Mengintip Cara Korsel Taklukkan Virus Corona Tanpa Lockdown

Sabtu, 04 April 2020 - 16:39 WIB
Mengintip Cara Korsel...
Mengintip Cara Korsel Taklukkan Virus Corona Tanpa Lockdown
A A A
SEOUL - Ketika banyak negara di dunia melakukan lockdown parsial atau pun total untuk mencegah penyebaran virus corona baru (COVID-19), satu negara ini dipandang sebagai contoh yang mampu mengendalikan penyakit tanpa harus mematikan ekonomi. Negara tersebut adalah Republik Korea atau dikenal sebagai Korea Selatan (Korsel).

Pada hari Kamis, Seoul mengumumkan 101 kasus anyar infeksi virus corona baru, menandai hari ke-20 berturut-turut ketika infeksi telah tumbuh pada level kurang dari 150 orang per hari. Itu adalah perubahan yang nyata hingga akhir Februari, ketika negara itu mencatat 909 kasus infeksi dalam satu hari.

Tidak seperti Italia dan Spanyol yang melakukan lockdown total tapi jumlah kasus infeksi dan angka kematian sangat parah, Korea Selatan tidak pernah memberlakukan jam malam atau menghentikan orang-orangnya untuk pergi bekerja. Meskipun demikian, Korea Selatan berhasil menstabilkan tingkat infeksi atau "meratakan kurva".

"Awalnya orang khawatir tentang wabah, tetapi kemudian mereka mulai melihat angka-angka yang tidak dapat dipercaya di Eropa dan di tempat lain, dan mereka mulai menyadari bahwa pemerintah Korea Selatan benar-benar telah melakukan pekerjaan yang sangat baik. (Negara) itu telah menangani krisis dengan sangat baik," kata jurnalis Al Arabiya di Korea Selatan, Ashwaq AlAtoli.

Keberhasilan negara itu telah menarik perhatian dari seluruh dunia sebagai model potensial. Negara-negara seperti Jerman dilaporkan berusaha meniru pendekatan ala Korea Selatan. Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Korea Selatan mengatakan pada hari Rabu bahwa negara itu telah menerima permintaan dari 121 negara lain untuk membantu mereka melakukan tes COVID-19.

Tapi apa model Korea Selatan, bagaimana negara itu “meratakan kurva,” dan akankah pendekatannya bekerja di negara lain?

Respons Cepat


Salah satu ciri khas keberhasilan Korea Selatan adalah pihak berwenang bereaksi sangat cepat terhadap laporan penyebaran COVID-19 di China, negara yang relatif berdekatan.

Hanya satu minggu setelah Korea Selatan melaporkan kasus pertama COVID-19 pada 20 Januari, pemerintah memerintahkan pabrik untuk mulai memproduksi alat tes virus corona secara massal. Dalam dua minggu, negara itu memproduksi lebih dari 100.000 alat tes sehari.

“Kami sangat gugup. Kami percaya bahwa itu dapat berkembang menjadi pandemi," kata Lee Sang-won, seorang ahli penyakit menular di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC), kepada Reuters, yang dilansir Sabtu (4/4/2020).

"Kami bertindak seperti tentara," katanya.

Untungnya, KCDC telah menjalankan skenario tes pada bulan Desember, tepat sebelum wabah muncul, yang memastikan itu relatif dipersiapkan dengan baik ketika virus corona menyerang.

Sebaliknya, Amerika Serikat—yang mendeteksi kasus pertama COVID-19 pada hari yang sama dengan Korea Selatan—gagal bereaksi dengan cepat. Meskipun Presiden Donald Trump sekarang telah memberlakukan keadaan darurat yang dapat memaksa perusahaan untuk memproduksi barang-barang medis, negara ini menghadapi kekurangan besar alat tes—dan hanya menguji 60.000 dari sekitar 350 juta populasi pada pertengahan Maret.

Tes COVID-19


Respons cepat membuahkan hasil karena menerapkan fitur kunci kedua dari keberhasilan Korea Selatan, yakni melakukan banyak tes dan melakukan tes secara efektif.

Produksi massal alat tes memungkinkan pemerintah untuk berhasil melakukan tes penting terhadap populasi untuk COVID-19. Negara ini meluncurkan lebih dari 600 pusat tes dan membuat tes dilakukan mudah dan tersedia. Data hasil tes massal inilah yang memungkinkan pihak berwenang untuk memantau penyebaran virus dan merawat mereka yang terpapar.

"Tes itu penting karena mengarah pada deteksi dini, meminimalkan penyebaran lebih lanjut dan dengan cepat mengobati (orang) yang ditemukan dengan virus," kata Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang Kyung-wha kepada BBC. "Tes sebagai kunci di balik tingkat kematian kami yang sangat rendah."

