Dijauhi Pasca Karantina Virus Corona, Warga AS: Kami Bukan Zombie!
A
A
A
WASHINGTON - Warga Amerika Serikat (AS) yang telah menjalani karantina virus Corona selama 14 hari setelah dievakuasi dari Wuhan, China berharap bisa menjalani hidupnya dengan norma. Namun pada kenyataannya mereka manghadapi stigma negatif di masyarakat.
Esther Tebeka adalah satu dari lebih dari 1.000 orang warga AS yang dievakuasi dari China karena wabah virus Corona. Ia telah mengakhiri masa karantina selama 14 hari tanpa tanda-tanda terinfeksi.
Pasca masa karantina, Esther berharap bisa menjalani kehidupannya secara normal. Namun kenyataan berkata lain. Orang-orang menolak mendekatinya atau menutupi wajahnya dengan masker karena khawatir tertular virus Corona. Ini menjadikannya satu dari banyak warga AS yang melaporkan dijauhi atau dipermalukan setelah karantina.
"Berapa kali saya bisa memberi tahu orang-orang bahwa saya tidak sakit?" kata Tebeka, yang menjalankan klinik pengobatan China di Palo Alto, California, dan telah melihat pasien tiba-tiba membatalkan janji.
"Kami bukan zombie," cetusnya seperti dilansir dari Reuters, Jumat (21/2/2020).
Dia dan putrinya yang berusia 15 tahun, Chaya, termasuk di antara warga AS yang dievakuasi dari Wuhan, China - pusat penyebaran virus Corona - dan Tokyo, Jepang, kemudian dikarantina di pangkalan militer di California, Texas dan Nebraska. Menurut Departemen Kesehatan AS, ratusan wisatawan lainnya melakukan karantina sendiri di rumah setelah tiba dengan penerbangan komersial dari daerah yang terkena dampak.
Tebeka mengatakan ketidaktahuan mendorong prasangka: "Jangan menghukum orang yang melakukan hal yang benar."
Cerita yang sama juga dialami oleh warga AS lainnya. Amy Deng dan puterinya Daisy (8) melakukan karantina mandiri setelah melakukan perjalanan ke China.
Namun, kata Deng, hal itu tidak menghentikan tetangga memanggil polisi karena khawatir mereka akan menyebarkan virus Corona.
"Orang-orang sudah panik, kemudian mereka mengarang rumor ini dan menyebarkannya, memberi tahu kami untuk tidak tinggal di komunitas itu," kata Deng (45) seorang ahli akupunktur Santa Rosa, California.
Sejak Deng kembali pada 4 Februari lalu, ia diminta tidak masuk kantor bahkan hanya untuk mengambil buku catatan oleh seorang wanita yang bisnisnya berbagi ruang lobi yang sama.
"Orang-orang hanya menunjukkan diskriminasi berlebihan yang absolut," kata Deng, yang isolasi dua minggunya berakhir pekan ini.
Matt Galat, seorang warga Amerika yang tinggal di China, kembali ke Amerika Serikat bulan ini dan mengungkapkan bahwa ia melakukan karantina mandiri selama dua minggu dengan keluarganya. Pengakuan yang dibuat di dunia maya itu menarik reaksi tak terduga dari pengikutnya di saluran YouTubenya, JaYoe Nation.
"Mereka bilang 'kamu menginfeksi seluruh negaraku, kamu harus keluar,'" kata Galat.
Dengan laporan-laporan pengalaman seperti itu, orang-orang yang masih terisolasi merasa takut akan apa yang terjadi di kemudian hari. Beberapa tidak mau membahas keprihatinan mereka karena takut menarik perhatian pada diri mereka sendiri.
"Ketika saya keluar, orang-orang akan mengenali saya karena saya vokal di media sosial," kata Sarah Arana (52) yang berada di karantina di pangkalan udara California setelah evakuasi dari kapal pesiar Diamond Princess.
"Harapan saya adalah orang-orang tidak akan berpikir saya sedang membawa virus," imbuhnya.
Para pejabat kesehatan mengatakan warga AS yang menjalani tes harian, observasi dan tindakan pencegahan karantina kesehatan adalah di antara yang paling mungkin untuk menularkan virus. Namun orang-orang ini dikalahkan oleh tetangga, diasingkan secara online dan diasingkan oleh teman-teman.
"Akar diskriminasi virus Corona tampaknya terletak pada insting orang, rasa jijik yang mendalam terhadap penyakit menular, daripada fakta ilmiah atau prasangka rasial," kata seorang profesor ilmu politik di Vanderbilt University, Cindy Kam.
Kam mempelajari wabah Ebola serta Zika dan menemukan ketakutan orang-orang terhadap penyakit lebih besar daripada kekhawatiran siapa yang mungkin membawa penyakit itu.
Selain penumpang yang dievakuasi dari kapal pesiar Diamond Princess, hanya ada 15 kasus virus Corona di AS. Dari angka itu, hanya dua kasus penularan virus Corona dari orang ke orang dan tidak ada laporan meninggal.
Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi telah melakukan perjalanan ke daerah Wuhan, pusat epidemi virus Corona. Wuhan menyumbang angka terbanyak terhadap lebih dari 2.100 laporan kematian akibat virus Corona dan 74.000 kasus infeksi yang terjadi di China. Menurut CDC, angka itu masih sebagian kecil dari 14.000 kematian akibat flu di AS musim ini.
Esther Tebeka adalah satu dari lebih dari 1.000 orang warga AS yang dievakuasi dari China karena wabah virus Corona. Ia telah mengakhiri masa karantina selama 14 hari tanpa tanda-tanda terinfeksi.
Pasca masa karantina, Esther berharap bisa menjalani kehidupannya secara normal. Namun kenyataan berkata lain. Orang-orang menolak mendekatinya atau menutupi wajahnya dengan masker karena khawatir tertular virus Corona. Ini menjadikannya satu dari banyak warga AS yang melaporkan dijauhi atau dipermalukan setelah karantina.
"Berapa kali saya bisa memberi tahu orang-orang bahwa saya tidak sakit?" kata Tebeka, yang menjalankan klinik pengobatan China di Palo Alto, California, dan telah melihat pasien tiba-tiba membatalkan janji.
"Kami bukan zombie," cetusnya seperti dilansir dari Reuters, Jumat (21/2/2020).
Dia dan putrinya yang berusia 15 tahun, Chaya, termasuk di antara warga AS yang dievakuasi dari Wuhan, China - pusat penyebaran virus Corona - dan Tokyo, Jepang, kemudian dikarantina di pangkalan militer di California, Texas dan Nebraska. Menurut Departemen Kesehatan AS, ratusan wisatawan lainnya melakukan karantina sendiri di rumah setelah tiba dengan penerbangan komersial dari daerah yang terkena dampak.
Tebeka mengatakan ketidaktahuan mendorong prasangka: "Jangan menghukum orang yang melakukan hal yang benar."
Cerita yang sama juga dialami oleh warga AS lainnya. Amy Deng dan puterinya Daisy (8) melakukan karantina mandiri setelah melakukan perjalanan ke China.
Namun, kata Deng, hal itu tidak menghentikan tetangga memanggil polisi karena khawatir mereka akan menyebarkan virus Corona.
"Orang-orang sudah panik, kemudian mereka mengarang rumor ini dan menyebarkannya, memberi tahu kami untuk tidak tinggal di komunitas itu," kata Deng (45) seorang ahli akupunktur Santa Rosa, California.
Sejak Deng kembali pada 4 Februari lalu, ia diminta tidak masuk kantor bahkan hanya untuk mengambil buku catatan oleh seorang wanita yang bisnisnya berbagi ruang lobi yang sama.
"Orang-orang hanya menunjukkan diskriminasi berlebihan yang absolut," kata Deng, yang isolasi dua minggunya berakhir pekan ini.
Matt Galat, seorang warga Amerika yang tinggal di China, kembali ke Amerika Serikat bulan ini dan mengungkapkan bahwa ia melakukan karantina mandiri selama dua minggu dengan keluarganya. Pengakuan yang dibuat di dunia maya itu menarik reaksi tak terduga dari pengikutnya di saluran YouTubenya, JaYoe Nation.
"Mereka bilang 'kamu menginfeksi seluruh negaraku, kamu harus keluar,'" kata Galat.
Dengan laporan-laporan pengalaman seperti itu, orang-orang yang masih terisolasi merasa takut akan apa yang terjadi di kemudian hari. Beberapa tidak mau membahas keprihatinan mereka karena takut menarik perhatian pada diri mereka sendiri.
"Ketika saya keluar, orang-orang akan mengenali saya karena saya vokal di media sosial," kata Sarah Arana (52) yang berada di karantina di pangkalan udara California setelah evakuasi dari kapal pesiar Diamond Princess.
"Harapan saya adalah orang-orang tidak akan berpikir saya sedang membawa virus," imbuhnya.
Para pejabat kesehatan mengatakan warga AS yang menjalani tes harian, observasi dan tindakan pencegahan karantina kesehatan adalah di antara yang paling mungkin untuk menularkan virus. Namun orang-orang ini dikalahkan oleh tetangga, diasingkan secara online dan diasingkan oleh teman-teman.
"Akar diskriminasi virus Corona tampaknya terletak pada insting orang, rasa jijik yang mendalam terhadap penyakit menular, daripada fakta ilmiah atau prasangka rasial," kata seorang profesor ilmu politik di Vanderbilt University, Cindy Kam.
Kam mempelajari wabah Ebola serta Zika dan menemukan ketakutan orang-orang terhadap penyakit lebih besar daripada kekhawatiran siapa yang mungkin membawa penyakit itu.
Selain penumpang yang dievakuasi dari kapal pesiar Diamond Princess, hanya ada 15 kasus virus Corona di AS. Dari angka itu, hanya dua kasus penularan virus Corona dari orang ke orang dan tidak ada laporan meninggal.
Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi telah melakukan perjalanan ke daerah Wuhan, pusat epidemi virus Corona. Wuhan menyumbang angka terbanyak terhadap lebih dari 2.100 laporan kematian akibat virus Corona dan 74.000 kasus infeksi yang terjadi di China. Menurut CDC, angka itu masih sebagian kecil dari 14.000 kematian akibat flu di AS musim ini.
(ian)