Desa Nagoro, Kampung Tanpa Balita yang Digantikan Boneka
A
A
A
SUARA tangis bayi sudah tak lagi terdengar selama 18 tahun di Desa Nagoro, Prefektur Tokushima, Jepang. Dengan putusnya generasi penerus, Sekolah Dasar (SD) juga ditutup pada 2012 sesaat setelah dua siswa terakhir lulus. Perkampungan itu kini kehilangan kehidupan dan tampak mati di tengah musim dingin.
Penduduk Nagaro kian menyusut dan menua. Hampir 40% dari total 30 penduduknya sudah berusia 60 tahun. Generasi mudanya telah hilang diserap kawasan perkotaan. Meski disediakan subsidi perawatan anak, diskon perawatan klinik, dan perumahan gratis oleh pemerintah setempat, mereka tak mau pulang.
Selama beberapa tahun terakhir, warga lokal Tsukimi Ayano, 70, mencoba menghidupkan kembali perkampungannya dengan memasang boneka seukuran manusia di setiap sudut. Lebih dari 40 boneka yang dibuatnya merepresentasikan warga setempat, terutama yang sudah meninggal atau pergi ke luar kota.
Jumlah boneka di Nagaro diperhitungkan mencapai 350 buah dengan berbagai pakaian, pose, dan ukuran. Beberapa di antaranya ada yang sedang duduk di bangku sekolah, duduk di depan teras rumah kosong, bermain ayunan, bermain bola, menjaga makam, mencangkul tanah di kebun, atau menunggu di halte.
“Kami tidak pernah lagi melihat anak-anak di sini. Saya berharap akan ada anak-anak di sini sehingga desa ini akan kembali ceria seperti dulu,” ujar Ayano, dikutip The New York Times. “Saya mengerti anak-anak muda tak akan dapat hidup di desa ini karena mereka tak akan dapat menghasilkan uang,” tambah Ayano.
Pernyataan Ayano bukan tanpa alasan. Roda bisnis, investasi, dan ekonomi di Nagaro tidak berputar. Toko dan penginapan di Nagaro yang bertahan berkat kunjungan pendaki juga akhirnya ambruk secara perlahan, begitupun dengan klinik. Sejak dulu, Nagaro memang desa kecil. Tapi, kondisinya tak seburuk saat ini.
Warga Nagoro lainnya, Tatsuya Matsuura, 38, mengatakan penduduk lokal harus berkendara di jalan sempit dan berliku sekitar sejam untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Matsuura merupakan penduduk termuda dan menjadi tulang punggung Nagoro. Dia sendiri cemas dengan masa depan desanya.
“Jika kami membiarkan pola ini bertahan selama 10-20 tahun ke depan, daerah pedesaan akan kian menyusut, sedangkan daerah perkotaan kian padat. Kondisi ini akan menyebabkan banyak penduduk Jepang lenyap,” terang Profesor Hiroya Masuda dari Universitas Tokyo yang juga mantan Gubernur Iwate.
Sisa-sisa kehidupan juga dirasakan sangat kuat oleh Ayano. Dia kini hanya ditemani boneka di rumahnya. Untuk mengobati rindunya, dia membuat boneka mirip ayahnya yang di tempatkan di kebun lobak dan kacang. Tapi, boneka itu hanya terdiam dan tak dapat menjawab masa depan Nagaro yang semakin terancam. (Muh Shamil)
Penduduk Nagaro kian menyusut dan menua. Hampir 40% dari total 30 penduduknya sudah berusia 60 tahun. Generasi mudanya telah hilang diserap kawasan perkotaan. Meski disediakan subsidi perawatan anak, diskon perawatan klinik, dan perumahan gratis oleh pemerintah setempat, mereka tak mau pulang.
Selama beberapa tahun terakhir, warga lokal Tsukimi Ayano, 70, mencoba menghidupkan kembali perkampungannya dengan memasang boneka seukuran manusia di setiap sudut. Lebih dari 40 boneka yang dibuatnya merepresentasikan warga setempat, terutama yang sudah meninggal atau pergi ke luar kota.
Jumlah boneka di Nagaro diperhitungkan mencapai 350 buah dengan berbagai pakaian, pose, dan ukuran. Beberapa di antaranya ada yang sedang duduk di bangku sekolah, duduk di depan teras rumah kosong, bermain ayunan, bermain bola, menjaga makam, mencangkul tanah di kebun, atau menunggu di halte.
“Kami tidak pernah lagi melihat anak-anak di sini. Saya berharap akan ada anak-anak di sini sehingga desa ini akan kembali ceria seperti dulu,” ujar Ayano, dikutip The New York Times. “Saya mengerti anak-anak muda tak akan dapat hidup di desa ini karena mereka tak akan dapat menghasilkan uang,” tambah Ayano.
Pernyataan Ayano bukan tanpa alasan. Roda bisnis, investasi, dan ekonomi di Nagaro tidak berputar. Toko dan penginapan di Nagaro yang bertahan berkat kunjungan pendaki juga akhirnya ambruk secara perlahan, begitupun dengan klinik. Sejak dulu, Nagaro memang desa kecil. Tapi, kondisinya tak seburuk saat ini.
Warga Nagoro lainnya, Tatsuya Matsuura, 38, mengatakan penduduk lokal harus berkendara di jalan sempit dan berliku sekitar sejam untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Matsuura merupakan penduduk termuda dan menjadi tulang punggung Nagoro. Dia sendiri cemas dengan masa depan desanya.
“Jika kami membiarkan pola ini bertahan selama 10-20 tahun ke depan, daerah pedesaan akan kian menyusut, sedangkan daerah perkotaan kian padat. Kondisi ini akan menyebabkan banyak penduduk Jepang lenyap,” terang Profesor Hiroya Masuda dari Universitas Tokyo yang juga mantan Gubernur Iwate.
Sisa-sisa kehidupan juga dirasakan sangat kuat oleh Ayano. Dia kini hanya ditemani boneka di rumahnya. Untuk mengobati rindunya, dia membuat boneka mirip ayahnya yang di tempatkan di kebun lobak dan kacang. Tapi, boneka itu hanya terdiam dan tak dapat menjawab masa depan Nagaro yang semakin terancam. (Muh Shamil)
(nfl)