Bagi Manula di Italia, Kesepian Lebih Menakutkan Dibanding Virus
A
A
A
ROMA - Rumah Renata Cafferata di Lavagna, terletak di sebuah kota pantai kecil berpenduduk sekitar 12 ribu orang di barat laut Italia. Wanita berusia 87 tahun itu, sehari-sehari biasa bertemu dengan teman sebayanya untuk meninkmati secangkir teh, sambil bercakap-cakap di rumahnya.
Tapi, saat ini rumah Cafferata kosong. Pasalnya, Italia telah menjadi pusat virus Corona jenis baru, Covid-19. Italia juga sedang berada di bawah penguncian nasional. Kondisi ini membawa dampak bagi Cafferata. "Hidup saya benar-benar telah berubah. Sangat sulit untuk mengatasi ini sendirian," ucapnya, seperti dilansir Al Jazeera.
Dengan lebih dari 6.000 kematian akibat virus Corona, yang merupakan tertinggi di dunia, dan lebih dari 60 ribu kasus, Italia sedang berjuang untuk menahan infeksi. Virus ini terutama menyerang orang lanjut usia dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang tidak baik.
Menurut National Institute of Health (NIH), Lebih dari 56 persen kematian adalah orang di atas usia 80 tahun. "Saya mengerti bahwa cepat atau lambat kita semua harus mati, tetapi tidak seperti ini, tidak oleh virus ini. Saya ingin hidup sedikit lebih lama," ucap Cafferata.
Selain takut terkena virus, hal lain menghantui pikiran Cafferata adalah kesenderian yang berkelanjutan. "Saya sangat merasakan kesendirian ini," katanya. Menurut Institut Statistik Nasional Italia, hampir 28 persen orang Italia di atas usia 65 hidup sendirian, termasuk sekitar 1,3 juta yang tidak memiliki akses ke jejaring sosial.
"Orang lanjut usia mendapati diri mereka dalam situasi yang sangat sulit. Salah satu emosi yang ada pada saat ini adalah kebingungan, ketika epidemi membawa pesan yang mengatakan bahwa agar masyarakat dapat bertahan hidup, kita perlu tinggal sendiri," ucap Fabio Sbattella, profesor psikologi darurat di Universitas Cattolica di Milan.
Pria yang memberikan bantuan kepada orang-orang yang secara psikologis rentan terhadap virus Corona, mulai dari petugas kesehatan hingga orang lanjut usia itu menuturkan, untuk kaum pensiunan, perubahan dalam rutinitas dapat memiliki efek besar pada kesehatan mental dan fisik.
"Tidak bisa melakukan jalan-jalan sederhana, mengunjungi dokter atau melihat anggota keluarga, dapat membuat stres dan gangguan yang mendorong gizi tidak teratur dan kelalaian dalam asumsi obat-obatan biasa, maka penyakit jantung meningkat dan sistem kekebalan melemah," kata Sbattella.
"Kita dapat mengharapkan jumlah kematian yang lebih tinggi di antara orang lanjut usia yang tidak secara langsung terkait dengan coronavirus, tetapi karena perubahan rutin," ucapnya. Ia menambahkan bahwa komplikasi kesehatan lainnya tidak ditangani karena rumah sakit harus memprioritaskan yang paling membutuhkan.
Suasana suram kota-kota kosong, toko-toko yang tutup dan peraturan baru yang membatasi kebebasan sipil mengingatkan beberapa orang lanjut usia pada masa perang, tetapi dengan perbedaan.
"Saya tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita tidak tahu bagaimana melawan virus ini, seperti dulu ketika kita berada di garis depan," kata Lorenzo Fenoglio.
Lahir pada tahun 1923, Fenoglio memimpin sekelompok pasukan Italia yang berperang melawan Nazi di Italia utara selama perang dunia kedua. "Saat itu, kami tahu siapa musuh dan apa yang dibutuhkan untuk memeranginya. Tapi sekarang, kita berurusan dengan yang tidak terlihat dan sulit dipahami," ungkapnya.
Emanuela Cavedagna, yang memimpin tim sukarelawan di Cremona untuk AUSER, sebuah asosiasi yang memberikan bantuan kepada orang lanjut usia, mengatakan bahwa kebingungan seputar virus dan dengan sedikit gagasan tentang kapan krisis akan berakhir menimbulkan ketakutan dan kecemasan di kalangan orang lanjut usia.
"Kami menerima banyak panggilan telepon dari orang lanjut usia yang ingin mendengar bahwa mereka tidak sendirian karena mereka takut ditinggalkan pada saat di mana mereka tidak tahu bagaimana menangani kehidupan sehari-hari mereka," kata Cavedagna, yang menjelaskan bahwa untuk beberapa orang, takut ditinggalkan lebih buruk daripada kekhawatiran seputar virus Corona.
