Bermutasi, Virus Corona Covid-19 Jadi Lebih Agresif

Kamis, 05 Maret 2020 - 23:18 WIB
Bermutasi, Virus Corona Covid-19 Jadi Lebih Agresif
Bermutasi, Virus Corona Covid-19 Jadi Lebih Agresif
A A A
LONDON - Para ilmuwan mengklaim virus Corona baru atau yang diberi nama Covid-19 telah bermutasi menjadi dua jenis, dengan salah satunya lebih agresif dari yang lain.

Para peneliti di Sekolah Ilmu Hayati Universitas Peking dan Institut Pasteur Shanghai menemukan bahwa virus telah berevolusi menjadi dua garis keturunan utama yang dilabeli "L" dan "S".

Tim ahli dari Beijing dan Shanghai mengatakan virus Corona Covid-19 "Tipe-L" yang lebih baru menyebar dengan cepat dan menyumbang sekitar 70 persen dari kasus infeksi.

Sedangkan "Tipe-S", yang muncul terlebih dahulu dan jenis pertama yang diketahui, tampaknya lebih ringan, kurang menular dan sekarang orang menjadi lebih umum terinfeksi.

Seorang pria yang telah menjalani analisis genetik setelah ia dites positif virus Corona Covid-19 pada 21 Januari membuktikan bahwa ia mungkin telah terinfeksi oleh kedua strain.

"Sedangkan Tipe-L lebih lazim pada tahap awal wabah di Wuhan, frekuensi Tipe-L menurun setelah awal Januari 2020," kata para peneliti yang dipimpin oleh Profesor Jian Lu dan Dr Jie Cui dalam makalahnya.

"Intervensi manusia mungkin telah menempatkan tekanan selektif yang lebih parah pada Tipe-L, yang mungkin lebih agresif dan menyebar lebih cepat," sambung makalah itu.

"Di sisi lain, Tipe-S, yang secara evolusioner lebih tua dan kurang agresif, mungkin meningkat dalam frekuensi relatif karena tekanan selektif yang relatif lebih lemah," demikian keterangan makalah tersebut seperti dilansir dari New Zealand Herald, Kamis (5/3/2020).

"Intervensi manusia" ini dianggap sebagai rawat inap pasien dengan virus Corona dan penguncian area di mana ia menyebar dengan cepat.

Sayangnya, perkembangan baru ini menghalangi upaya untuk mengembangkan vaksin.

Dr Stephen Griffin, dari Institut Penelitian Medis Leeds dan ketua divisi virus di Masyarakat Mikrobiologi, mengatakan pengembang perlu menguji apakah vaksin prototipe mereka bisa menetralkan kedua virus.

Dia menambahkan variasi antara strain itu cukup terbatas dan mungkin bukan rintangan besar.

"Biasanya terjadi ketika virus RNA pertama kali menembus spesies ke manusia, mereka tidak terlalu beradaptasi dengan inang baru mereka - kita," kata Griffin.

"Jadi, mereka biasanya mengalami beberapa perubahan yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dan menjadi lebih mampu untuk mereplikasi di dalam, dan menyebar dari manusia ke manusia," jelasnya lagi.

Sementara itu ahli virologi, Profesor Jonathan Ball mengatakan kepada Telegraph UK bahwa ia percaya penelitian yang lebih besar perlu dilakukan sebelum mengkhawatirkan rintangan vaksin.

"Saat ini kami tidak memiliki bukti kuat bahwa virus telah berubah sehubungan dengan tingkat keparahan penyakit atau infektivitas sehingga kami harus berhati-hati ketika menafsirkan jenis studi berbasis komputer ini, semenarik mungkin," ujarnya.

Dr Bharat Pankhania, dosen klinis senior di University of Exeter Medical School, mengatakan tidak mungkin untuk mengetahui mengapa strain yang lebih agresif telah melambat.

"Kami tidak benar-benar tahu gambaran sebenarnya di China," ucapnya.

"Apakah jumlah kasus yang lebih rendah merupakan cerminan sejati? Bisa jadi virus bermutasi ke bentuk yang kurang berbahaya, atau bisa jadi tindakan penguncian super manusia," imbuhnya.

"Atau mungkin ada alasan ketiga yang merupakan penyimpangan genetik. Virus RNA cukup rawan kesalahan sehingga seiring waktu mereka menjadi tidak terlalu baik dalam mereplikasi," tukasnya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3356 seconds (0.1#10.140)