Serukan Normalisasi Saudi-Israel, Jurnalis Saudi Dicabut Kewarganegaraannya
A
A
A
RIYADH - Abdul Hameed al-Ghobein, jurnalis Arab Saudi yang menyerukan normalisasi hubungan negaranya dengan Israel, mengaku telah dicabut kewarganegaraannya. Menurutnya, nasib serupa juga dialami keluarganya.
Ghobein mengatakan dia tidak secara resmi tentang alasan pencabutan kewarganegaraannya. Namun, dia menegaskan bahwa seruannya yang berulang kali kepada pemerintah Saudi untuk menormalkan hubungan dengan Israel ada di belakang keputusan tersebut.
Klaim jurnalis ini muncul di tengah laporan bahwa hubungan Israel dan Arab Saudi telah memanas. Kedua negara memang tidak menjalin hubungan diplomatik, namun para pejabat Israel sering blakblakan bahwa kedua pihak menjalin kerjasama klandestin atau secara rahasia.
Ghobein mengatakan dia tidak akan mempertanyakan apa yang dia alami merupakan keinginan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) atau bukan. "Kami hanya mendengarkan dan mematuhi," katanya, seperti dikutip Ynet, Sabtu (28/12/2019). Dia tak memberitahu posisinya dan keluarganya saat ini.
Untuk saat ini, tidak ada bukti yang mendukung pernyataannya. Pemerintah Arab Saudi juga belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai masalah ini.
Ghobein mendaftar jurnalisme sebagai salah satu profesinya. Dia telah menulis untuk surat kabar Israel dan menggunakan media sosial untuk memuji Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
"Saya menyerukan hubungan langsung dan tanpa syarat dengan Israel. Ini adalah pilihan strategis," katanya.
"Israel baik kepada kami ketika opini publik internasional menentang kami selama kasus pembunuhan Khashoggi," katanya, merujuk pada pembunuhan jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi pada tahun lalu di Konsulat Saudi di Istanbul, Turki.
"Posisi Israel setelah Iran menargetkan fasilitas minyak jelas, dan itu berdiri di (pihak) Arab Saudi," katanya, mengacu pada serangan udara 14 September terhadap fasilitas minyak Saudi.
Palestina Senang
Sementara itu, Palestina menyambut baik berita tentang pencabutan kewarganegaraan Ghobein. Anggota Dewan Revolusi Partai Fatah Palestina, Dimitri Deliani, mengatakan bahwa meskipun ia menentang pencabutan kewarganegaraan, Ghobein memang pantas untuk didisiplinkan.
"Saya mendukung...menghukum mereka yang menentang keputusan pemerintah mereka untuk memboikot kekuatan pendudukan (Israel). Mungkin tidak dengan mencabut kewarganegaraan (seseorang), tetapi harus ada hukum untuk menghukum mereka," katanya.
Deliani mengatakan orang-orang seperti Ghobein telah mendistorsi tujuan Palestina."Dan secara tidak sengaja membantu lawan-lawan negara mereka," ujarnya.
Tetapi Ghobein bukan satu-satunya orang Saudi yang secara terbuka menyerukan untuk membangun hubungan dengan Israel. Mohammed Saud, seorang aktivis media terkemuka, juga telah menyuarakan hal serupa. Keduanya adalah di antara segelintir warga Teluk yang secara terbuka menyerukan untuk membangun hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel.
Namun ketakutan akan adanya pembalasan karena sikap seperti itu membuat mereka hanya berani berbicara secara anonim.
Seorang wartawan Saudi yang terkenal di Riyadh yang meminta agar namanya tidak dipublikasikan mengatakan bahwa topik itu adalah topik sensitif. Menurutnya, keluarga Kerajaan tidak memberikan lampu hijau kepada wartawan dan aktivis untuk berbicara secara terbuka.
Jurnalis Israel yang berubah menjadi analis politik, Eli Nissan, mengatakan bahwa kasus Ghobein tidak akan mengubah fakta bahwa beberapa negara Teluk ingin lebih dekat dengan Israel.
"Secara umum, negara-negara Arab tidak menginginkan normalisasi publik, tetapi banyak yang memiliki hubungan tersembunyi dan rahasia," katanya. "Ada hubungan strategis dan ekonomi di tempat."
Namun Nissan mengatakan bahwa agar normalisasi penuh dan hubungan publik terjadi, konflik Israel-Palestina harus berakhir.
"Jika solusi untuk masalah Palestina dapat dicapai, normalisasi (dengan Israel) akan maju tanpa hukuman bagi siapa pun yang menyatakan keinginan seperti itu," katanya.
Aktivis Palestina Zaid Shuaibi mengatakan bahwa tekanan Amerika Serikat (AS) adalah salah satu alasan negara-negara Teluk tergoda ingin menormalisasi hubungan dengan Israel.
"Ada peningkatan dalam langkah normalisasi oleh pemerintah Arab, terutama rezim Teluk, dengan kekuatan pendudukan (Israel), dan jelas bahwa ini berasal dari tekanan Amerika," kata Shuaibi.
Dia mengaku bingung dengan posisi negara-negara Teluk tentang Israel. "Ketika ada ketegangan antara Yordania dan Israel meskipun ada perjanjian damai, kami menemukan negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi berebut untuk memulai hubungan," katanya.