Data hingga saat ini ada 10.156 kasus COVID-19 di Korea Selatan. Namun, jumlah korban meninggal 177 orang, angka yang relatif sedikit dibanding negara-negara lain. Bahkan, angka kematian Indonesia 191 jiwa dari 2.092 kasus infeksi.

Korea Selatan berhasil menyembuhkan 6.325 pasien dari 10.156 kasus. Sedangkan Indonesia saat ini berhasil menyembuhkan 150 pasien dari 2.092 kasus.

Kematian terparah terjadi di Italia, yakni 14.681 jiwa dari 119.827 kasus. Begitu juga dengan Spanyol yang angka kematiannya 11.198 jiwa dari 119.199 kasus. Amerika Serikat memiliki 277.522 kasu dengan 7.403 kematian.

Belajar dari MERS 2015


Korea Selatan juga menerapkan pelajaran dari wabah MERS 2015, yang menewaskan 36 orang. Daripada bergantung pada orang-orang yang memiliki gejala untuk sukarela dites, pihak berwenang mengambil pendekatan proaktif yang membantu mengidentifikasi kasus tanpa gejala yang mungkin berlanjut untuk menyebarkan virus lebih lanjut. MERS pertama kali muncul pada 2012, tetapi Korea Selatan dilanda wabah itu pada 2015.

Menggunakan teknologi yang dikembangkan selama merebaknya MERS, pihak berwenang dapat melacak kasus menggunakan catatan kartu kredit, GPS dan rekaman kamera keamanan untuk menemukan dengan siapa orang-orang yang kontak dengan "si sakit" dan memastikan mereka juga dites.

Transparansi dan Informasi Publik


Sebagai bagian dari upaya untuk mengtes orang-orang, pihak berwenang Korea Selatan membuat informasi tentang penyebaran virus ke publik.

Kampanye informasi publik dimulai sejak dini, dan dengan pengalaman dari wabah MERS berarti banyak warga Korea Selatan yang paham akan mengenakan masker wajah dan mempraktikkan kebersihan yang baik.

Pemerintah mengirim SMS kepada penduduk yang memberi tahu mereka ketika sebuah kasus ditemukan di dekatnya dan memungkinkan akses ke data pelacakannya.

“Pemerintah sudah sangat transparan. Mereka telah mengumumkan semua kasus di negara ini dan berbagi informasi tentang daerah mana mereka berada dan di mana mereka pergi, dan restoran atau mal mana yang dituju," kata AlAtoli.

“Warga memiliki akses ke peta langsung di mana mereka dapat melihat semua informasi pada sistem pelacakan langsung. Mereka melacak orang-orang melalui kartu kredit dan CCTV mereka akan melihat dengan tepat di mana mereka berada," ujarnya.

Transparansi dan Kerja Sama


Kekayaan informasi ini memungkinkan pemerintah dan warga negara Korea Selatan untuk bertindak secara efektif dan bertanggung jawab untuk memperlambat penyebaran virus—tanpa otoritas harus menegakkan peraturan nasional yang keras atau mematikan ekonomi.

Alih-alih memaksakan larangan, pemerintah menggunakan datanya untuk membatasi pergerakan hanya jika diperlukan. Menyusul ledakan kasus COVID-19 di Daegu— terkait dengan sebuah gereja—pemerintah dengan cepat memberlakukan tindakan darurat.

"Korea Selatan dapat menangani hal ini tanpa membatasi pergerakan orang karena kami tahu sumber utama infeksi, jemaat gereja, cukup dini," kata Ki Mo-ran, seorang ahli epidemiologi yang memberi nasihat untuk respons COVID-19 kepada New York Times.

"Jika kita mempelajarinya lebih lambat dari yang kita lakukan, segalanya bisa jauh lebih buruk," ujarnya.

Menurut AlAtoli, banyak warga negara tersebut juga memilih untuk membatasi kontak dengan orang lain selama periode dua minggu yang penting pada akhir Februari dan awal Maret.

Banyak yang memilih untuk mengarantina sendiri, dan menggunakan data pelacakan, mereka juga dapat melihat ruang publik mana yang berisiko tinggi untuk infeksi dan karenanya harus dihindari.

Sekarang, tidak seperti banyak kota hantu lainnya di seluruh dunia, kota-kota Korea Selatan penuh dengan orang-orang yang melakukan bisnis biasa. Yang terpenting, banyak yang berlatih menjaga jarak dan hampir semua orang memakai masker.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1807 seconds (0.1#10.140)