700 kilometer ke arah timur, seorang petani mengaku menghadapi situasi serupa. Manuwant Chowdhary yang dikenal sebagai juragan padi, sayuran, buah-buahan, dan ternak, mengatakan seluruh buruhnya menolak bekerja, sekalipun mereka tinggal di dekat perkebunannya yang mencapai hingga 30 hektare.
“Mereka semua takut, bahkan untuk menyeberangi jalan raya sekalipun tidak berani,” ujar Chowdhary. “Di sini banyak sekali stigma dan berita palsu terkait Covid-19 sehingga warga kampung benar-benar menghentikan aktivitas. Selain itu, kami memang kesulitan menjaga jarak ketika bekerja di lahan perkebunan.”
Dengan kondisi ini, petani India tidak hanya terancam menderita, tapi juga mengalami krisis ketahanan pangan. Sebab, lebih dari separuh warga India bekerja di bidang pertanian dengan produk unggulan padi, gandum, gula, dan katun. Sekitar 16% produk domestik bruto (PDB) India juga bersumber dari pertanian.
Wabah Covid-19 dan kebijakan lockdown juga terjadi pada waktu yang tidak tepat. Faktanya, puncak panen produk unggulan pertanian India, mulai padi hingga gandum, terjadi antara April hingga Juni. Begitupun dengan puncak panen buah-buahan. Para ahli menilai, dampak Covid-19 sangat besar bagi para petani.
“Ironisnya, mereka sebelumnya sedang berjuang mengingat harga produk pertanian sedang jatuh,” ujar Associate Professor Ilmu Sosial dan Antropologi Mekhala Krishnamurthy dari Universitas Ashoka. Sekitar 200.000 petani India telah bunuh diri sejak 1997 akibat kemiskinan, utang, dan tingginya tingkat gagal panen. (Baca juga: Lockdown COVID-19 Kacau, PM India Minta Maaf ke Warga Miskin)
Pemerintah India mengumumkan akan menggelontorkan dana bantuan sekitar USD23 miliar untuk ketahanan pangan dan warga miskin. Namun, nilai itu dianggap tidak memadai. Beberapa pemerintah daerah juga berupaya membantu para petani. Salah satunya dengan meminjamkan peralatan, seperti traktor gratis.
“Tantangan terbesarnya ialah, apakah pemerintah dapat meyakinkan para petani untuk kembali bekerja? Jika prospeknya buruk, pendapatan para petani akan terus merosot,” kata Krishnamurthy. “Saat ini, pemerintah India harus mampu menjamin rantai pasokan tidak terputus dan kebutuhan masyarakat terpenuhi.” (Muh Shamil)
Pada akhir Maret silam, pasar bawang di Lasangaon, Maharashtra, sepi penjual dan pembeli. Padahal, biasanya pasar bawang terbesar di Asia itu selalu ramai dikunjungi orang, baik oleh pembeli, petani, maupun pedagang. Namun kini, sebagian besar dari mereka memilih menutup bisnis dan mudik ke kampung.
Pasar tersebut lumpuh setidaknya dalam sepekan terakhir atau sejak pemerintah India memberlakukan lockdown selama 21 hari. Dengan kondisi seperti itu, jutaan warga India yang merantau di kota besar justru melakukan eksodus besar-besaran setelah transportasi umum, baik bus, kereta, maupun pesawat ditutup.
Pada awal lockdown, para petani masih bersemangat pergi ke lahan perkebunan, mengingat layanan mereka sangat esensial selama masa lockdown. Namun, setelah seseorang di kalangan mereka positif terinfeksi Covid-19, para petani menjadi panik dan ketakutan. Akibatnya, sekitar 450 ton bawang terdampar.
“Kami tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pertama, truk tidak lagi datang ke sini untuk mengangkut bawang. Kedua, para buruh melarikan diri. Ketiga, ada di antara kami yang terjangkit Covid-19. Akhirnya semua petani kabur,” kata pedagang bawang Manoj Jain, dilansir BBC. “Jaga jarak juga tidak mudah dipraktikan.” (Baca: Jika Warga Tak Patuh, India Ancam Perpanjang Lockdown)
Sekitar 1.700 kilometer ke arah timur, seorang petani mengaku menghadapi situasi serupa. Manuwant Chowdhary yang dikenal sebagai juragan padi, sayuran, buah-buahan, dan ternak, mengatakan seluruh buruhnya menolak bekerja, sekalipun mereka tinggal di dekat perkebunannya yang mencapai hingga 30 hektare.
“Mereka semua takut, bahkan untuk menyeberangi jalan raya sekalipun tidak berani,” ujar Chowdhary. “Di sini banyak sekali stigma dan berita palsu terkait Covid-19 sehingga warga kampung benar-benar menghentikan aktivitas. Selain itu, kami memang kesulitan menjaga jarak ketika bekerja di lahan perkebunan.”
Dengan kondisi ini, petani India tidak hanya terancam menderita, tapi juga mengalami krisis ketahanan pangan. Sebab, lebih dari separuh warga India bekerja di bidang pertanian dengan produk unggulan padi, gandum, gula, dan katun. Sekitar 16% produk domestik bruto (PDB) India juga bersumber dari pertanian.
Wabah Covid-19 dan kebijakan lockdown juga terjadi pada waktu yang tidak tepat. Faktanya, puncak panen produk unggulan pertanian India, mulai padi hingga gandum, terjadi antara April hingga Juni. Begitupun dengan puncak panen buah-buahan. Para ahli menilai, dampak Covid-19 sangat besar bagi para petani.
“Ironisnya, mereka sebelumnya sedang berjuang mengingat harga produk pertanian sedang jatuh,” ujar Associate Professor Ilmu Sosial dan Antropologi Mekhala Krishnamurthy dari Universitas Ashoka. Sekitar 200.000 petani India telah bunuh diri sejak 1997 akibat kemiskinan, utang, dan tingginya tingkat gagal panen. (Baca juga: Lockdown COVID-19 Kacau, PM India Minta Maaf ke Warga Miskin)
Pemerintah India mengumumkan akan menggelontorkan dana bantuan sekitar USD23 miliar untuk ketahanan pangan dan warga miskin. Namun, nilai itu dianggap tidak memadai. Beberapa pemerintah daerah juga berupaya membantu para petani. Salah satunya dengan meminjamkan peralatan, seperti traktor gratis.
“Tantangan terbesarnya ialah, apakah pemerintah dapat meyakinkan para petani untuk kembali bekerja? Jika prospeknya buruk, pendapatan para petani akan terus merosot,” kata Krishnamurthy. “Saat ini, pemerintah India harus mampu menjamin rantai pasokan tidak terputus dan kebutuhan masyarakat terpenuhi.” (Muh Shamil)
(ysw)