Shuaibi mengatakan bahwa terlibat dengan Israel dan membangun hubungan harus dilakukan pada akhir negosiasi, bukan sebelumnya. "Anda jangan menghargai kekuatan pendudukan, dengan bersikap ramah dengan itu," katanya.
Ghobein mengatakan dia tidak secara resmi tentang alasan pencabutan kewarganegaraannya. Namun, dia menegaskan bahwa seruannya yang berulang kali kepada pemerintah Saudi untuk menormalkan hubungan dengan Israel ada di belakang keputusan tersebut.
Klaim jurnalis ini muncul di tengah laporan bahwa hubungan Israel dan Arab Saudi telah memanas. Kedua negara memang tidak menjalin hubungan diplomatik, namun para pejabat Israel sering blakblakan bahwa kedua pihak menjalin kerjasama klandestin atau secara rahasia.
Ghobein mengatakan dia tidak akan mempertanyakan apa yang dia alami merupakan keinginan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) atau bukan. "Kami hanya mendengarkan dan mematuhi," katanya, seperti dikutip Ynet, Sabtu (28/12/2019). Dia tak memberitahu posisinya dan keluarganya saat ini.
Untuk saat ini, tidak ada bukti yang mendukung pernyataannya. Pemerintah Arab Saudi juga belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai masalah ini.
Ghobein mendaftar jurnalisme sebagai salah satu profesinya. Dia telah menulis untuk surat kabar Israel dan menggunakan media sosial untuk memuji Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
"Saya menyerukan hubungan langsung dan tanpa syarat dengan Israel. Ini adalah pilihan strategis," katanya.
"Israel baik kepada kami ketika opini publik internasional menentang kami selama kasus pembunuhan Khashoggi," katanya, merujuk pada pembunuhan jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi pada tahun lalu di Konsulat Saudi di Istanbul, Turki.
"Posisi Israel setelah Iran menargetkan fasilitas minyak jelas, dan itu berdiri di (pihak) Arab Saudi," katanya, mengacu pada serangan udara 14 September terhadap fasilitas minyak Saudi.
Palestina Senang
Sementara itu, Palestina menyambut baik berita tentang pencabutan kewarganegaraan Ghobein. Anggota Dewan Revolusi Partai Fatah Palestina, Dimitri Deliani, mengatakan bahwa meskipun ia menentang pencabutan kewarganegaraan, Ghobein memang pantas untuk didisiplinkan.
"Saya mendukung...menghukum mereka yang menentang keputusan pemerintah mereka untuk memboikot kekuatan pendudukan (Israel). Mungkin tidak dengan mencabut kewarganegaraan (seseorang), tetapi harus ada hukum untuk menghukum mereka," katanya.
Deliani mengatakan orang-orang seperti Ghobein telah mendistorsi tujuan Palestina."Dan secara tidak sengaja membantu lawan-lawan negara mereka," ujarnya.
Tetapi Ghobein bukan satu-satunya orang Saudi yang secara terbuka menyerukan untuk membangun hubungan dengan Israel. Mohammed Saud, seorang aktivis media terkemuka, juga telah menyuarakan hal serupa. Keduanya adalah di antara segelintir warga Teluk yang secara terbuka menyerukan untuk membangun hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel.
Namun ketakutan akan adanya pembalasan karena sikap seperti itu membuat mereka hanya berani berbicara secara anonim.
Seorang wartawan Saudi yang terkenal di Riyadh yang meminta agar namanya tidak dipublikasikan mengatakan bahwa topik itu adalah topik sensitif. Menurutnya, keluarga Kerajaan tidak memberikan lampu hijau kepada wartawan dan aktivis untuk berbicara secara terbuka.
Jurnalis Israel yang berubah menjadi analis politik, Eli Nissan, mengatakan bahwa kasus Ghobein tidak akan mengubah fakta bahwa beberapa negara Teluk ingin lebih dekat dengan Israel.
"Secara umum, negara-negara Arab tidak menginginkan normalisasi publik, tetapi banyak yang memiliki hubungan tersembunyi dan rahasia," katanya. "Ada hubungan strategis dan ekonomi di tempat."
Namun Nissan mengatakan bahwa agar normalisasi penuh dan hubungan publik terjadi, konflik Israel-Palestina harus berakhir.
"Jika solusi untuk masalah Palestina dapat dicapai, normalisasi (dengan Israel) akan maju tanpa hukuman bagi siapa pun yang menyatakan keinginan seperti itu," katanya.
Aktivis Palestina Zaid Shuaibi mengatakan bahwa tekanan Amerika Serikat (AS) adalah salah satu alasan negara-negara Teluk tergoda ingin menormalisasi hubungan dengan Israel.
"Ada peningkatan dalam langkah normalisasi oleh pemerintah Arab, terutama rezim Teluk, dengan kekuatan pendudukan (Israel), dan jelas bahwa ini berasal dari tekanan Amerika," kata Shuaibi.
Dia mengaku bingung dengan posisi negara-negara Teluk tentang Israel. "Ketika ada ketegangan antara Yordania dan Israel meskipun ada perjanjian damai, kami menemukan negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi berebut untuk memulai hubungan," katanya.
Shuaibi mengatakan bahwa terlibat dengan Israel dan membangun hubungan harus dilakukan pada akhir negosiasi, bukan sebelumnya. "Anda jangan menghargai kekuatan pendudukan, dengan bersikap ramah dengan itu," katanya.
(mas)