Waswas Lonjakan Kasus Baru COVID-19, Singapura Hadapi Situasi Serius
A
A
A
SINGAPURA - Perdana Menteri (PM) Lee Hsien Loong memperingatkan bahwa Singapura menghadapi situasi serius, dengan kemungkinan lonjakan kasus-kasus anyar virus corona baru, COVID-19. PM Lee khawatir terjadi gelombang infeksi di negaranya yang berasal dari negara lain.
Kendati demikian, dia memastikan situasi saat ini tetap terkendali dan Singapura tidak akan menaikkan level Kondisi Sistem Penanggulangan Penyakit (DORSCON) ke warna merah.
Dalam pidatonya yang disiarkan stasiun televisi pada Kamis petang, Lee mencatat bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan wabah COVID-19 sebagai pandemi, dan diperkirakan akan berlanjut untuk beberapa waktu—satu tahun, dan mungkin lebih lama.
Meskipun Singapura telah mengambil situasi dengan sangat serius dan dipandang oleh WHO sebagai contoh untuk ditiru, Lee mengatakan negaranya menghadapi situasi serius.
"Kami memiliki ekspektasi lebih banyak kasus impor dan karena itu cluster baru dan gelombang infeksi baru, kali ini datang dari banyak negara daripada satu atau dua," kata Lee.
Singapura memiliki 187 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, di mana 96 pasien telah sembuh dan dipulangkan dari rumah sakit.
Lee menambahkan bahwa Singapura telah memberlakukan beberapa pembatasan perjalanan. "(Pembatasan perjalanan) Singapura harus diperketat lebih lanjut untuk sementara, meskipun kita tidak dapat sepenuhnya menutup diri dari dunia," katanya.
"Kami tidak mengunci kota kami seperti yang dilakukan orang China, Korea Selatan, atau Italia. Yang kami lakukan sekarang adalah merencanakan ke depan untuk beberapa langkah yang lebih ketat, mencobanya dan mempersiapkan warga Singapura ketika kami benar-benar perlu menerapkannya," paparnya, seperti dikutip dari Channel News Asia, Jumat (13/3/2020).
"Jika ada jumlah orang sakit COVID-19 yang sangat besar, kita tidak akan dapat membuat rumah sakit dan mengisolasi setiap kasus seperti yang kita lakukan sekarang," papar Lee.
Menurutnya, mayoritas pasien COVID-19, 80 persennya hanya mengalami gejala ringan dan yang paling berisiko adalah orang tua dan mereka yang memiliki kondisi yang sudah ada sebelumnya.
"Jadi dengan jumlah yang lebih besar, hal yang masuk akal adalah merumahsakitkan hanya kasus yang lebih serius, dan mendorong mereka yang memiliki gejala ringan untuk melihat dokter keluarga mereka dan beristirahat di rumah—mengisolasi diri mereka sendiri," kata Lee.
"Dengan cara ini, kami memfokuskan sumber daya pada yang sakit parah, mempercepat waktu respons kami dan mudah-mudahan, meminimalkan jumlah kematian," imbuh dia.
Kendati demikian, dia memastikan situasi saat ini tetap terkendali dan Singapura tidak akan menaikkan level Kondisi Sistem Penanggulangan Penyakit (DORSCON) ke warna merah.
Dalam pidatonya yang disiarkan stasiun televisi pada Kamis petang, Lee mencatat bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan wabah COVID-19 sebagai pandemi, dan diperkirakan akan berlanjut untuk beberapa waktu—satu tahun, dan mungkin lebih lama.
Meskipun Singapura telah mengambil situasi dengan sangat serius dan dipandang oleh WHO sebagai contoh untuk ditiru, Lee mengatakan negaranya menghadapi situasi serius.
"Kami memiliki ekspektasi lebih banyak kasus impor dan karena itu cluster baru dan gelombang infeksi baru, kali ini datang dari banyak negara daripada satu atau dua," kata Lee.
Singapura memiliki 187 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, di mana 96 pasien telah sembuh dan dipulangkan dari rumah sakit.
Lee menambahkan bahwa Singapura telah memberlakukan beberapa pembatasan perjalanan. "(Pembatasan perjalanan) Singapura harus diperketat lebih lanjut untuk sementara, meskipun kita tidak dapat sepenuhnya menutup diri dari dunia," katanya.
"Kami tidak mengunci kota kami seperti yang dilakukan orang China, Korea Selatan, atau Italia. Yang kami lakukan sekarang adalah merencanakan ke depan untuk beberapa langkah yang lebih ketat, mencobanya dan mempersiapkan warga Singapura ketika kami benar-benar perlu menerapkannya," paparnya, seperti dikutip dari Channel News Asia, Jumat (13/3/2020).
"Jika ada jumlah orang sakit COVID-19 yang sangat besar, kita tidak akan dapat membuat rumah sakit dan mengisolasi setiap kasus seperti yang kita lakukan sekarang," papar Lee.
Menurutnya, mayoritas pasien COVID-19, 80 persennya hanya mengalami gejala ringan dan yang paling berisiko adalah orang tua dan mereka yang memiliki kondisi yang sudah ada sebelumnya.
"Jadi dengan jumlah yang lebih besar, hal yang masuk akal adalah merumahsakitkan hanya kasus yang lebih serius, dan mendorong mereka yang memiliki gejala ringan untuk melihat dokter keluarga mereka dan beristirahat di rumah—mengisolasi diri mereka sendiri," kata Lee.
"Dengan cara ini, kami memfokuskan sumber daya pada yang sakit parah, mempercepat waktu respons kami dan mudah-mudahan, meminimalkan jumlah kematian," imbuh dia.
(mas)