"Mereka mencari jaringan solidaritas dan persahabatan di sekitar mereka, karena orang saat ini tidak mengenal satu sama lain seperti dulu," kata Cavedagna, menambahkan bahwa tidak adanya jaringan seperti itu dapat menyebabkan depresi.
Tapi, saat ini rumah Cafferata kosong. Pasalnya, Italia telah menjadi pusat virus Corona jenis baru, Covid-19. Italia juga sedang berada di bawah penguncian nasional. Kondisi ini membawa dampak bagi Cafferata. "Hidup saya benar-benar telah berubah. Sangat sulit untuk mengatasi ini sendirian," ucapnya, seperti dilansir Al Jazeera.
Dengan lebih dari 6.000 kematian akibat virus Corona, yang merupakan tertinggi di dunia, dan lebih dari 60 ribu kasus, Italia sedang berjuang untuk menahan infeksi. Virus ini terutama menyerang orang lanjut usia dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang tidak baik.
Menurut National Institute of Health (NIH), Lebih dari 56 persen kematian adalah orang di atas usia 80 tahun. "Saya mengerti bahwa cepat atau lambat kita semua harus mati, tetapi tidak seperti ini, tidak oleh virus ini. Saya ingin hidup sedikit lebih lama," ucap Cafferata.
Selain takut terkena virus, hal lain menghantui pikiran Cafferata adalah kesenderian yang berkelanjutan. "Saya sangat merasakan kesendirian ini," katanya. Menurut Institut Statistik Nasional Italia, hampir 28 persen orang Italia di atas usia 65 hidup sendirian, termasuk sekitar 1,3 juta yang tidak memiliki akses ke jejaring sosial.
"Orang lanjut usia mendapati diri mereka dalam situasi yang sangat sulit. Salah satu emosi yang ada pada saat ini adalah kebingungan, ketika epidemi membawa pesan yang mengatakan bahwa agar masyarakat dapat bertahan hidup, kita perlu tinggal sendiri," ucap Fabio Sbattella, profesor psikologi darurat di Universitas Cattolica di Milan.
Pria yang memberikan bantuan kepada orang-orang yang secara psikologis rentan terhadap virus Corona, mulai dari petugas kesehatan hingga orang lanjut usia itu menuturkan, untuk kaum pensiunan, perubahan dalam rutinitas dapat memiliki efek besar pada kesehatan mental dan fisik.
"Tidak bisa melakukan jalan-jalan sederhana, mengunjungi dokter atau melihat anggota keluarga, dapat membuat stres dan gangguan yang mendorong gizi tidak teratur dan kelalaian dalam asumsi obat-obatan biasa, maka penyakit jantung meningkat dan sistem kekebalan melemah," kata Sbattella.
"Kita dapat mengharapkan jumlah kematian yang lebih tinggi di antara orang lanjut usia yang tidak secara langsung terkait dengan coronavirus, tetapi karena perubahan rutin," ucapnya. Ia menambahkan bahwa komplikasi kesehatan lainnya tidak ditangani karena rumah sakit harus memprioritaskan yang paling membutuhkan.
Suasana suram kota-kota kosong, toko-toko yang tutup dan peraturan baru yang membatasi kebebasan sipil mengingatkan beberapa orang lanjut usia pada masa perang, tetapi dengan perbedaan.
"Saya tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita tidak tahu bagaimana melawan virus ini, seperti dulu ketika kita berada di garis depan," kata Lorenzo Fenoglio.
Lahir pada tahun 1923, Fenoglio memimpin sekelompok pasukan Italia yang berperang melawan Nazi di Italia utara selama perang dunia kedua. "Saat itu, kami tahu siapa musuh dan apa yang dibutuhkan untuk memeranginya. Tapi sekarang, kita berurusan dengan yang tidak terlihat dan sulit dipahami," ungkapnya.
Emanuela Cavedagna, yang memimpin tim sukarelawan di Cremona untuk AUSER, sebuah asosiasi yang memberikan bantuan kepada orang lanjut usia, mengatakan bahwa kebingungan seputar virus dan dengan sedikit gagasan tentang kapan krisis akan berakhir menimbulkan ketakutan dan kecemasan di kalangan orang lanjut usia.
"Kami menerima banyak panggilan telepon dari orang lanjut usia yang ingin mendengar bahwa mereka tidak sendirian karena mereka takut ditinggalkan pada saat di mana mereka tidak tahu bagaimana menangani kehidupan sehari-hari mereka," kata Cavedagna, yang menjelaskan bahwa untuk beberapa orang, takut ditinggalkan lebih buruk daripada kekhawatiran seputar virus Corona.
"Mereka mencari jaringan solidaritas dan persahabatan di sekitar mereka, karena orang saat ini tidak mengenal satu sama lain seperti dulu," kata Cavedagna, menambahkan bahwa tidak adanya jaringan seperti itu dapat menyebabkan depresi.
(esn)